“Aku memang tidak pernah bilang ada vampir." Marco mengedikkan bahu, kembali berjalan ke balik meja kerjanya. “Kau yang mengatakan itu.”
“Tapi sudah kusangkal,” Jose berkata lelah. “Sulit dipercaya ada kejadian seperti ini di Bjork. Awalnya kita cuma berpikir anak-anak itu pindah ke kota lain yang lebih modern. Atau mungkin mereka kawin lari dengan pacarnya. Sampai kemudian yang hilang bertambah banyak dan kita sadar bahwa ini bukan cuma fenomena pemberontakan masa remaja. Yang hilang pun mulai berkembang. Tadinya hanya para gadis, lalu merambat jadi para lelaki.”
Marco memperhatikan keponakannya. “Begitulah, kita kecolongan.”
“Karena ketidak-pedulian.” Jose berpaling. “Kalau dilihat lagi, awal mula dari semua ini adalah sikap apatis kita, masyarakat. Kita menganggap remeh simtom orang hilang. Hanya menganggapnya satu dari sekian hal remeh lain yang tidak lebih penting dari harga gandum. Baru saat angka statistik yang ada meningkat, kita jadi kalang kabut.”
“Begitukah?”
“Ya, akar penyebab dari semua hal memang apatisme.”
“Aku benar-benar berharap kau mau datang setidaknya sekali ke Gedung Diskusi.”
Jose membuka kembali pembungkus permennya, termenung. “Aku tidak mau. Kenapa harus ke sana kalau cuma mau berantem? Kita bisa turun ke jalanan dan menyingsingkan lengan baju.”
“Bukan berantem tetapi diskusi,” Marco merasa perlu mengoreksi sebagai salah satu pelopor dibuatnya bangunan tersebut.
Jose malas mendebat. Ia kembali pada topik awal mereka. “Jadi, dokter-dokter bilang apa soal ini? Uh, bukankah itu berarti para dokter sebenarnya tahu apa yang melanda Bjork?”
“Cuma pamanmu, Rolan, yang tahu.”
“Dan barusan Paman bilang cuma Paman, Ayah, dan juga Inspektur yang tahu!” seru Jose, yang langsung disambut dengan desisan tajam dari pamannya. “Maaf,” dia menukas pelan. “Jadi, siapa lagi yang tahu?”
“Cuma Dokter Rolan. Ini hal yang mengerikan, Jose. Tidak sembarang orang boleh tahu.”
“Ya, ya.” Jose memutar bola mata. “Paman akan memberitahuku apa yang terjadi pada Higgins dan tiga orang yang ditemukan?”
“Aku bisa memberitahumu untuk tetap diam dan menjaga diri,” bisik Marco sambil merapikan tatanan buku di atas meja.
Untuk sementara yang terdengar di antara mereka hanya buku kertas beradu dengan kertas lain, serta tumpukan buku-buku tebal.
Jose mendengus, tahu bahwa pamannya tidak akan menceritakan apa pun lagi padanya. Ia berdiri, mengambil seraup permen dari toples kaca di atas meja, lalu beranjak pergi setelah mengucapkan permisi.
Saat pintu kamar kerja Marco menutup di belakang punggung Jose, ia baru ingat bahwa niat awalnya datang ke sana adalah untuk bertanya soal Sir William.
***
Jose menata enam buah permen yang dirampasnya di atas bingkai jendela. Tadinya ia memang penasaran soal Sir William, tetapi masalah hilangnya darah orang-orang lebih mengusik hatinya. Ia ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi di kota ini.
Polisi berpatroli makin ketat setiap sore menjelang malam, orang-orang hilang dan beberapa ditemukan kehilangan darah. Bagaimana bisa semua yang hilang juga kehilangan darahnya? Dan cara mati mereka sama seperti Higgins? Jose ngeri pada dirinya sendiri yang justru antusias alih-alih ketakutan. Di luar dugaan, ia menerima semua informasi barusan dengan cukup tenang.
Apa karena ia sudah melihat sendiri sosok Higgins yang mati?
Ketika sedang sibuk berpikir, telepon putar di kamarnya berdering keras. Jose mengangkat benda itu tanpa berpikir.
“Jose!” sapa Maria. Suaranya yang lembut dan tinggi adalah gaya khasnya sendiri. “Kau sudah sembuh? Bagaimana keadaanmu?”
“Sembuh?”
“Ya, kau tadi sakit apa?”
Jose mengerutkan kening dengan heran. “Aku tidak sakit.”
“Hmmm ... tadi waktu aku datang ke rumahmu, George bilang kau tidak enak badan!”
“Eh? Oh!” Jose menepuk kening, memaki dirinya sendiri dalam hati. Ia benar-benar lupa pada alasannya meminta Maria pergi. “Ya, aku tadi memang sakit,” ucapnya. “Mmm, gejala demam saja, sih. Kenapa?”
“Cuma mau tanya saja gimana kondisimu. Kau kan agak aneh kemarin.”
Suara sahabatnya terdengar benar-benar tulus, membuat Jose malu sudah menolak menemui gadis itu. “Terima kasih, aku sudah tidak apa-apa, kok. Kau jauh-jauh datang tadi siang cuma untuk ini?”
Tidak ada jawaban selama beberapa saat. Kemudian Maria melanjutkan sambil berbisik, "Ya. Cuma untuk itu."
Jose mendengarkan lagi, tetapi Maria tidak melanjutkan. "Kau kedengaran tidak baik-baik saja," katanya. "Kenapa?"
Namun bahkan meski ia mendesaknya, Maria tidak menjelaskan apa-apa.
