"Iraya, ayo!" ucap Herlin.
Aku kemudian berdiri dan pergi meninggalkan anak kecil itu untuk sementara waktu. Aku tidak merasakan adanya hawa hewan buas disini, jadi aku yakin kalau tidak akan terjadi apa-apa kepadanya jika tetap diam disini.
Kami memasuki desa lebih dalam lagi. Walaupun masih siang hari, keadaan desa ini sangatlah sepi dan menyedihkan. Rumah-rumah yang hancur karena serangan Inuijin, cakaran yang tersebar dimana-mana, dan bau darah yang sangat kental. Hanya satu kata yang pantas untuk mendeskripsikan suasana di desa ini. Mengerikan.
"Kita periksa satu-satu rumah-rumah disini."
Kami berpencar untuk mencari informasi ataupun tanda apakah masih ada orang yang hidup selain anak kecil tadi.
Tapi sejauh pencarianku, aku tidak menemukan apa-apa disekitar sini. Hanya rumah-rumah yang hancur berantakan akibat serangan. Kami pun kembali berkumpul di tempat sebelumnya dan kelihatannya Herlin juga mendapat hal yang sama denganku.
"Bagaimana?" tanya Herlin.
"Tidak ada tanda-tanda kehidupan."
"Aneh sekali, aku tidak menemukan mayat manusia ataupun hewan disekitar sini. Jika mereka diserang, tentu saja akan ada bekas darah meskipun mayatnya telah habis dimakan."
Herlin kemudian bergumam sendiri dan mulai berpikir. Tapi tiba-tiba, sebuah pisau melesat menuju kepala Herlin dengan kecepatan yang cukup kencang.
Syuushh…
Tapi dengan cepat dia menangkap pisau yang melesat itu tanpa melihatnya. Ia kemudian melihat ke arah pisau itu dan menengok ke sekelilingnya, mencoba mencari pelaku yang melemparkan pisau itu kepadanya.
Sruukk… Sruukk…
Dari balik rimbunnya semak-semak dan pepohonan hutan, keluar seorang laki-laki dewasa yang sepertinya adalah pelaku yang melempar pisau itu.
"Siapa kalian?" tanya orang itu.
"Kami dari Black Rain," jawab Herlin singkat.
"Oh! Jadi kalian orangnya?"
Ekspresinya sangat senang ketika mendengar kalau kami berasal dari Black Rain. Pria itu kemudian mengangkat tangannya lalu melambai sedikit. Seketika kerumunan orang terlihat mendekati kami dari balik semak-semak dan rimbunan pohon hutan. Jumlah mereka kira-kira sekitar lima orang.
"Apa kalian yang memanggil kami?" tanya Herlin.
"Iya benar, aku adalah Mizumo Akita, pemimpin desa ini."
Seorang pria yang berumur sekitar 25 tahunan, memiliki rambut hitam panjang sampai dada, dan tubuh yang lumayan kekar membuatnya terlihat berwibawa dan cocok dengan gelar pemimpin, kurasa.
"Aku Ririsaka Herlin dan dia adalah Satou Iraya."
Herlin menjawabnya sambil menunjuk ke arahku.
"Salam kenal."
"Ririsaka-san, Satou-san, silahkan ikuti kami."
Kami berjalan menuju balai desa yang berada di bagian paling ujung desa bersama dengan rombongan penduduk tadi. Dan setelah sampai disana, aku melihat keadaan balai desa itu. Tempat itu tampak menyedihkan, bagian pintu depan balai desa yang hanya terbuat dari kayu itu hampir roboh dan nampak jelas bekas cakaran besar dari hewan buas.
"Apa ada warga desa yang selamat?" tanya Herlin.
"Ada, warga-warga yang selamat semuanya mengungsi ke tempat ini."
Kriieet…
Mizumo-san membuka pintu balai desa tersebut, di dalamnya terdapat sekitar 30 orang yang terdiri lanjut usia sampai bayi duduk di lantai balai desa itu secara sembarangan. Wajah keputusasaan terpancar dari wajah mereka, sepertinya mereka sudah pasrah akan mati di tempat ini. Aku melihat ada beberapa orang yang terluka dan terbaring disini penuh dengan perban.
"Apakah disini sudah semua orang?" tanya Herlin.
"Ya, kurang lebih di desa ini hanya ada 50 orang. Beberapa dari kami sudah ada yang tewas."
"Ah… mungkin kau tidak tahu, tapi ada salah satu wargamu yang masih hidup dan tertinggal dirumahnya sekarang."
