“Jadi, di mana bintang kita barusan?” gumam Jose sambil mempercepat jalan.
Tujuannya datang ke Gedung Diskusi adalah untuk mencari tahu tentang Sir William. Kalau pria itu tidak datang, tentu saja percuma. Jalan membawanya ke arah perbatasan Bjork.
Ada sebuah sungai yang membagi dua kota Bjork menjadi bagian Utara dan Selatan. Jembatan yang menghubungkan daerah di dua sisi sungai itu terbuat dari kayu gelondongan yang diikat rapat dengan tali berwarna hitam.
Sir William menggunakan pakaian yang formal saat ia melihatnya barusan. Wajah lelaki itu kelihatan tak senang. Ketika Jose mengejar, sosoknya hilang di balik tikungan. Setelah tikungan itu hanya ada tembok gedung kantor pajak. Di sisi lainnya adalah batas sungai yang memisahkan Bjork jadi dua, jadi kemungkinannya Sir William pergi ke sana.
Hal yang aneh karena daerah di sisi lain jembatan adalah daerah yang kumuh; hanya orang miskin yang tinggal di sana.
Mengikuti intuisinya, Jose menyeberangi jembatan tersebut.
Dan sekarang ia tersesat.
Jose menoleh ke kiri dan ke kanan, mencari orang yang dia ikuti. Sayangnya kabut mulai turun, menghalangi pandangan.
Jose mengumpat, lupa bahwa di daerah seberang jembatan, kabut sering muncul dan menutupi pandangan dalam periode tak menentu. Kabutnya masih tipis dan bergerak lembut seperti asap lilin, jadi Jose tidak terlalu cemas. Ia malah nekat berjalan terus mencari William. Harusnya pria itu masih belum jauh darinya, sebab Jose mengejar secepat ia bisa, dan tidak ada satu orang pun di Bjork yang bisa mengalahkan kecepatan larinya. Ia yakin itu.
Jose tidak mau berbalik melewati jembatan karena meski kabut itu membuat perasaannya tidak enak, tetapi ia merasa sudah kepalang tanggung untuk kembali.
Ia menggerakkan kaki selangkah dan memekik kaget ketika terperosok masuk ke dalam sebuah lubang.
Jose mengaduh dan mengumpat. Lubang itu tidak dalam, hanya setengah kali tinggi badannya. Masalahnya adalah tanah yang digali masih lembek. Lembek dan lembap, membuat setelan bagusnya jadi penuh lumpur. Ia mengulurkan tangan ke atas, berusaha untuk memanjat naik ketika mendengar suara tawa. Bunyinya tidak enak dan seperti mengejek, membuat Jose merinding. Ia segera berbalik, menempelkan punggungnya ke dinding tanah dan mengerutkan diri sekecil mungkin di dalam lubang. Kakinya hanya bisa ditekuk menempel pada dada karena lubang itu tidak lebar. Jose memasang telinga, mencoba mendengarkan baik-baik.
Suara tawa itu datang lagi. Kedengarannya seperti tawa seorang pria, meski serak.
Tengkuk Jose meremang. Rasa dingin merambat menjalari seluruh tubuhnya. Ia mengangkat wajah, menatap langit oranye yang sedikit tertutupi kabut, lalu ia berteriak dengan suara keras, “Siapa di sana?”
Tidak ada jawaban. Hanya ada desau angin yang mendirikan bulu roma. Ia berdiri untuk pergi dari tempat itu, tetapi ketika sedang menaikkan kaki untuk mencari pijakan, sesuatu yang dingin dan padat mengenai wajahnya. Jose berteriak kaget, ia terjatuh kembali ke dalam lubang. Jantungnya berdegup sangat kencang dan pipinya perih.
Suara tawa itu terdengar lagi.
Jose mengusap pipinya, menatap pada apa yang dilemparkan pada wajahnya barusan: gumpalan tanah. Tepatnya, gumpalan tanah basah. Rasa panas menggelegak dalam dada Jose, membuatnya berseru penuh kemarahan, “Siapa di sana?!”
Ia meloncat keluar dengan susah payah, lalu menatap ke sekeliling dengan kemarahan luar biasa. “Siapa yang melempar lumpur ini!? Namaku Argent, dan siapa pun kalian sebaiknya keluar minta maaf sekarang!”
Lagi, yang terdengar hanya suara angin. Bahkan tawa tadi tidak lagi terdengar.
“Jangan sembunyi!” seru Jose keras-keras. Ia berjalan lebar-lebar melihat bawah, waspada pada lubang lain. “Awas kalau kabut sudah terang! Akan kugeledah tiap rumah di sini dan menangkap pelakunya!”
Jose tidak sungguh-sungguh dengan ancamannya. Ia hanya menggertak saja untuk membuat pelakunya muncul sekaligus menyelamatkan harga diri. Kakinya melangkah ke tempat di mana jembatan barusan ada—seingatnya. Tetapi jembatan itu tidak ia temukan.
Apa aku salah jalan?
