BLOODY LOVE
Maria mengangkat wajah, menaruh tangan di sisi kening untuk melindungi mata dari cahaya matahari siang. Ia menatap ke arah pohon, tahu bahwa orang yang ia cari pasti ada di dahan tertinggi, bersembunyi di sana untuk menghindar dari tugas-tugas yang diberi keluarganya.
"Jose!" Maria berseru, tangannya terjulur ke depan, berusaha menggoyang-goyangkan pohon tilia dengan percuma. Jangankan batang, bahkan dahannya pun tidak bergerak. "Jose, turun!" serunya lagi.
Terdengar suara gesekan daun dari atas, tapi tidak ada gerakan lebih lanjut. Suasana masih hening. Hanya sesekali terdengar suara desau angin.
"Jose, ini aku! Turun!" Kali ini Maria mengangkat rok panjangnya sampai betis, menendang pohon di depannya dengan penuh semangat.
"Itu bukan sikap tuan putri yang baik!" sebuah suara terdengar geli dari atas pohon.
"Kau juga tidak bersikap seperti tuan muda yang baik," sergah Maria, berusaha mencari di mana lelaki yang diajaknya bicara bergelantungan, tapi pandangannya tertutup dedaunan. "Aku bertemu pamanmu tadi! Dia mencarimu!"
Ada suara gemerisik lagi dari atas, kemudian sesuatu ambruk jatuh di sisi Maria, membuat gadis itu bergeser satu langkah. Ia tidak kaget. Sesuatu yang jatuh itu—yang adalah lelaki seumuran dengannya—sudah sering meloncat ke sampingnya dengan cara barusan. Umur mereka hanya selisih satu tahun. Jose lebih tua darinya dan baru saja melewatkan ulang tahun ke-23 Agustus lalu.
"Maksudmu Paman Marco?" Jose mengangkat tubuh, merapikan rambut hitam berombaknya dengan jari. Di tangannya yang lain terdapat buku tebal. "Kau tidak memberitahunya aku ada di sini, kan?"
Maria menarik satu helai daun yang tersangkut di bahu lelaki itu. "Kurasa dia sudah tahu."
"Kalau begitu biar saja. Paman bisa datang sendiri ke sini kalau mau." Jose menjatuhkan diri ke atas rumput hijau pendek yang merapat di bawah mereka. Buku yang dibawanya ia jatuhkan ke sisi tubuh. Maria mengikuti contoh Jose, ikut berbaring di samping lelaki itu. Ini adalah tempat favorit mereka sejak kecil karena sejuk dan dekat dengan danau. Tujuh meter dari mereka, sebuah danau jernih kebiruan membentang luas.
"Kudengar mereka memilihkan banyak perempuan untukmu." Maria memejamkan mata, menyikut sedikit lengan Jose agar lelaki itu bergeser dan memberi tempat teduh untuknya.
"Ya, perempuan-perempuan yang bahkan belum tahu caranya berdansa."
"Tidak masalah. Kau saja yang mengajari. Mendidik sendiri calon pengantinnya kan impian para lelaki?"
Jose tertawa. "Aku saja terlalu malas untuk mendidik diri sendiri."
Maria mengulum senyum. "Yah, itu benar," katanya, makin keras menyikut karena Jose tidak mau bergeser. "Tukar tempat! Di sini panas."
"Kau harusnya pakai mantel dan pakaian yang lebih ringkas, bukannya gaun seperti itu," Jose menggerutu, tapi akhirnya bangun dan bertukar tempat dengan gadis di sampingnya. "Mana Susan? Kau datang bersamanya, kan?"
"Gaun yang ini tidak gampang kotor," kilah Maria. "Susan? Di rumah. Kenapa? Kau ingin main dengannya?"
Susan adalah dayang Maria. Biasanya perempuan itu menemani Maria ke mana-mana. Jose menatap kawannya dengan ekspresi campur aduk. "Kalau ayahmu tahu putrinya pergi sendirian menemui lelaki—"
"Dia akan mengomeliku," tukas Maria, "tapi kau kan Jose."
"Dan aku bukan lelaki?"
Maria tertawa mendengarnya. Ia tak mungkin tidur-tiduran di sisi sembarang orang. Namun keluarganya dan keluarga Jose sudah lama berkawan. Hubungan keduanya lebih mirip saudara ketimbang teman biasa. Tak akan ada yang berkomentar meski mereka hanya berduaan.