"Kurasa, aku akan ke Gedung Diskusi sore ini," kata Jose akhirnya, sebagai usaha untuk membuat Maria tertarik. Ia tidak suka nada murung pada suara gadis itu. "Ayahmu sering ke sana, kan? Kau tahu jadwalnya?"
Pancingannya berhasil. Maria kedengaran tertarik. "Kau?" tanyanya, mengatasi suara dengung telepon. "Ke Gedung Diskusi? Wow! Ada yang membuatmu tertarik?"
Jose ingat bahwa pamannya berkata, Sir William sering mengocehkan hal yang meresahkan di sana. Ia tertarik mencari tahu apa hal yang membuat pamannya gusar. "Yah, terakhir kali ke sana umurku enam belas."
"Dan kau membuat satu ruangan berantem!" Maria tergelak. "Aku masih ingat bagaimana kau lari keluar dikejar-kejar banyak bangsawan dan tukang pukul mereka!"
"Lupakan itu," sahut Jose malu. Ia masih selalu malu mengingat masa remajanya di mana ia mengacau di sana-sini, merasa paling hebat hanya karena tidak ada seorang pun yang berani pada nama Argent. "Paman Marco terus-terusan menyindirku karena tidak ikut bergaul di sana. Dan Dave mengajakku lagi hari ini, jadi aku bakal menerimanya. Siapa tahu ada yang menarik."
"Dave? Maksudmu Lord Dominic?"
"Tentu. Memangnya ada Dave yang mana lagi?"
"Kombinasi yang bagus. Tukang kabur dan Don Juan." Maria tertawa lagi. "Jangan buat masalah di sana."
"Tidak, Ma'am," gurau Jose, lega mendengar nada suara Maria sudah seperti biasa. "Aku akan meneleponmu dari kantor polisi kalau mendapat masalah. Kau mau menjaminku, kan?"
"Konyol," Maria tergelak lagi. "Kau tidak akan butuh jaminanku, Paman Marco bakal langsung melesat datang kalau kau dalam masalah."
"Kurasa dia malah akan melemparku ke dalam sel."
"Mungkin itu akan mendinginkan kepalamu? Siapa tahu. Nah, kuharap kau bersenang-senang di sana. Sampaikan salamku untuk Lord Dominic."
Ketika Maria menutup telepon, Jose memutar nomor lain yang sudah dihapalnya di luar kepala. Seorang pelayan menjawabnya, kemudian meneruskan panggilan pada orang yang ia tuju, Dave.
"Ada masalah, Jose?" tanya Dave langsung, karena Jose tidak biasanya menelepon.
"Jam berapa pertemuan di Gedung Diskusi?"
Ada suara kekehan pelan. "Jam empat sore, berakhir pukul tujuh sore, ketika polisi patroli mulai galak. Akhirnya kau tertarik?"
"Akhirnya aku tertarik," Jose menyetujui. Ia bimbang sejenak sebelum kemudian melanjutkan, "Apa Sir William rutin ke sana?"
"Ah," kekehan Dave berubah jadi gelak tawa. "Aku mengerti motifmu."
"Apa pun yang kau pikirkan, itu salah. Aku cuma penasaran," kata Jose.
"Tentu, tentu. Siapa yang tidak penasaran kepada Sir William Bannet yang populer?" Dave mengucapkannya dengan nada penuh pengertian, tapi Jose tahu lelaki itu mengoloknya. "Dia kadang datang dan kadang tidak. Beda dengan seseorang yang kukenal, aku tidak terobsesi dengannya, jadi tak punya jadwal Sir William."
"Aku tidak terobsesi."
"Aku tidak menyebut namamu, kau merasa?" Dave makin keras terbahak. "Aku jadi ikut penasaran dengan pria ini. Baru dia yang bisa membuat seorang Jose Argent akhirnya merangkak pelan menuju kehidupan. Kecemburuan memang tak kenal batas."
"Aku tidak cemburu," Jose mulai jengah. "Aku tidak pernah mendengar seorang Sir bernama William Bannet. Aku penasaran saja."
"Dan kau mau menelanjanginya di Gedung Diskusi?" Dave mendecak. "Tapi kau benar, aku juga penasaran. Semua orang anehnya menerima saja kehadiran dan gelarnya, padahal kalau ada seseorang bernama seperti itu, aku pasti tahu. Kau kan tahu aku dekat dengan para teknokrat?"
Jose mengangguk, tapi kemudian sadar Dave tidak akan bisa melihatnya. "Lalu?" sambungnya. "Kau memastikan?"
"Yaa, aku minta tolong temanku mengecek DeBrett's¹ edisi terbaru. Harusnya sih sekarang aku sudah mendapat kabar. Kita bisa membahasnya nanti ketika bertemu. Kalau dia palsu, aku ingin tahu apa maunya."
Jose tersenyum simpul, sudah menebak Dave bergerak cepat. "Kita bertemu di depan Toko Pierre?"
"Sepakat," sahut Dave ringan. "Sampai nanti."
***
¹DeBrett's: buku yang berisi daftar nama bangsawan dan sejarah singkat keluarga mereka.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 267 Episodes
Comments
Ana Mutia
....
2023-10-16
0
Hana
cerita tentang kehidupan para bangsawan memang selalu menarik.
bahwa tidak semua dari mereka itu jahat dan semena mena. mereka juga punya alasan sendiri.
2023-03-25
2
Elkuna
diksi novel ini bagus banget, ceritanya juga seru parah😍. aku sampai baca ulang2. nggak cuman memahami aja, sekaligus belajar sama kata2 asing.
tapi authornya dah lama hilang nih, nggak ada karya baru pula. thor kalau baca komenku balas ya, terus kasih tahu bikin karya barunya dimana,
2021-07-27
0