Setelah menyusuri kota dari pagi bersama Nadira, kuputuskan untuk pulang ke rumah dan bicara dengan kedua orang tuaku. Aku tahu pasti mereka sedang mengkhawatirkanku sejak aku pamit pergi setelah sarapan tadi pagi. Terbukti juga dari telepon Dira yang beberapa kali berdering karena mendapat panggilan dari Mama hanya sekedar memastikan bahwa aku baik-baik saja bersama Nadira.
“Mungkin saja mereka berubah pikiran” pikirku mencoba memberikan harapan kosong untuk diriku sendiri. Ku tahu dan sangat mengenal kedua orang tuaku jika membuat keputusan, mereka takkan mudah mengubahnya hanya untuk sebuah alasan klise.
Mobilku telah sampai di gerbang dan ku lihat Pak Andi segera berlari untuk membukakan pintu gerbang. Aku segera memarkirkan mobilku. Dengan cepat aku segera turun dari mobilku yang pengap seolah kekurangan oksigen yang seakan bersekongkol untuk membuat hariku tampak sulit dijalani. Kakiku mulai memasuki area rumah milik Tuan Adimas Dewantara, papaku, ini dengan ragu yang terus saja mencoba menghentikan setiap langkahnya.
Ku hentikan langkahku sebentar, mencoba mencari kedamaian sekejap untuk hatiku yang kini sedang meronta-ronta tak karuan. Mataku yang terpejam mampu menjelaskan betapa aku sungguh gugup bertemu orang tuaku sendiri. Lebih tepatnya aku takut dengan keputusan yang mereka buat.
Beberapa detik berlalu. Ku beranikan membuka mataku dan tanganku melakukan tugasnya untuk membuka pintu rumah yang tak terkunci dan masuk ke dalam mencari keberadaan orang tuaku, Mr. Dewantara dan Mrs. Dewantara.
“Kamu sudah pulang”
Mama tiba-tiba mengagetkanku dari arah dapur, sedangkan Papa ternyata dari tadi sudah melihat gerak-gerikku yang memasuki rumah ini yang seperti orang asing. Aku yang memasang raut sendu tak mampu untuk bersikap pura-pura tersenyum, bisa-bisa mereka menyangkanya aku senang lagi nanti dengan perjodohan ini.
Aku segera menghampiri Papa yang baru saja menetakkan cangkir tehnya di meja yang berada di depannya. Kali ini, aku hanya akan mencoba memohon satu kali agar perjodohan ini dibatalkan, jika tidak berhasil maka aku akan melakukan rencanaku berikutnya, pura-pura menerima perjodohan ini.
Kenapa hanya satu kali ? Jawabannya adalah karena merayu Papa dan Mama adalah bagian tersulitnya, apalagi jika Papa sudah mengatakan, “Papa selalu turutin mau kamu selama ini, sekarang giliran kamu yang turutin permintaan Papa kali ini”.
Dengan segenap keberanian, ku coba memulai aksiku dan hatiku penuh harap agar kalimat itu tidak terucap dari bibir Papa.
“Pah, Alyssa mohon sama Papa, sekali iniii saja Papa kabulin permintaan Al, Al nggak mau dijodohin sama Khalif. Alyssa nggak cinta, dia juga nggak cinta sama Al”
Papa kemudian menaruh tangannya di pucuk kepalaku dan mengusap rambutku dengan pelan penuh kasih sayang. Aku hanya menunduk menanti jawaban yang akan keluar dari mulut Papa. Mama juga menatapku seperti cara Papa menatapku.
Sebenarnya aku paling tidak bisa menahan air mata jika melihat mereka yang memperlakukan dan menatapku seperti ini. Jika saja ini bukan mengenai perjodohan, sudah aku peluk erat mereka dan membiarkan air mataku jatuh dengan sesukanya. Aku harus bisa menahannya sebentar saja, kali saja Papa mau mengabulkan permintaanku. Kalau rencana ini gagal setidaknya aku tak perlu malu karena sampai menangis segala.
“Papa tahu jika kamu menolak, tapi bukankah Papa juga sudah katakan jika kalian tak harus menikah sekarang. Kalian punya waktu enam bulan untuk saling mengenal dan dalam kurun waktu itu hal yang mustahil bisa saja terjadi. Bisa saja kalian saling jatuh cinta”
Firasatku justru mengatakan sebaliknya, bahwa apapun yang terjadi pasti orang tuaku dan orang tua Khalif tetap akan memaksa kami menikah pada akhirnya. Aku menyerah, sepertinya tameng yang mereka buat begitu kuat hingga aku sama sekali tak bisa menembusnya. Aku bukan orang yang suka memanfaatkan air mata agar keinginanku terkabul, sayangnya egoku terlalu tinggi sampai tak mau menggunakan cara itu seperti di sinetron atau pun drama.