"Biasanya juga aku pergi tanpa Susan dan kau tak pernah protes," tambah Maria. Ia tersenyum simpul melihat wajah Jose. "Kau cuma ingin mengalihkan pembicaraan dari topik kita, ya. Bagaimana rupa gadis-gadismu? Cantik? Pilihan Paman Marco pasti cantik-cantik."
"Mereka bukan gadis-gadisku," koreksi Jose. "Biasa saja. Rambutnya merah semua. Lebih lama lagi melihat rambut-rambut merah itu, aku pasti buta warna."
"Omong kosong!" Maria tergelak, "Tapi rambut merah kan cocok denganmu. Aturannya seperti itu. Rambut merah sebaiknya menikah dengan rambut hitam."
"Tradisi aneh. Masa menikah karena warna rambut?" Jose melirik kepala berambut cokelat madu di sampingnya. "Kau sendiri? Kudengar bulan ini keluargamu menerima banyak pinangan."
"Ya, ada tiga yang datang. Tapi, oh ya, aku bukan datang untuk membahas ini denganmu!" Maria bangkit. Matanya berbinar. "Aku mendapat undangan ke rumah Sir William!"
"Kurasa lebih baik kau diskusikan ini dengan teman perempuanmu. Masalah pesta dansa dan sebagainya bukan keahlianku."
"Nanti ketahuan dong kalau aku suka pada Sir William?"
"Memang itu tujuannya, kan?"
Maria tertawa renyah. "Tidak mau," katanya. "Sainganku terlalu banyak." Ia mengedikkan bahu. "Lagi pula, semua orang sedang fokus dengan Misteri Bjork. Berita-berita muram berkeliaran. Kalau aku membicarakan Sir William dengan mereka, orang lain bisa mengira aku tak punya empati."
"Memang tak punya, kan?"
Maria mencubit lengan Jose, yang memberi reaksi kesakitan berlebihan.
Bjork adalah nama kota tempat mereka tinggal yang diapit oleh gunung vulkano mati dan lautan. Bjork adalah salah satu daerah otonomi di Kerajaan Albion, dengan Lieutenant Governor sebagai pimpinan administratif.
Sejak gubernur terakhir sakit sampai mangkat, keluarga Jose membantu penataan kota dari belakang. Sampai sekarang, kekuasaan Bjork masih dibiarkan kosong. Dewan rakyat dan dewan bangsawan masih berdebat mengenai status Bjork berhubung kota ini merupakan kota pelabuhan dengan banyak kepentingan.
Bahkan dengan segala hiruk pikuk tersebut, Bjork telah sejak lama dicekam kengerian. Anak-anak perempuan menghilang secara tiba-tiba. Awalnya, dua orang anak perempuan menghilang. Kemudian ada tiga orang menghilang. Pada akhirnya bahkan orang dewasa juga hilang—tak peduli jenis kelaminnya apa. Penyelidikan dilakukan, tapi tidak ada hasil. Masyarakat beranggapan bahwa ada gerakan perekrutan manusia atau perdagangan perempuan. Karena keresahan orang banyak makin tinggi, jam malam diberlakukan dan polisi patroli dilipat-gandakan mulai pukul lima sore ke atas. Hal ini sedikit banyak menimbulkan perdebatan, tapi karena takut keluarga mereka lenyap tanpa sisa, keributan hilang dengan sendirinya.
"Menurutmu sendiri ke mana mereka pergi? Apa benar semuanya diculik untuk dijual?" Maria bergidik. Ia menyandarkan tubuhnya ke pohon. Sekejap merasa dingin seolah ada yang menatap dengan penuh kebencian. Tapi tidak ada orang selain mereka berdua di sana. "Aku pernah baca tentang para perempuan yang dijadikan budak. Mereka disiksa dan diper—"
"Maria." Jose berguling, menumpu tubuh dengan kedua sikunya. Mata lelaki itu menyorot teduh. "Tidak akan ada yang terjadi padamu. Aku janji."
"Manis sekali, Jose." Maria tersenyum, sorot wajahnya tampak lebih lega. "Eh, sebentar. Bukan ini yang mau aku bahas! Kau selalu mengalihkan topik! Sir William mengundangku ke pestanya."
"Sir William yang mana, sih, maksudmu? Setahuku yang bernama William cuma si tua Billy penjaga makam."
"Sembarangan! Masa kau tidak tahu Sir William? Orang baru yang membeli rumah puri bekas gubernur!"
"Eh? Rumah itu dibeli?"
