Ini pertama kalinya Jose bertemu dengan Sir William.
Pria itu bertubuh tinggi ramping, dengan rambut pirang emas setengkuk dan senyum mempesona.
Ketampanannya membuat Sir William seperti keluar dari lukisan maestro. Banyak wanita terpikat dalam sekali pandang.
Jose justru merasa janggal. Ia memberikan pin keluarganya sebagai tanda penerimaan terhadap orang baru—Bjork punya kebiasaan memberikan pin keluarga sebesar manset sebagai simbol pengakuan—dan saat menatap pada senyum selebar delapan puluh lima persen dari mulutnya itu, Jose kehilangan seluruh simpatinya.
“Kau lihat senyumnya?” bisik Jose pada Dave yang juga sedang menyesap brendi. Dave, Lord Dominic, tinggal agak jauh dari Bjork. Namun lelaki itu memang selalu datang ke kota ini untuk berdebat di Gedung Diskusi.
“Kenapa dengan senyumnya?” Dave balas berbisik dari bibir gelas. Ujung rambutnya yang keriting jatuh menyentuh bahu, membuatnya lebih mirip seorang seniman daripada tuan tanah. “Kau tidak suka kalau gigi orang lain kelihatan putih?”
“Senyumnya kelihatan palsu.”
“Yang benar saja, Jose. Siapa yang tidak palsu di sini?” Dave menggerakkan gagang gelasnya membentuk kurva yang mengedari ruangan. Kemewahan pesta dan hiruk pikuknya terpantul di sana. Gelas kosong itu berhenti di depan hidung Jose. “Kau, Sobat, juga palsu.”
“Enak saja, ini asli.” Jose menghaluskan kerah jas dengan penuh gaya. “Seratus persen tanpa bahan sintetis.”
“Hey, tidak ada yang salah dengan bahan sintetis. Tanpa itu kita bisa kehabisan sumber daya alami.” Dave menaruh gelas kosongnya di atas nampan seorang pelayan yang lewat, tangan kanannya menyambar gelas lain yang masih berisi. “Tidak ada yang salah juga dengan senyum palsu, setidaknya menunjukkan itikad baik.”
“Sayangnya, kawanku, senyum palsu adalah awal dari segala hal yang tidak baik. Pertanda manipulator. Tebak apa yang diinginkan manipulator. Sampanye?” Jose memberi kerlingan tajam. Ia melambai dengan sopan ketika beberapa orang yang dikenalnya memberi salut dari jauh. “Tidak, mereka mau memanipulasi orang lain. Apa yang bagus dari sebuah manipulasi?”
"Naif,” cemooh Dave. “Apa kau memang suka berpura-pura naif seperti ini, Jose?”
Jose mengernyitkan kening melihat Maria yang sekarang dapat giliran dansa dengan Sir William dalam waltz. “Paman Marco bilang sebaiknya aku menjauh dari orang ini, dan aku rasa peringatan itu ada benarnya. Perasaanku tidak enak.”
“Paman Marco yang mana? Yang tengkulak itu?”
“Pamanku, kunyuk. Dia bilang orang ini berbahaya.”
Dave menundukkan kepala, menatap Jose lekat-lekat sampai lelaki itu mendorong keningnya menjauh.
“Aku tahu sekarang,” Dave tertawa pelan. Dia mengetuk-ngetukkan ujung sepatu mengikuti irama dansa. “Aku tahu apa yang mengganggumu.”
“Apa?”
“Kau merasa Sir William palsu, kau terganggu karenanya.”
“Ya, aku kan baru saja mengatakannya padamu, Jenius.”
“Tapi... ” Dave memutar tubuh, menjentikkan jari ke depan hidung Jose. “... Bukan karena peringatan pamanmu.”
“Lalu?” Jose masih belum melepaskan pandangannya dari Maria yang bergerak luwes mengikuti irama musik.
Dave menyilangkan tangan di depan dada, mengangguk pada kawannya ketika berkata pendek, “Kau cemburu.”
Musik berhenti, para pasangan berhenti berdansa dan mulai mengobrol dengan manis. Jose memutar kaki, menatap mata hitam Dave dengan kening berkerut.