Jose berputar, meski tahu bahwa tidak bijak untuk berjalan-jalan di tengah kabut—setipis apa pun kabut itu, tetapi tetap saja ia menguatkan hati dan kembali berjalan. Ia ingin cepat-cepat pergi dari tempat ini. Perasaannya sama sekali tidak nyaman.
Meski sudah berjalan cukup jauh, Jose tidak menemukan jembatan kayu tempatnya menyeberang. Ia bahkan tidak menemukan sungai. Menyesal karena hanya terfokus pada suara tawa dan tidak mendengarkan suara sungai, Jose kembali berputar mencari tempatnya terperosok barusan. Ia jatuh tidak jauh dari jembatan, jadi pasti tempat itu ada di sekitar lubang.
Jose merasa putus asa dan mulai cemas. Kabut putih ini mengelilinginya seperti tirai. Sedikit lebih lama lagi dalam kabut, Jose yakin ia tidak akan bisa melihat tangannya sendiri.
Ia berjalan lebih cepat, tergesa, dan menabrak seseorang.
Orang itu memekik kaget. Tangannya membelit tangan Jose, juga kakinya, lalu mereka berdua terjatuh bersamaan. Wajah Jose membentur tanah.
“Hey, siapa kau!? Lepaskan aku! Lepaskan aku!”
Suara anak-anak. Anak lelaki yang belum akil balik, karena suaranya masih tinggi. Kabut sudah mulai tebal, tapi ia bisa melihat wajah anak itu cukup jelas. Rambut ikalnya pirang jagung, dipotong pendek sebatas leher. Mata birunya pucat, dan wajahnya galak. Anak itu mengenakan pakaian murah berbahan kaku seperti tukang.
Jose berguling menyingkir, meludahkan tanah dari mulutnya. “Tenang, aku tidak akan melukaimu!” ucapnya. “Aku sedang mencari seseorang.”
“Mencari siapa!?” Anak tadi berguling, meski memberi pertanyaan untuk dijawab, tetapi dia segera beranjak untuk kabur.
Jose, yang merasa senang karena akhirnya menemukan satu manusia, segera mencekal lengan anak itu. Ia tidak peduli meski orang yang dicekalnya berteriak-teriak ganas.
“Hey, tenanglah! Namaku Argent! Aku datang dari Bjork Utara!” Jose berkata kesal. “Kau ini kan anak lelaki, masa berteriak-teriak!”
Jose memejamkan mata, merasakan panas pada pipinya. Butuh beberapa detik baginya untuk menyadari bahwa ia barusan mendapat tamparan. Ia memang menyadari akan datang pukulan, jadi sudah bergeser menghindar. Namun ternyata anak itu menampar.
“Apa yang kau lakukan!?” bentaknya sambil memelintir anak di depannya dengan kesal. Tamparannya tidak sakit karena ia sempat menghindar sedikit, tapi tetap saja mengesalkan. Jose menyalahkan kabut ini atas keterlambatan reaksinya. "Enak saja menampar orang! Kurang ajar!"
“Kau yang kurang ajar! Aku bukan anak laki-laki!”
Jose melongo, tetapi anak yang menamparnya lebih kaget lagi. Anak itu menutup mulut, seolah baru saja keceplosan, lalu kembali menyentak-nyentakkan tangannya yang dicekal. “Lepaskan aku! Kau penculik! Lepaskan sekarang!”
“Aku bukan penculik!” Akhirnya Jose sadar kenapa anak itu panik sekali. “Aku bukan penculik, aku tersesat, sungguh!” ia mengaku penuh kesungguhan. “Aku terperosok dalam lubang dan ada yang melempar wajahku dengan lumpur. Dan, hei ... jangan-jangan kau yang melemparku dengan lumpur?”
“Mana mungkin!?” Anak itu melotot galak pada Jose. “Aku cuma mau pulang dengan cepat! Kabut ini bahaya! Dan cuma orang jahat yang berkeliaran dalam kabut!”
“Kau tidak jahat. Aku juga tidak,” Jose berusaha membujuk. Ia tahu bahwa bukan anak itu yang melempari wajahnya karena suara tawa yang ia dengar jelas lebih berat. Suaranya serak dengan vibrasi. “Boleh aku numpang sebentar di rumahmu? Cuma sampai kabutnya hilang!”
Anak itu terlihat bimbang, tetapi tidak lagi menyentak-nyentakkan tangannya penuh pemberontakan. Dia menatap Jose dengan ragu.
“Ayolah, kalau kita berdua diam di sini, nanti keburu jalannya tidak kelihatan karena kabut!” Jose mendesak.
Anak itu masih berpikir sebentar sebelum akhirnya mengangguk. “Tapi kalau kau macam-macam, awas ya! Kutendang bijimu sampai pecah!”
Anak liar! Jose berseru dalam hati.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 267 Episodes
Comments
Reksa Nanta
Hahaha
Bisa hancur masa depan kalau ditendang sampai pecah.
2023-03-25
1
Hana
Ya Allah .. biji apa itu yang mau ditendang sampai pecah ??
2023-03-25
1
Iklima kasi💕
agak takut bacanya apalagi jam segini,,tapi penasaraaaan....lanjut aja...
2020-09-04
0