Chill, It's Only Chaos

"Jangan ragu. Saya ahlinya membuat kekacauan."

🔥🔥🔥

Orang bilang, membangun dan merencanakan sesuatu dalam diam itu lebih dahsyat efeknya. Andara percaya itu. Dia memerlukan waktu beberapa hari untuk mewujudkan rencana hari ini.

Hari kerja bukan waktu yang ramai untuk menonton bioskop apalagi pukul empat sore seperti sekarang. Pengunjung bioskop cuma anak sekolah atau anak kuliah dan isinya yang tidak sampai setengah dari kapasitas teater. Dia memandang jemu layar besar yang hanya berjarak lima meter dari tempatnya duduk. Jika biasanya setiap menonton Andara selalu memilih duduk di tengah dengan barisan ketiga atau keempat dari atas, kali ini, dia bahkan memilih kursi di samping jalan keluar. Andara tidak peduli, toh dia tidak berminat menonton film itu.

Dia sedang dalam suatu misi.

Bibir Andara tersimpul geli di antara layar yang sedang menampilkan tangisan sedih aktornya. Film norak, sama kayak yang nonton! bisik hati Andara mengejek. Dia paling tidak suka kisah romantis yang meninabobokan penonton dengan impian-impian bodoh, dibuai dengan harapan bahwa semua akan berakhir baik-baik saja dan bahagia. Perempuan sekarang kebanyakan terlena akan dongeng klasik kalau nanti ada Pangeran Berkuda Putih datang untuk membantu menyelamatkannya. Pantas saja sekarang semua buku dan film yang laku keras adalah jenis ini, jenis melankolis nggak karuan. Penikmatnya sudah mengalami kedunguan akut, halusinasi tingkat tinggi.

Andara mendengkus bosan. Dia memutuskan untuk keluar, menunggu target yang sedang menonton film sampah tadi di XXI Cafe.

Selama satu jam, dia menunggu dengan sabar ditemani segelas cokelat panas sampai matanya mendapati pasangan yang diikuti sedari dari tadi. Pasangan yang baru keluar dari teater itu menuju ke arah ujung dan berpisah memasuki toilet, tidak menyadari sosoknya. Ketika sang target cewek dirasa sudah sendiri, dan target cowok tidak terlihat, Andara menyelinap masuk ke toilet cewek. Dia berdiri di depan wastafel, berpura-pura mencuci tangan.

Tak lama, perempuan berambut panjang itu keluar dan mencuci tangannya di samping Andara. Andara menyapu inci demi inci penampilan Nina melalui kaca. Gadis berkulit kecokelatan itu memakai lensa kontak abu-abu, rambut panjangnya dibuat ikal dan digerai. Sosok itu sedang memoles ulang lipstik, yang mungkin saja habis karena aktivitas di dalam bioskop. Tatapan mereka beradu di kaca.

"Boleh minta tisunya?" tanyanya melirik pouch bag milik Nina.

Cewek itu mengangguk dan menunjuk tisu basah, meminta Andara untuk mengambil tanpa sungkan. Andara menyentuh tas kosmetik Nina yang terasa penuh, mengambil tisu.

Sebagai orang asing, Andara menarik senyum kecil lalu mengedip lepas ke Nina, seolah berterima kasih. Nina membalas senyumnya sembari mengusap perona pipi, membuat muka itu seperti habis dipukuli. Setelah semuanya beres, Nina lalu keluar dari toilet. Perempuan itu pasti menghampiri pasangannya yang menunggu di bagian depan.

Andara menghitung dalam hati sembari mengentak pelan boots-nya. Dia beranjak keluar dari toilet setelah hitungan tiga puluh detik sejak kepergian Nina. Dia mengawasi langkah Nina dan Buana yang menjauh, sembari memesan minuman soda berukuran besar di kafe untuk dibawa pulang. Setelah Coca-Cola di tangan, dia lantas bergegas menyusul dua kutu busuk itu lagi.

