Seminggu setelah pulang dari undangan Syahdan dan Lara. Shilla masih saja hanya mengatakan satu dua kata. Denis terus mencari akal untuk memancing Shilla bicara.
"Shilla masih belum ada kemajuan, dua minggu lagi Bi Sum balik ke sini. Hmm ... aku tambah saja masa liburnya Bi Sum." Denis bergumam pelan. Denis sedang berada di ruangan bacanya. Ia pun menelepon Bi Sum untuk menambah masa liburnya. Bi Sum tidak bertanya apa pun, ia hanya menjawab 'ya'.
"Shilla!" Denis memanggil Shilla dari ruang bacanya.
Shilla mendengarnya, tapi tidak menjawab. Dia hanya berjalan keluar dari kamar dan menghampiri Denis di ruang baca. Shilla membuka pintu ruang baca. Hal pertama yang Shilla lihat adalah pria yang sedang duduk berselonjor di sofa menggunakan sweater tipis berwarna coklat, dengan celana hitam yang membalut kaki panjangnya. Denis terlihat sangat bercahaya dan terlihat tampan dengan kaca mata beningnya. Denis sedang fokus pada buku yang dibacanya, dia tidak menyadari kehadiran Shilla.
Tok! Tok! Tok!
Shilla mengetuk pintu yang sudah dia buka lebih dulu. Denis menoleh dan tersenyum. Ia menaruh bukunya.
"Eh, Shil, kamu sudah datang. Maaf, apa aku mengganggumu?" Denis takut mengganggu istirahat Shilla.
"Tidak." Shilla selalu menjawab singkat setiap Denis mengajak bicara.
"Jika tidak sedang sibuk ... bisakah kau duduk dan mengobrol denganku sebentar?" Denis mencoba mendekatkan diri pada Shilla. Tapi, Shilla tidak mau merespon. Dia hanya menggeleng dan berbalik keluar sambil berkata.
"Maaf." Shilla melangkah keluar. Baru dua langkah dia berjalan, Denis memanggilnya. Shilla berhenti, tapi tidak berbalik. Shilla berdiri membelakangi Denis.
"Shil, sampai kapan kamu menghukumku seperti ini? Aku tau, mungkin aku salah karena menerima perintah ayahmu untuk menikahimu. Tapi, aku mencintaimu. Alasan aku mau menikahimu karena aku mencintaimu." Denis berkata dengan emosional. Matanya menatap sayu punggung Shilla.
Shilla mengepalkan tangannya kuat. Saat mendengar suara gemetar Denis yang menahan sedihnya. Laki-laki itu tidak bersalah, pikir Shilla.
Maaf, Denis. Aku tidak bermaksud seperti itu. Aku tidak pernah ingin menyakiti hati siapa pun.
"Kamu gak salah," ucap Shilla menahan tangis. Shilla berbalik menatap Denis.
Denis berjalan menghampiri Shilla. Dia tidak bisa melihat Shilla menangis. Denis berhenti dua langkah di depan Shilla lalu menjulurkan tangan hendak menghapus air mata Shilla yang terjatuh. Tapi, Shilla mundur dua langkah, membuat tangan Denis yang terulur hanya menyentuh udara hampa.
"Maaf, aku membuatmu menangis. Lupakan ucapanku tadi! Apa kamu sudah masak untuk makan malam? Aku lapar." Denis mengalihkan pembicaraan mereka. Denis memang sengaja mengatakan hal yang bisa memancing emosi Shilla keluar. Itu salah satu terapi yang dianjurkan Chen padanya.
"Shil. Aku lapar. Kita masak, yuk! Aku bantuin kamu biar cepat." Denis tersenyum dengan sangat manis. Matanya sangat indah, mengkilap tersorot cahaya lampu dari atas. Shilla perlahan mulai terbiasa menatap wajah Denis, meskipun belum sepenuhnya lupa pada almarhum tunangannya.
"Tidak perlu!" jawab Shilla.
"Aku maksa. Jadi, ga usah bantah. Ngebantah suami itu dosa, loh!" Denis mengerlingkan sebelah matanya pada Shilla.
"Hiissh." Shilla mendengus melihat Denis bersikap genit. Dia berjalan menuju dapur, Denis mengikuti dari belakang.
Sedikit demi sedikit, aku mulai terbiasa dengan kehadiran Denis. Meskipun, aku belum merasakan apa pun padanya, tapi dia membuatku sedikit melupakan kesedihanku.
"Apa yang bisa aku lakukan?" tanya Denis setelah sampai di dapur. Shilla mengeluarkan bahan makanan dari kulkas dan Denis menoleh ke dalam kulkas yang isinya mulai kosong.
"Kupas dan iris ini!" Shilla memberikan bawang merah pada Denis. Shilla juga memberikan pisau padanya. Denis duduk di kursi dekat meja dapur lalu mengupas bawang itu satu persatu. Makin lama, matanya makin terasa perih dan mengeluarkan air mata, bahkan membuatnya terisak seperti sedang menangis.