"Itu tidak mungkin, semua orang di desa ini telah diungsikan kesini dan—"
"… Dia anak kecil."
Setelah aku mengatakan hal itu, ekspresi semua penduduk desa yang ada di balai desa secara drastis berubah menjadi gelisah dan khawatir. Pemimpin desa itu memanggil salah satu warga pria dewasa dan terlihat berbisik kepadanya membicarakan sesuatu. Setelah selesai, ia kemudian bertanya kepadaku.
"Bisa tolong antarkan kami kesana?"
"Baiklah," ucap Herlin.
Firasatku tidak enak. Aku merasa ada yang tidak beres dengan desa ini. Sebenarnya apa yang terjadi disini? Aku pun tidak tahu.
Kami berdua akhirnya kembali ke rumah yang pertama kami kunjungi di desa ini. Setelah membuka pintunya keadaan rumah ini masih sama, masih terdapat dua mayat yaitu seorang laki-laki dan perempuan dewasa—tapi tidak ada mayat anak kecil.
"Coba kalian semua cari," ucap Mizumo-san.
Kami terus menelusuri ke seluruh penjuru rumah, tapi tetap tidak bisa menemukannya. Setelah beberapa lama kami mencari dan tidak mendapatkan hasil, akhirnya kami semua menyerah dan memutuskan keluar dari rumah itu.
"Apa kau yakin masih ada orang yang selamat di rumah itu?" tanya Mizumo-san.
"Saat aku pertama datang kesini, yang kutemukan adalah dua mayat dan anak kecil itu."
Aku tidak meragukan penglihatanku, tidak mungkin aku salah lihat saat itu. Di tempat yang agak jauh dari rumah itu, Herlin sedang melihat-lihat keadaan sekitar desa yang hampir roboh ini. Sampai ia tiba-tiba mendengar sesuatu.
Krusuk… Krusuk…
Saat ia sedang bersimpati dengan rumah-rumah yang hampir hancur itu, tiba-tiba ada suara berisik yang berasal dari balik pepohonan. Herlin yang menyadari itu kemudian menghampirinya.
Suara itu semakin melemah saat Herlin mencoba mendekatinya. Herlin masih terus mencari sumber suara itu dan saat menemukannya, ia melihat seorang anak kecil perempuan yang tidak asing—anak kecil yang pertama kami temui. Anak kecil itu terlihat sangat gelisah dan kemudian memberi isyarat kepada Herlin untuk diam sambil melirih menahan tangisan.
"Hei, apa ada sesuatu disana?!" Salah seorang warga desa berteriak kearah Herlin.
Herlin tidak menjawab, dia hanya menutup kembali semak-semak itu dan pergi mendekati warga desa yang menanyainya. Tanpa memberitahu apa yang ia temukan barusan.
"Aku tidak menemukan apa-apa. Ngomong-ngomong, kalian memanggil kami kesini karena serangan Inuijin 'kan? Sebenarnya ada dimana mereka sekarang?" tanya Herlin.
"Inuijin? Jadi kau menyebut mereka begitu? Mereka pergi keatas tebing disana dan sepertinya mereka masih ada disana, karena malam kemarin kami masih bisa mendengar suara lolongan."
Warga itu menunjuk ke arah sebuah tebing yang berada tak jauh dari sini. Herlin kemudian menatap kearah tebing yang ditunjuk tadi dan kemudian berjalan kearahku.
"Iraya, ayo kita periksa tebing itu, kemungkinan kumpulan Inuijin itu ada disana."
"Ah… apa kalian ingin memeriksa tebing itu? Jika iya, maka lebih baik pada malam hari saja. Kami sudah pernah memeriksanya pada siang hari kemarin, tapi kami tidak menemukan apa-apa," ucap Mizumo-san.
"Begitu, ya? Baiklah kalau begitu."
Kami akhirnya menunggu datangnya malam hari di balai desa. Sambil menunggu, Mizuno-san menceritakan kepadaku dan Herlin bahwa di desa ini terdapat sebuah ritual yang mengharuskan warga desa untuk mengorbankan seorang anak perempuan berusia tujuh tahun kepada dewa gunung. Agar para warga desa diberi keselamatan dan juga panen yang melimpah. Jika tidak diberikan, maka mereka akan segera ditimpa kesialan dan keburukan.
Setelah mendengar cerita itu, Herlin seperti menatap Mizuno-san dengan tatapan yang berbeda. Kali ini ia menatapnya dengan tatapan curiga.