Pasangan yang tidak tahu sedang dibuntuti itu menuju ke arah parkiran. Andara mengirimi pesan kepada seseorang yang sudah dimintanya datang untuk melancarkan rencana. Dia bahkan menelepon sebentar untuk memastikan. Sesaat Andara juga melirik kanan dan kiri, atas bawah, menelaah sekitar.

Tepat di lobi selatan yang dilewati banyak orang, pijakkan Andara semakin ringan. Dia menipiskan jarak dengan mereka yang semakin mesra. Buana merangkul bahu Nina dan tangan cewek itu bergelayut di pinggang Buana. Sungguh pasangan yang serasi, pasangan-serasi-tidak-tahu-diri.

Ponsel Andara bergetar. Dia melihat sebuah mobil jip berjalan dari jauh menuju ke tempatnya. Tanpa membuang waktu, saat kaki pasangan itu tepat menyentuh aspal parkiran —Andara tidak tega membayangkan OB harus membersihkan lantai granit akibat ulahnya— Andara membuka penutup soda, menumpahkan isinya di kepala Buana.

"DASAR PLAYBOY KADAL! JADI INI KERJAAN LO DI BELAKANG GUE?!" pekiknya membuat mereka bertiga menjadi pusat perhatian. Andara dapat melihat mata Buana membulat. Dia tidak menyia-nyiakan waktu untuk menunggu Buana berbicara. "BILANG SAYANG, BILANG CINTA TAPI SELINGKUH! LO BIADAB! EMANG SAMPAH LO BERDUA!"

Sesuai rencana, dia mendapati tatapan simpati orang ke arahnya dan pandangan sinis ke pasangan itu. Andara dapat melihat Nina gelagapan, antara tidak menyangka kalau orang yang tersenyum ramah di toilet tadi akan mempermalukannya atau merasa risi karena rambut yang sudah didandani di salon menjadi rusak.

Dikembangkannya senyum selintas sambil berjalan mundur, secepatnya pergi setelah melempar gelas plastik kosong ke muka Buana. Dengan sekali entakan, dia masuk ke dalam mobil jip merah yang berhenti tidak jauh dari peristiwa itu. Seperti adegan di film aksi, pengemudi di sampingnya langsung melajukan kendaraan dihujani teriakan Buana yang meminta mereka berhenti. Cowok itu terlihat sangat malu dan sangat ... marah. Andara meringis puas, menontoni Buana dari kaca spion yang makin lama semakin menjauh. Look, dumbass! There's a price you have to pay.

***

"Itu Buana?" tanya Kin, cowok yang ada di balik setir sambil melirik ke kaca tengah. Ekor mata orang di sampingnya memperhatikan bagaimana Buana yang baru saja disiram Andara berusaha mengejar mobil mereka. Andara mengangguk, menarik sebuah senyum simpul di ujung bibir. "Gila, sih, Ra. Untung gue sampainya cepat, kalau nggak?! Bisa kena gibas di tempat lo."

Cewek berambut di atas leher itu hanya terkekeh geli. "Gue juga nggak akan siram dia kalau tanda-tanda kedatangan lo belum jelas. Gue nggak segambling itu!" cibirnya di sela tawa. "Tapi, lo lihat nggak sih tampang mereka? Mukanya pucat banget kayak lagi ML digrebek sekampung!"

Kin kembali bergeleng, meski tak urung ikut tersenyum. "Belum bisa move on?"

Andara berdengkus sambil menyeringai. "Ini bukan masalah move on, Pakcik."

Jawaban itu membuat Kin mengangkat alis sangsi. Cowok itu seperti merasa ada yang tidak sesuai antara ucapan dengan fakta.

"Beneran!" Andara memukul lengan Kin, seperti mengerti sedang diejek. "Gue cuma mau mengenalkan diri sama Nina, kok. It's just a greeting!"

"What?" Kin memelotot. Perkenalan macam apa tadi?

"Udah deh, Kin." Andara mengalihkan pembicaraan. "Lo udah makan belum? Gue belum makan, nih."