Shilla tersenyum melihat Denis menangis karena bawang yang sedang diirisnya. Denis mengalihkan pandangannya dari bawang, menatap ke arah Shilla yang sedang tersenyum. Ini pertama kalinya Denis melihat Shilla tersenyum.
"Aku rela nangis tiap hari, ngiris bawang. Asalkan bisa melihatmu terus tersenyum seperti ini," ucap Denis sambil menatap Shilla.
Shilla berhenti tersenyum dan melanjutkan kegiatannya mencuci udang. Shilla merasakan sesuatu yang aneh saat mendengar ucapan tulus Denis. Dia merasa senang sekaligus canggung mendengar hal manis seperti itu dari Denis.
"Yah ... mendung lagi," ucap Denis kecewa.
Shilla berkerut heran mendengar ucapan Denis. Hum, memangnya dia bisa lihat langit dari dalam rumah.
"Kamu tau gak, di mana mendungnya?" tanya Denis. Shilla menggeleng sambil tangannya sedang mengiris paprika merah.
"Mendungnya di wajah kamu. Padahal tadi cerah banget pas lagi senyum," ucap Denis berpura-pura sedih. Shilla gugup dirayu oleh Denis.
"Aww." Shilla yang kaget tangannya teriris langsung melempar pisaunya.
"Sayang, kamu gak apa-apa, hah? Apa sakit? Hem." Denis bangkit menghampiri Shilla dan langsung menghisap telunjuk kiri Shilla yang teriris. Denis sangat khawatir. Shilla merasakan darahnya berdesir hebat saat Denis menghisap jarinya. Shilla cepat-cepat menarik tangannya.
"Maaf, aku gak bermaksud kurang ajar," ucap Denis.
"Terima kasih." Shilla hanya menjawab dengan ucapan terima kasih.
Denis menyimpulkan bahwa Shilla tidak marah. Denis kembali ke meja dan melanjutkan mengiris bawang yang hanya tinggal satu butir. Setelah selesai dia menghampiri Shilla dan berdiri di samping Shilla yang sedang mencincang bawang bombay.
"Sini, biar aku saja." Denis mengambil bawang itu. Shilla memberikan pisaunya dan berdiri menunggui Denis selesai mencincang. Bukannya lebih cepat. Shilla kesal karena itu justru lebih lama dari yang seharusnya. Shilla merebutnya.
"Isshh, lama!" Shilla cemberut menatap Denis.
Denis terus menatap Shilla yang sedang serius mencincang bawang bombay. Shilla masak tumis udang saus tiram dan tempe goreng. Setengah jam kemudian, masakan Shilla matang. Shilla menghidangkannya di meja, mereka duduk berhadapan.
Shilla sudah mengisi piring Denis dengan nasi dan tumis udang serta tempe. Shilla juga sudah mengisi piringnya. Shilla menyuap makanannya, tapi Denis hanya mengaduk-ngaduk makanannya. Matanya hanya menatap ke depan, ke arah Shilla. Meskipun Shilla tidak balas menatap Denis, tapi dia tahu bahwa Denis sedang menatapnya.
"Tidak enak?" tanya Shilla.
"Hah? Oh, ini enak, ko," jawab Denis gugup.
"Kenyang?" tanya Shilla.
"Ehh?" Denis bingung karena jelas-jelas Shilla tahu kalau dia belum memakan makanannya.
"Menatapku. Apa membuatmu kenyang?" tanya Shilla tanpa menatap Denis.
"He he he, masih laper, sih, tapi bikin bahagia natap kamu." Denis menyuap makanannya. Mereka melanjutkan makannya dengan diam. Selesai makan Shilla membawa piring kotor ke tempat cuci piring dan mencucinya. Setelah selesai mencuci piring, Shilla langsung pergi ke kamarnya di atas. Denis pergi ke kamarnya di samping tangga.
Di kamar masing-masing, mereka melamun. Duduk di tengah ranjang dengan pikiran masing-masing. Memikirkan banyak hal.
"Ini pertama kalinya aku merasa berdebar saat dia menatapku. Aku perlahan sudah merasa nyaman berada disampingnya," gumam Shilla sambil memeluk guling.
Di kamarnya, Denis juga bergumam. "Hmm, hari ini pertama kali aku melihatnya tersenyum. Semoga saja dia bisa tersenyum lagi seperti dulu." Denis lalu merebahkan tubuhnya telentang, kedua tangannya dipakai sebagai bantalan kepala. Denis tersenyum menatap langit-langit kamar, perlahan matanya mulai terasa berat dan mulai menutup lalu tertidur.
^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^
please like n komen
readers2 sayang
makasih..love you all
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 131 Episodes
Comments
$꒒2🙌SHEAN
ya ampun, kek anak sekolahan klo lagi jatuh cinta 🌝🌝🙈🙈
2021-10-31
1
$꒒2🙌SHEAN
hah? aghh🙈🙈🙈
2021-10-31
1
$꒒2🙌SHEAN
uhuk uhuk..😂😂😂
2021-10-31
1