**
*Malam Hari*
Malam hari telah tiba dan saat ini kami tengah bersiap-siap menuju ke tebing yang diperkirakan adalah sarang dari para Inuijin tersebut. Kami tidak berdua saja, Mizuno-san dan lima orang lainnya ikut dengan kami dan bilang akan membantu kami sebisanya. Meskipun Herlin bilang tidak perlu, tapi mereka memaksa jadi tidak ada pilihan lagi bagi kami.
Para warga disini membawa sejenis golok dan arit untuk memanen sayur dan panah sebagai senjata mereka. Kami menaiki tebing itu dengan perlahan dan saat sudah sampai diatas kami berjalan mengendap-endap dan memperhatikan apa yang ada disana.
"Tidak ada apa-apa," ucap Mizuno-san.
"Iraya, sekarang giliranmu."
"Eh? Aku?"
"Ya, kau ini seorang Elemental listrik, kan? Arahkan kekuatanmu keatas dan pancing mereka keluar," ucap Herlin.
"Kau menggunakanku sebagai umpan?"
"Hanya itu cara terbaik yang bisa kupikirkan saat ini."
"Hah… hari pertamaku bekerja dan peranku adalah sebagai umpan hewan buas. Apes sekali."
Aku pun keluar dari semak-semak dan berdiri di sebuah tanah yang lumayan luas. Aku kemudian mengangkat tanganku keatas dan mencoba mengalirkan aura ku kesana.
"Ini penyalahgunaan kekuatan namanya," keluhku.
Bzzztt… Bzzztt… Blaaaarrr…
Aliran listrik berwarna biru keluar dari telapak tanganku dan mengarah ke langit, menyebabkan suara yang sangat keras. Sampai Herlin dan para warga menutup telinganya.
Kruusuk… Krusuk…
"Hn? Mereka datang juga."
Tiba-tiba dari balik semak-semak yang lain, keluar sekumpulan Inuijin yang berukuran sebesar manusia—bahkan ada yang lebih besar. Salah satu dari mereka kemudian melesat kearahku. Tapi tanpa melakukan apa-apa, Inuijin itu terkena anak panah dari arah semak-semak.
"Ayo!"
Mizuno-san dan para warga lainnya keluar dari semak-semak dan menyerang para Inuijin itu, kecuali Herlin. Dia masih terdiam di dalam semak-semak itu tidak bergerak. Aku yang melihatnya kemudian bertanya kepadanya.
"Oi! Apa yang kau lakukan?!"
"Kau dan yang lainnya bisa mengurus yang ada disini. Aku ingin memeriksa hal lain dulu."
"Hah?"
"Tapi sebelum itu…"
Syuushh… Crasshh… Crasshh…
Setengah dari para Inuijin itu telah terpenggal seperti ada sesuatu yang tak terlihat telah memenggalnya. Ia melakukannya sendirian dan setelah itu pergi entah kemana. Sialan.
"Dasar! Oi, Cecilia!"
"Tunggu apa lagi?! Cepat bentuk sebuah pedang dengan auraku!" teriak Cecilia.
Swuushh.. Klaank..
Aku mengumpulkan aura di tangan kananku dan kemudian muncullah pedang panjang berwarna hijau. Sepuluh Inuijin sekarang berada di depan kami, agak beresiko jika kita menghadapi semuanya tanpa rencana. Tapi dengan yang ada sekarang, sepertinya kami masih bisa menang.
"Satou-san, dimana temanmu itu?" tanya Mizumo-san.
"Dia pergi memeriksa sesuatu, kita disuruh untuk menahannya selama yang kita bisa."
"Baiklah. Warga yang lain! Ayo kita tahan mereka sebisa kita!"
"Baik!" ucap para warga desa serentak.
**
*Sebuah Tempat Agak Dalam di Hutan*
Herlin berjalan dengan tangan yang berada di dalam kantung Hoodie-nya menuju ke suatu tempat di dalam hutan dengan tekanan aura yang kuat. Ia berjalan dengan perlahan sampai tiba-tiba ada suatu makhluk yang menunggu di depannya dan berbicara kepadanya.
"Siapa kau?" tanya makhluk itu.
Makhluk itu kemudian berdiri dan berjalan mendekati Herlin. Seekor serigala yang tingginya kira-kira 3 meter, dengan bulu putih bercorak hitam. Herlin bahkan harus mendongak untuk melihat ke arah wajah sangarnya. Herlin kemudian bergumam seolah perkiraannya selama ini benar.
"Sudah kuduga."
"Apa?"
"Pasti ada makhluk lain selain para Inuijin itu. Aku benarkan? The Unseen, Inugami."
Bersambung
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 154 Episodes
Comments