"Lha? Terus ngapain lo di sono lama-lama? Bukannya cari makan," balas Kin telak. "Emang enak mamam pemandangan mantan sama pacar barunya?"

"Ralat! Bukan pacar baru, tapi mantan terdahulu sebelum gue," ujar Andara memiringkan badannya ke arah Kin. "Gue cuma mencoba totalitas. Kalau mau sesuatu itu, jangan tanggung-tanggung. Kalau mau jahat, jahanam sekalian."

"Nekat!" balas Kin.

"Yes, I am." Andara melirik jalan yang mereka lalui. Tak lama, dia menunjuk sebuah rumah makan Padang untuk mereka singgahi. "Sederhana aja. Gue perlu makan banyak untuk asupan secara tadi energi gue terkuras semua."

Mereka berdua duduk berdampingan di meja kosong. Pelayan mulai menghidangkan semua jenis makanan dan Kin mulai membahas hal tadi lagi. "Untung lo nggak kenapa-kenapa, Ra. Kalau sampai ditangkap Satpam gimana?"

"Dude, gue nggak membuat kekacauan di dalam mal. Lokasi kejadian sudah berada di luar bangunan keleus." Andara meraih piring dan menuang nasi. Matanya melirik Kin sebentar. "Lagi pula dia nggak akan bisa menjerat gue sekalipun memakai pasal perbuatan tidak menyenangkan. Nggak ada unsur paksaan baik fisik atau psikis," jelasnya.

Kin berdecak. Cowok yang baru pulang seminggu di Jakarta ini seperti mencoba menahan keberatannya. "Kata siapa? Ngirim peti mati aja bisa diperkarakan, kok."

"Udahlah, nggak ada bukti otentik juga. Nggak ada yang ngerekam tadi, CCTV juga nggak mengarah ke sana. Lagi pula, mana dia kepikiran begitu? Kuliah aja belakangan sering bolos."

Kin hanya diam dan menyodorkan sebuah piring ke depan Andara. "Nih, buat lo..."

"Apaan?" Andara memperhatikan piring berisi satu potong lauk dan kuah berwarna kekuningan.

"Gulai otak, biar lo ada otaknya."

Andara hanya tertawa menyikapi sindiran Kin. Otak? Wow, memangnya tadi terlihat nggak pakai otak, ya? Padahal otaknya sedang bekerja cukup keras, lho. Tidak mudah menyetel waktu dan situasi agar sesuai dengan rencananya biar terlihat dramatis di hadapan penonton. Penonton kan haus akan keributan, apalagi menyerempet kisah romansa seperti tadi.

"Ketawa aja lagi lo!" Kin meraih wadah nasi yang disodorkan Andara. "Kusumpat mulutmu nanti pakai granat!" ujarnya mengikuti ucapan berita yang lagi seru.

Andara makin terkekeh geli. Kejadian tadi hanyalah perkenalan, sungguh. Ibarat buku nonfiksi, peristiwa itu barulah kata pengantar. Jika buku fiksi, tadi itu barulah prolog. Belum ada masuk ke bab satu sama sekali.

Dendam? Andara sendiri bingung apakah dia dendam atau lebih dari itu. Rasa-rasanya lebih kompleks dari sekadar dendam. Dia ingin Buana menyesal, Nina sadar dan mereka juga merasakan apa yang dirasanya. Mereka tidak berhak bahagia di atas penderitaan orang lain. Cowok itu juga harus membayar semua utang dari perbuatannya, dan tentu saja, harganya tidak murah.

Terpopuler

Comments

Anggita Putri

Anggita Putri

kepura puraan nya perempuan dan diam nya perempuan itu sadis Lo ya kalo sdah merah , aplgi dendam sama orang

2021-06-10

0

ren_iren

ren_iren

keren Thor cewek tangguh...
maaf Thor baru nemu ceritamu 🙏

2021-03-21

1

Darknight

Darknight

asikk bru awal dh dpt malu..next

2021-02-14

0

lihat semua
Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!