Ting tong !
Suara bel rumahku terdengar, siapa yang bertamu malam-malam begini, pikirku. Ah tidak penting juga, mungkin itu teman Papa yang sering bertamu untuk membahas mengenai pekerjaannya seperti yang sudah-sudah. Langkahku yang tadi sudah ingin mengarah menaiki anak tangga secara otomatis tercekat mendengar suara siapa yang tengah mengobrol dengan Papa.
“Om Farhan ! Oh My God !”
Pandanganku kemudian ku lemparkan ke sana dan benar saja, di sana sudah berdiri Om Farhan dan Khalif. Kenapa mereka ke sini malam-malam ? Apa yang akan Khalif lakukan, apa dia sudah membuat kemajuan untuk rencana menggagalkan perjodohan kami ini ?
“Alyssa” panggil Mama kepadaku yang masih tertegun di samping anak tangga.
Khalif juga mengarahkan tatapannya kepadaku dan tersenyum. Ya Allah kenapa dia begitu manis. Hatiku terus saja mengaguminya yang kini duduk di samping Papa dan lebih tepatnya lagi dia di depanku dan hanya terhalang oleh meja yang setiap harinya bertengger di ruang tamu.
“Saya senang kamu malam ini ke sini, Han. Tapi kenapa jadi dadakan seperti ini, kalau saya tahu kamu ke sini saya akan menyuruh istri saya untuk menyiapkan hidangan spesial untuk kalian” ucap Papa yang juga ternyata terkejut akan kedatangan Om Farhan dan anak bungsunya, calon menantunya.
Om Farhan tertawa mendengar perkataan Papa barusan.
“Adi, Adi, kamu ini bisa saja. Maaf jika sebelumnya saya tidak memberi kabar kalau kami akan ke sini. Saya tadi dan Khalif baru pulang meeting dengan klien di restoran di daerah sini, jadi mumpung tak jauh dari rumah kamu ya saya putuskan berkunjung” jelas Om Farhan dan itulah alasan mengapa Tante Ajeng tak ikut serta ke sini. Khalif seperti biasanya dia hanya bungkam seperti anak gadis desa yang pemalu. Ah, benar-benar.
Papa, Mama dan Om Farhan tertawa entah di mana lucunya topik yang mereka bahas, aku sungguh tak menemukannya. Aku sudah sangat lelah dan ingin tidur ke kamar, tapi tentu saja aku tidak diperkenankan Papa untuk melakukan hal itu. Arghh, tolooongg aku !
“Maaf semuanya, saya ingin mengajak Alyssa mengobrol di luar boleh ?”. Pria “calon suamiku” ini kemudian angkat bicara dan berniat ingin membawaku pergi dari ruang tamu. Sedikit aneh memang ketika aku menyematkan kata “calon suamiku” dalam perkataanku barusan.
Tentu saja ucapan Khalif membuat Papanya dan orang tuaku terdiam, bingung dan juga ada raut senang terlukis di wajah mereka karena mereka mungkin mengingatnya bahwa kami sangat menentang perjodohan yang mereka buat.
Akhirnya aku dan Khalif pergi meninggalkan ruang tamu yang tadi membuat kami seperti kulit kacang yang dicampakkan dan tak diperhatikan keberadaannya alias dicuekin. Aku membimbing pria itu untuk duduk di kursi teras saja karena aku sangat lelah sekarang. Dari tadi pagi aku berada di luar rumah dan jalan-jalan bersama Nadira dan sudah pasti aku merasakan letih di sekujung tubuhku.
“Untunglah kau membawaku pergi dari tempat itu”
Deru napasku yang berat mungkin juga terdengar oleh telinga Khalif. Mataku juga sudah berontak dan memintaku berulang kali agar aku tidur segera karena tadi malam aku begadang tidak bisa tidur nyenyak memikirkan keputusan yang mereka ambil untuk kelangsungan hidupku.
“Aku juga bosan berada di sana” sahut Khalif. Keheningan justru terjadi setelah pria itu mengatakan hal demikian. Aku sama sekali tak memberikan komentar dan terus menahan agar mataku tak terpejam.
Mataku serasa semakin berat saja. Dan entah kapan tepatnya aku mulai tertidur dan bukan itu sebenarnya yang ingin ku tanyakan, melainkan, “Sudah berapa lama aku tertidur di pundak Khalif ?”. Entah sejak kapan dan berapa lama aku menyandarkan kepalaku di pundak pria itu, bangun-bangun aku tersadar bahwa kepalaku sudah dengan lancangnya bersandar di bahunya.