“Aku memang tidak bisa tersenyum selebar orang itu,” ucapnya pelan-pelan, “tapi cemburu karena gigi adalah hal paling bodoh yang pernah kudengar.”
Jose baru saja mau beranjak mencari Maria, tetapi Dave menarik dan merangkulnya ke kanan. “Kau biasanya seringan angin, Sobat. Tidak peduli apa yang dilakukan atau dipaksakan orang lain pada orang lainnya lagi, kau tidak peduli. Jadi semua emosimu ini tidak bisa dimengerti, kecuali tentu saja, kau dapat kemajuan dengan asmara.”
”Omong kosong.” Jose menyikut rusuk Dave, lalu berjalan pergi mencari Maria.
Ia mendapati gadis itu sedang berbincang bersama Sir William, membahas sesuatu yang Jose ketahui sebagai judul novel roman. Ia mengusap hidung, mencoba menarik perhatian Maria dari arah berlawanan. Gadis itu melihat sekilas padanya, mengangkat alis, lalu kembali menatap pada wajah Sir William. Jose menghela napas, memutuskan untuk menginterupsi pembicaraan mesra itu.
“Selamat malam,” sapanya ketika mendekat. Ia berdiri di sisi Maria, bermaksud memperlihatkan tempatnya. “Kalau tidak keberatan, aku ingin bicara sebentar dengan ... sahabatku. Ada urusan pribadi.”
William langsung mempersilakan, berkata bahwa dia juga kebetulan harus menyambut tamu yang lain, lalu berjalan pergi setelah saling memberi tepukan singkat di bahu dengan Jose.
Bau karat, pikir Jose heran ketika lelaki itu melewatinya. Kombinasi aromanya aneh, seperti mawar yang dicampur karat. Ia merasa pernah menciumnya di suatu tempat, tapi entah di mana.
“Urusan pribadi apa?” Maria menyilangkan tangan di depan dada, menatap dengan pandangan menuntut.
Jose menunjuk jam dinding dengan dagunya, sudah pukul sepuluh. “Waktunya Nona pulang,” ujarnya dengan seringai. “Ibumu berpesan aku harus mengantarmu pulang sebelum setengah sebelas.”
“Jangan mulai seperti ayahku, deh!” bisik Maria tak percaya.
“Tidak, tentu saja tidak.” Jose menunduk, berbisik singkat di telinga gadis itu, “Aku pengasuhmu.”
Maria melotot gemas, tetapi bersedia undur diri dari pesta. Tidak hanya mereka yang pergi. Berkat peringatan berkali-kali dari polisi patroli, beberapa pasangan sudah pulang duluan.
Kota ini masih belum sepenuhnya aman. Ketika Jose menyetir mobil mengantar kawannya pulang, jalanan sudah nyaris sepi. Bahkan para pedagang jalanan tidak ada yang berani bertahan sampai malam. Mereka segera merapikan dagangan selagi polisi patroli masih berkeliling menjaga keamanan mereka.
Setelah mengantar Maria pulang, Jose ingat kembali pada aroma karat yang diciumnya dari Sir William. Ia ingat di mana pernah mencium bau karat yang sama.
Di pondok Higgins.
***
Sehari sudah lewat sejak Maria dan Jose pergi ke pesta di rumah Sir William, tapi keduanya belum bertemu lagi. Maria sudah berjalan ke sana kemari mengitari danau Brich yang terletak setengah kilometer dari rumahnya, mencari keberadaan Jose. Sayangnya lelaki itu tidak ada di mana pun. Bahkan di atas pohon yang biasa juga tidak ada. Maria sudah memeriksanya dengan mencorongkan mulut dan berteriak-teriak memanggil nama Jose.
Kau ke mana sih, Jose? Maria berpikir kesal. Ia menendang kerikil kuat-kuat, tidak memedulikan arahnya.
Ia menarik napas, menimbang-nimbang sejenak sebelum akhirnya berjalan masuk ke dalam mobilnya dan menyuruh supir untuk pergi ke kediaman Argent.
...----------------...
“Maria!” Renata Argent, memberi ciuman di pipi kiri dan kanan Maria, mengusap-usap bahunya dengan sayang. Rambut cokelatnya sendiri diikat ke belakang, dijepit dengan hiasan jaring hitam bergaya kuno. Wanita itu memberi tatapan penuh penilaian yang hangat. “Kau sedikit ... kurus, ya? Bagaimana keadaanmu, Sayang? Bagaimana keluargamu? Winona?”
