Pantai

Baru beberapa jam sepertinya aku dan Sonya sudah cukup dekat dan bisa sedikit memahami sifatnya, dia anak delapan belas tahun yang cukup ramah dan senang berbagi cerita, dia cukup terbuka.

Usai peresmian kantor dengan gaya Adhitama Group yang elegan berakhir, aku segera meminta Khalif membawaku pergi. Walaupun ku akui aku suka berbincang dengan adik sepupunya, Sonya, tetapi yang malasnya adalah kerabatnya yang lain selalu mengatakan bahwa aku ini adalah calon istrinya Khalif.

Ku akui, aku memang calon istrinya, tapi ya aku kan belum mengatakan bahwa aku setuju menikah dengannya, justru sekarang aku dan pria itu menyusun rencana agar pernikahan kami tak pernah terjadi.

Sama seperti perjalanan pertama tadi menuju kantor, suasana mobil yang membawa kami melaju kini juga sama heningnya dan sedikit membuatku canggung. Tapi ya ini lebih baik dari pada aku dan dia berdebat sebab aku sudah cukup pusing akibat pesta itu.

Entah apa yang sedang aku lamunkan sampai aku tak sadar ternyata Khalif melajukan mobilnya menuju pantai. Aku bahkan tak ingat dengan apa yang sudah ku pikirkan selama perjalanan. Astaga, mau apa sih memangnya pria ini membawaku ke sini, aku kan tadi memintanya membawaku pulang ke rumah. Memangnya rumahku di sini, di pantai ? laut ? memangnya aku duyung.

Tanpa memikirkan bahwa aku sedang kesal karena dibawanya ke tempat ini, dia keluar dari mobil dan duduk di atas butiran pasir pantai yang tak terhitung jumlahnya sambil mengarahkan pandangan ke laut. Aku pun juga keluar dari mobil menyusul Khalif dan duduk di sampingnya.

“Kenapa ke sini ? Ku bilang tadi kan aku mau pulang”

“Entahlah, aku juga bingung kenapa ke sini akhirnya. Pulangnya nanti saja, nanti ku antar”

Apa sih mau pria ini, kenapa coba setelah dia mengajakku ke sini dia masih cuek banget. Bahkan waktu bicara pun wajahnya sama sekali tak melihat ke arahku dan masih terfokus menatap laut biru nan indah di sana. Apakah laut itu jauh lebih indah dariku sampai dia tak begitu peduli dengan keberadaanku. Kalau begitu benarnya, kenapa dia tak menyuruhku pulang saja naik taksi.

“Kenapa memangnya, aku mau pulang sekarang” tanyaku ketus.

“Aku hanya malas pergi rapat hari ini. Kalau Ayah tahu sekarang aku sedang bersamamu di tempat ini, dia takkan memaksaku pergi”

Apa katanya ? Apa dia sedang mengatakan bahwa aku sekarang menjadi alasannya untuk tidak mengikuti perintah Ayahnya, Om Farhan. Sekesal-kesalnya aku terhadap Khalif, aku masih bisa melihat ekspresi wajahnya yang menyiratkan kesedihan. Aku selalu menyimpulkan “kesedihan” yang pria itu rasa ketika ia mengatakan sesuatu mengenai sang Ayah.

“Memangnya kenapa kamu malas, bukankah itu tugasmu juga untuk terlibat dalam rapat”

“Hanya saja, ada seseorang yang tak ingin ku temui di sana”

Kini, manik hitam di matanya bertabrakan dengan mataku. Apa yang sedang terjadi dengan pria ini Tuhan ? Kenapa sampai aku melihat mata itu memancarkan kesedihan ?

“Sepertinya kau punya alasan yang kuat melakukan hal ini. Ku harap aku takkan terlibat di dalamnya”

Jujur saja, aku sedikit iba dengan tatapannya dan terlebih mengetahui bahwa hubungannya dengan Om Farhan kurang baik. Apa tatapan menyedihkan itu disebabkan oleh Om Farhan, aku juga tidak tahu. Tapi setiap kali beradu pandang dengannya seperti ini, amarahku spontan menurun seolah dikendalikan seseorang.