Dan pria ini, kenapa dia diam saja ku perlakukan seperti ini. Dia sama sekali tak membangunkanku sampai ku dengar ponselku berdering dengan cukup keras dari dalam tasku. “Nadira !”
“Halo” sapaku pada Nadira yang menelepon. Aku berusaha mengendalikan perasaanku yang serba salah sekarang. Tentu saja aku malu karena sudah tidur di pundaknya tanpa izin.
Nadira menanyakan apakah aku sudah memohon kepada orang tuaku untuk menggagalkan perjodohan itu ataukah belum. Dia terus saja mengoceh sampai aku tak bisa menjawab.
“Al, Al, kenapa dari tadi diam aja sih” tanya Nadira. Aku memutar bola mataku, menyebalkan sekali, dia dari tadi mengoceh melulu bagaimana caranya aku menjawab pertanyaannya coba.
“Kamu diam dulu, aku nggak bisa jawab karena kamu ngomong mulu. Dir… gagal !” ku dengar Dira juga menghembuskan napas beratnya. Mungkin dia kasihan melihat diriku yang malang ini, gadis yang hidup di zaman modern tapi justru harus melakukan perjodohan seperti zaman dulu-dulu.
“Huh kayaknya kamu emang jodohnya sama dia deh. Lagian nih ya kayaknya perjodohan itu lagi trend sekarang, aku sering banget nemuin cerita yang genre-nya itu perjodohan eh taunya malah jodoh beneran”
Kesal sekali rasanya aku mendengar ocehan sepupuku ini, andai dia berada di hadapanku sudah ku bekap mulutnya yang bawel itu dengan tanganku sendiri. Bisa-bisanya dia mengatakan bahwa mungkin aku berjodoh dengan pria dingin seperti itu, ya memang sih dia tampan tapi kan hal itu tak menjamin jika aku akan bahagia dengannya.
“Bawel ya kamu. Ya sudah ku tutup ya teleponnya” langsung ku matikan sambungan teleponku setelah mengatakan hal itu tanpa mendengar jawabannya terlebih dahulu.
Khalif hanya memandangiku seperti aku ini adalah makhluk asing yang bicara dengan bahasaku sendiri. Apa segitu anehnya aku baginya ? Kenapa pandangannya seolah mengejekku terus. Menyebalkan.
“Kenapa ? Apa aku aneh ?” tanyaku spontan. Dia langsung memalingkan wajahnya ke depan. Ish, dia bertingkah sok keren lagi. Secara bersamaan aku dan Khalif kompak melontarkan pandangan ke arah orang tua kami yang sedang berada di ambang pintu.
Khalif beranjak dari kursi dan berjalan ke arah mereka bertiga, aku hanya mengekorinya saja. Seperti dugaanku, mereka sangat senang melihat kami berjalan berdua. Hmm ya sudahlah hal ini dapat ku terima dari pada mereka bertanya yang tidak-tidak.
“Ah iya Om sampai lupa, besok Alyssa akan ikut Khalif pergi menghadiri acara peresmian kantor yang baru ya karena di sana keluarga besar kami menunggu kedatangan kamu, Nak” aku seketika mematung mendengar ajakan Om Farhan. Hah bagaimana bisa, aku tidak ingin pergi dengan Khalif apalagi ke acara keluarganya, pasti di sana aku tidak akan bisa berkutik dan berbuat apa-apa. Khalif ? Dia pasti akan sibuk dengan sepupu dan teman-temannya nanti jadi untuk apa aku ikut ke sana.
Sekarang aku baru sadar kedatangan Khalif dan Papanya ke sini itu adalah hanya untuk mengundangku ke acara tersebut. Aku langsung memicingkan mata ke arah Khalif. Pria itu malah tersenyum melihat ulahku. Astaga, dia kenapa sih.
Keesokan harinya.
Dengan berat hati aku harus bangun dari tempat tidur. Bukan karena aku malas bangun pagi, melainkan hari ini aku harus berdandan dan menghadiri acara peresmian kantor baru keluarga Adhitama. Sebagai “calon menantu” keluarga Adhitama yang baik aku diharuskan pergi bersama Khalif, “calon suamiku”, iiihhh calon suami ?
Andai saja Khalif adalah Ji Chang-wook, aktor kesukaanku dari Korea Selatan, pasti aku takkan menolaknya. Tapi dia adalah pria yang menyebalkan, kenapa orang tuaku benar-benar tega sih memilih dia sebagai calon suamiku. Dia saja irit sekali bicaranya, bagaimana caranya aku berkomunikasi dengannya coba.