“Baik, Nyonya—“
“Ibu.” Renata mengedipkan sebelah mata penuh persekongkolan. Senyum tidak lepas dari bibirnya yang tipis. “Aku sejak dulu selalu ingin punya anak perempuan. Mau kan memanggilku ibu?”
Maria bimbang sejenak. Memanggil ibu orang lain sebagai “Ibu,” terasa kurang benar baginya. Ia tidak mau melakukannya, tetapi juga tidak sanggup menolak. Jadi Maria hanya mengangguk dan memberi anggukan sopan. Untungnya itu cukup bagi Renata.
“Kenapa, Sayang? Kau ingin bertemu dengan Jose? Dia ada di atas, di kamarnya.”
Maria mengikuti sang nyonya rumah, membiarkan dirinya dituntun duduk di ruang tengah. Meski begitu, perasaan tidak nyaman yang menderanya sejak kemarin masih mengikuti.
Apa karena kasus pekerjanya yang meninggal itu? Maria mencoba mencari alasan.
Begitu mereka duduk, Renata segera menoleh dan memanggil kepala pelayannya. Seorang pria tua bersisiran rapi dengan kumis keperakan muncul dengan segera.
“George, tolong panggilkan Jose,” pinta Renata. Setelah pria itu pergi, ia berbalik kembali pada Maria. “Jadi, kau kemarin berdansa dengan Sir William yang populer itu?”
Maria membeliak. “Anda tahu?”
“Ya ampun, semua orang membicarakannya di pertemuan,” Renata berkata ringan, tidak bermaksud menggoda. “Kalian berdansa dengan lincah. Dia orang yang sopan, bukan?”
“Ya, dan ... sangat misterius.”
“Misterius?”
“Ya.” Maria mengalihkan pandangan dengan cepat. “Maksudku, namanya juga orang baru, kan? Anda sudah pernah bertemu dengannya?” Pertanyaan Maria membuat gejolak yang aneh di wajah Renata. Wanita itu mengalihkan matanya, menatap ke arah pintu masuk dengan kening berkerut.
Maria memperhatikannya dengan tekun, menanti jawaban. Ketika wanita itu baru saja membuka bibir untuk menjawab, George datang ke tengah mereka.
“Tuan Muda sedang tidak enak badan. Tuan Muda meminta saya mengirim permintaan maaf untuk Nona Garnet,” ucap pria itu dengan sopan.
Renata menaikkan sebelah alis tinggi-tinggi, kelihatan tak senang, tetapi ia tidak mengatakan apa pun.
Maria yang angkat bicara. “Sakit apa? Parah?”
George memberi senyuman tipis sebelum menggeleng pelan. “Tuan Muda bilang, tidur sebentar pasti sembuh.”
“Maaf Sayang, tapi dia memang tidak banyak bicara waktu sarapan tadi,” Renata menukas. Ia mengusap bahu Maria, bertanya dengan nada lembut, “Mau lihat lebah-lebah kami di belakang? Madunya sebentar lagi siap dipanen.”
Maria menggeleng pelan, “Aku pulang saja kalau begitu.”
“Kau datang dengan mobil atau kereta? Perlu pengawal? Ada Jack di sini—“
“Tidak, tidak perlu, terima kasih.” Maria menggeleng cepat, memotong kalimat wanita itu. Orang-orang kalangan atas yang menghuni Bjork biasa membawa satu atau dua pengawal meski hari masih siang. Tetapi Maria tidak terlalu suka hal seperti itu. Ia meninggalkan kediaman Argent dengan hati agak kesal.
Kalau dia cuma sakit kepala kan bisa turun dan bilang sendiri!
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 267 Episodes
Comments
Ana Mutia
2019 skrg 16102023, masih menarik ut dibaca
2023-10-16
0
Jatmiko
Tentu saja karena dia adalah seorang Argent.
2023-03-27
0
Jatmiko
Bau karat sama dengan bau darah yang mengering. Ada kemungkinan kematian Higgins berhubungan dengan Sir William.
2023-03-27
1