Sudah cukup lama kami berada di pantai ini, Khalif pun akhirnya memutuskan untuk mengajakku pulang. Sesampainya di mobil, ku dengar suara handphone milik Khalif berdering, ya ampun ternyata dia meninggalkannya handphone-nya di dalam mobil saking tidak inginnya ia dihubungi.

“Iya, aku beneran sama dia, lagian kita sekarang jugamau pulang”

“Di pantai”

“Aku sudah bilang kalau aku tidak bohong”

Terdengar kalau Khalif mulai mengoceh bicara dengan Ayahnya di telepon. Sepertinya Om Farhan tidak yakin jika sekarang anaknya bersama denganku. Tebakanku benar karena Khalif kemudian menyerahkan telepon miliknya itu kepadaku dengan maksud agar aku bicara dengan Ayahnya untuk meyakinkan apa yang menjadi keraguan.

“Halo Om, ini saya, Alyssa”

“Iya Om dia nggak bikin saya kesal kok”

Setelah sedikit obrolan dengan Om Farhan akhirnya telepon itu terputus juga karena Ayah dari Khalif ini sedang ada tamu. Ku serahkan telepon miliknya itu kemudian, Khalif tak menanyakan apapun terkait obrolanku dengan Ayahnya, dia sama sekali tak penasaran.

Lamborghini putih ini kembali meluncur menuju rumahku. Selama perjalanan aku pun masih saja badmood, aku bukan tipe wanita di luar sana yang amat bahagia bisa naik mobil mewah ini dengan pria seperti Khalif Adhitama. Aku sama sekali tak merasakan keberuntungan yang mereka katakan sewaktu mereka melihatku di parkiran kantor bersama Khalif.

Tibalah akhirnya aku di rumah setelah melewati perjalanan yang kurasa membosankan. Khalif kemudian langsung pergi setelah mengantarkanku. Aku sungguh tak peduli ke mana dia akan pergi setelah ini.

Ku lihat mobil Papa sudah terparkir rapi di garasi , itu artinya mereka sudah pulang. Pasti mereka bingung kenapa aku belum sampai ke rumah padahal aku tadi lebih dulu pamit pulang. Walaupun aku tak menghubungi mereka, tapi mereka sama sekali tak meneleponku karena mereka sangat yakin keselamatanku akan dijamin oleh Khalif, pria pilihan mereka untukku.

Papa yang sedang mengerjakan urusan kantornya di depan laptop sambil ditemani Mama pun keduanya kompak mengedarkan pandangan ke arahku yang baru memasuki area ruang tamu. Aku pun melangkahkan kakiku ke tempat duduk mereka. Tanpa disuruh aku sudah duduk di sofa dengan wajahku yang ku yakin terlihat lelah.

“Kalian habis dari mana Al ?” tanya Mama kepadaku. Wajah beliau sama sekali tak menunjukkan kekhawatiran melainkan memasang raut bahagia terkesan ingin menggali lebih dalam mengenai perkembangan hubungan kami.

Mama Papa pasti senang melihatku dengan Khalif seperti ini. Ku yakin mereka berharapnya aku dan Khalif akan pergi jalan-jalan, nonton dan makan malam romantis seperti kebanyakan pasangan lainnya yang menjalin hubungan.

Boro-boro memikirkan hal itu, memikirkan rencana selanjutnya untuk menggagalkan pernikahan saja aku hampir kehabisan akal. Karena di sini cuma aku yang menyusun rencananya, Khalif ? dia sama sekali tak mengatakan apapun mengenai ide atau alasan yang kuat untuk keberhasilan tujuan kami.

“Aku habis dari pantai”

Benar kan, mereka sangat tertarik mendengar pernyataanku. Mereka pasti mikirnya aku dan Khalif di pantai itu bersenang-senang, menikmati pemandangan dan ketawa-ketawa. Bahkan saking tertariknya, Papa sampai menghentikan aktivitasnya mengetik sesuatu di barisan keyboard.