Mama mulai lagi. Sejak pagi tadi Mama sibuk sendiri memilihkan dress yang akan ku pakai. Padahal kan seharusnya aku yang bingung tapi ini malah Mamaku tercinta ini yang rela repot-repot demi anaknya yang masabodo mau pakai dress yang mana.
“Kamu pakai yang ini, kayaknya lebih cocok dibanding yang tadi”
Setelah melewati rangkaian acara pilih-pilih baju yang merepotkan akhirnya pilihan Mama terhenti kepada dress warna cream yang baru saja Mama belikan kira-kira sebulan yang lalu. Dengan berat hati aku memakai dress yang Mama kasih dan segera memakainya. Eits, tak hanya sampai di situ. Mood-ku tambah kacau ketika orang tuaku mengatakan bahwa aku akan dijemput Khalif.
Ku langkahkan kakiku keluar dari kamar, bukan karena aku tak sabar menunggu kedatangan Khalif melainkan kalau aku terus berada di kamar pasti Mama tak henti-hentinya mengomentari penampilanku.
“Itu Alyssa”
Ucapan Papa membuat bola mataku membulat ketika melihat seseorang yang katanya akan menjemputku ke pesta sudah berada di sana, di samping Papa. Aku kesal melihat wajahnya padahal aku baru saja menatapnya beberapa detik. Wajahnya begitu menjengkelkan, dia menatapiku dari atas sampai bawah tapi sama sekali tak menyapaku. Inikah calon suamiku ?
“Kita berangkat duluan ya Om, Tante”
Baguslah Khalif segera membawaku pergi karena aku benar-benar tak ingin ditanya bagaimana perkembangan hubungan kami sampai hari ini. Walaupun di pesta peresmian nanti aku yakin bahwa nanti aku akan disibukkan dengan pertanyaan ini oleh seluruh anggota keluarga Adhitama. Mobil yang kami kendarai segera meluncur ke gedung peresmian yang dimaksud dan meninggalkan Papa dan Mama yang masih bersiap untuk berangkat.
Gedung mewah ini begitu ramai dan dipenuhi mobil para undangan. Entah ini kantor ke berapa yang dibangun Adhitama Group, semuanya yang datang juga terlihat antusias meramaikannya.
Khalif membukakan pintu mobil untukku dan mengisyaratkan bahwa aku harus bergandeng tangan dengannya lalu memberikan kunci mobilnya ke petugas valley. Ya aku harus menuruti perintahnya, anggap saja sebagai formalitas dari rencana yang telah kami susun.
“Kau takkan menyapa mereka dengan wajah kusutmu itu kan ?” tanya Khalif yang kini menggandeng tanganku memasuki ruangan. Ku pikir tadinya dia sama sekali tak memperhatikan raut wajahku.
“Kamu tenang saja, aku pandai ber-acting” jawabku asal.
“Maksudmu kau pandai menipu orang-orang ?”
Astaga sembarangan sekali dia mengataiku “pandai menipu orang”, acting dan menipu itu jelas berbeda. Aku kesal sekali mendengar perkataannya, kalau saja urat maluku sudah putus pasti sudah ku cabik-cabik mulut Khalif. Dia asal sekali bicara.
“Hai Kak Khalif, ah ini pasti Kak Alyssa kan. Perkenalkan aku Sonya, sepupu Kak Khalif”
Sonya merupakan adik sepupu Khalif yang baru berusia delapan belas tahun. Sepertinya dia begitu penasaran denganku karena katanya dia menanti kedatanganku sewaktu tahu kalau kakak sepupunya ini akan menjemputku. Sesudah mendapat izin dari Khalif, Sonya membawaku pergi ke tempat di mana mama dan saudara-saudaranya berada.
Aku sedikit canggung berada di antara anggota keluarga besar Adhitama. Mereka memang menyambutku dengan senang hati, tapi tetap saja mengingat jika pria yang akan menikahiku adalah Khalif, aku jadi malas membicarakannya.
Kencan pertamaku memang sedikit unik dari kebanyakan orang. Di saat orang lain melakukannya dengan acara makan malam romantis dengan pasangan yang mereka cintai, aku di sini justru melakukan hal sebaliknya. Aku bukan berkencan dengan Khalif, melainkan dengan keluarga besar Adhitama, keluarga dari Khalif Adhitama orang yang akan menikah denganku tanpa rasa cinta di antara kami.
Semoga suka. Salam manis, Bie.
Next ?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 35 Episodes
Comments
Tatas Gumirawati
menarik...lanjut bacanya dah
2020-04-30
1
Angel Lia Shanta
mulai suka
2020-03-28
1
eva marc
suka
2020-03-02
1