Maria menatap kawannya dengan heran. "Kau tidak tahu? Kurasa Paman Marco benar, kau seharusnya diseret paksa ke pergaulan sosial."
Jose tertawa. "Siapa yang bisa menangkapku? Aku mau lihat apa ada yang bisa mengejar jago kabur ini."
"Seharusnya itu bukan sesuatu yang kau banggakan, Jose."
"Aku bangga dengan kecepatanku."
"Ya, ya, kau sudah sering memamerkannya," sahut Maria sambil tersenyum. "Sekarang dengarkan aku dulu. Sampai mana kita tadi? Puri? Ya, aku diundang ke sana nanti malam jam tujuh. Kau tidak tahu soal ini berarti tidak diundang?" Ia memasang wajah kecewa. "Sebenarnya aku tidak boleh pergi kalau tidak punya pengawal."
Jose mengerti ke arah mana pembicaraan ini. "Kau minta aku jadi footman?"
"Escort!" koreksi Maria. "Kau kurang tinggi untuk jadi footman!"
"Orang yang kurang tinggi ini diperebutkan banyak perempuan, tahu."
"Perempuan yang mengincar hartamu?" olok Maria. Tapi kemudian ia menutup mulutnya dengan menyesal.
Keluarga Argent adalah keluarga tua yang bisa dibilang menjadi pondasi berdirinya kerajaan ini. Bahkan meski Jose hanya seorang putra keempat, tetap banyak keluarga berminat mengajukan diri untuk dipinang. Kebanyakan orang tersebut tentu saja mengincar koneksi dengan Marquis Argent yang merupakan paman Jose.
Tak banyak yang melihat Jose sebagaimana adanya lelaki itu berhubung Jose jarang tampil dalam pergaulan dan pesta. Alih-alih pergi ke ibu kota untuk bersosialisasi, Jose lebih suka bermalas-malasan di Bjork. Jose juga tidak pernah mau datang ke Gedung Diskusi yang digelar kaum elite sebagai lahan pergaulan dan ajang pamer kebolehan.
"Maaf," Maria berkata pelan ketika Jose hanya diam saja. Ia jadi merasa bersalah karena sudah kelewatan. Ada hal-hal yang tidak seharusnya dijadikan candaan, seakrab apa pun mereka. "Aku tidak bermaksud—"
Jose mengangkat wajah dengan cepat, menatap langsung ke dalam mata biru Maria, membuatnya sempat tersentak kaget.
"Kau bawa undangannya tidak?"
"Undangan apa?"
"Undangan dari Sir William. Kita tadi sedang membicarakan itu, kan?" Jose bertanya heran.
"Eh? A-aku bawa, sih ..." Maria menarik tas tangannya ke pangkuan, merogoh ke dalam salah satu kantong yang dikaitkan dengan kunci manis. Secarik kertas tebal dengan hiasan renda dan tulisan emas ia keluarkan dengan hati-hati dan serahkan pada kawannya.
"Ah, aku ingat undangan genit ini," Jose berkata sambil mengangguk. "Sir William. Pantas saja aku merasa pernah tahu nama itu. Setelah kuingat-ingat barusan, memang benar aku sudah pernah membacanya. Aku juga dapat undangan ini." Dia menyerahkan kertas itu kembali pada Maria. "Aku bisa menemanimu."
"Dari tadi kau diam saja karena sedang berpikir?"
"Mengingat," koreksi lelaki itu.
"Kau dengar apa yang kukatakan tadi, tidak?"
"Tentang apa?" Jose memiringkan kepala.
"Ah, sudahlah, tidak apa-apa." Maria menoleh sekilas ke belakang, tapi tidak menemukan apa-apa. Hanya ada rerumputan hijau dan jalan setapak panjang. Tak ada siapa pun.
"Kenapa?" Jose mendesak, penasaran. "Dari tadi kau menoleh terus ke belakang?"
Maria barusan merasakannya lagi, perasaan seolah mereka diawasi dengan sengit. Namun, ia menggeleng, merasa konyol sendiri. "Tidak apa-apa."
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 267 Episodes
Comments
Henah Helza
setelah 4 tahun lebih ku rasa baru blk lgh
2024-08-30
0
Zepita II
wuhuuuuu balik lagi niiih, udh 4 th yg lalu dan aku kangen ❣️
2024-04-13
1
Scarlett Roe
I think something's changed. Beberapa kalimatnya ada yg berbeda dari terakhir kali aku 'jenguk' mereka. Tetap enak dibaca sih, cuma menyesuaikan lagi dulu
2024-03-23
1