“Apa ?” tanyaku kepada mereka yang memasang wajah penasaran mengenai apa yang kami lakukan di sana.

“Kalian sepertinya semakin dekat, lalu apa yang kalian lakukan di sana?”

“Bagaimana Al, cepat cerita”

See ? mereka sangat penasaran. Tingkah mereka sudah seperti Nadira yang begitu penasaran bin “kepo” dengan ceritaku. Mereka menunggu jawabanku.

“Tidak melakukan apa-apa, cuma duduk-duduk aja” jawabku jujur. Saking jujurnya sampai mereka bahkan tak mempercayai apa yang ku katakan. Wajar sih kalau mereka seperti itu karena mana ada coba orang yang ke pantai tapi tak melakukan apa-apa, setidaknya kan jalan-jalan menyisiri pantai. Tapi seharusnya mereka perlu mengingat kalau aku dan Khalif bukan seperti pasangan lainnya.

Mereka tampak kecewa dengan jawabanku tak sesuai dengan yang diharapkan. Bagaimana lagi, aku sekarang terlalu lelah untuk berbohong dengan mereka. Jika aku mengatakan kalau di pantai tadi aku bersenang-senang dengan Khalif pasti mereka akan menanyai yang macam-macam dan jadi panjang lebar pembahasannya.

Meskipun strategiku sekarang adalah pura-pura menerima keadaan, tapi bukan berarti aku akan menempatkan diriku dalam posisi yang seolah aku bahagia menjalaninya bersama pria pilihan mereka. Aku tetap mempertahankan harga diriku yang bersikeras menentan perjodohan bodoh ini.

“Papa tahu kalian pasti sedikit canggung karena belum terbiasa jalan berdua, tapi Papa sudah sangat bahagia kalian ada kemajuan”

Raut wajah Papa benar-benar bahagia mengatakan hal demikian, walaupun sebelumnya terlukis kekecewaan akan jawaban yang ku berikan. Ya Allah, kenapa aku harus dihadapkan dengan dilema seperti ini. Aku sangat ingin melihat kedua orang tuaku bahagia tapi andai ada hal lain yang membuat mereka bahagia selain dari pada perjodohan ini pasti akan ku lakukan untuk mereka.

Menjalin hubungan dengan Khalif rasanya seperti disuruh untuk menghitung jumlah butiran pasir pantai yang tadi ku datangi, sulit sekali. Di saat perempuan lain menginginkan menjadi pendamping hidup Khalif, aku justru menganggapnya sebagai mimpi buruk.

“Alyssa capek, Alyssa pergi ke kamar dulu ya Ma, Pa”

“Oh iya Al, besok kamu harus pergi ke rumah Khalif ya soalnya tadi Ajeng bilang kalau Key kangen sama kamu” ucap Mama menyampaikan pesan dari Tante Ajeng.

Apalagi sekarang ? Sepertinya semua anggota keluarganya sangat menginginkanku untuk mendampingi Khalif. Bahkan si kecil Key pun sudah merindukanku padahal tadi kami bertemu cukup lama. Aku mengangguk pasrah dengan perkataan Mama barusan dan melanjutkan langkahku ke kamar.

Ah, sudahlah aku hanya perlu menemui Key besok, lagi pula aku juga sudah terlanjur menyayangi gadis kecil itu, dia sangat cantik dan manis. Aku hanya akan bermain dengannya besok dan bukannya disuruh untuk berkencan dengan Om Khalifnya Key, kan ? Jadi aku tak perlu khawatir.

Semoga suka. Salam manis, Bie.

Next ?

Terpopuler

Comments

eva marc

eva marc

bgus crtax

2020-03-02

1

Herra

Herra

suka...

2019-08-31

1

Ari Nurmawati

Ari Nurmawati

semangat Thor ......kata kata nya bikin adem

2019-08-26

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!