Bagian 1: Pertemuan Pertama
Kabut tebal menyelimuti Desa Cisarua malam itu. Dingin menyebar, seolah membisikan kata-kata yang membuatnya bergidik ngeri. Arkan mengeratkan jaket kulitnya sambil menatap rumah tua warisan neneknya yang berdiri megah di ujung desa. Rumah kolonial bergaya Belanda itu telah kosong selama lima belas tahun, sejak nenek Arkan meninggal dalam keadaan misterius. Tidak ada yang mau tinggal di sana. Bahkan keluarganya sendiri enggan menginjakkan kaki ke rumah itu.
"Kau yakin mau tinggal di sana sendiri?" tanya Dimas, sahabat karibnya yang menemaninya hingga depan gerbang. Menatap secara bergantian antara Arkan dan rumah tersebut. Mengusap lengan atasnya karena merinding. "Orang-orang desa bilang rumah itu berhantu."
Arkan tersenyum tipis. "Aku tidak percaya hantu, Dim. Lagipula, aku butuh tempat yang tenang untuk menyelesaikan novelku. Di Jakarta terlalu bising."
"Terserah kau sajalah. Tapi ingat, aku sudah memperingatkanmu." Dimas menatap rumah tua itu dengan wajah cemas. "Kalau ada apa-apa, langsung hubungi aku."
Setelah Dimas pergi, Arkan mendorong gerbang besi yang berkarat. Suaranya berderit keras di tengah kesunyian malam. Ia melangkah memasuki halaman yang ditumbuhi rumput liar setinggi lutut. Bunga-bunga liar tumbuh tidak teratur, dan pohon-pohon besar menjulang tinggi, cabang-cabangnya seperti tangan-tangan kurus yang meraih ke langit.
Rumah itu lebih besar dari yang ia ingat. Tiga lantai dengan jendela-jendela besar yang tertutup tirai lusuh. Cat putihnya sudah mengelupas di sana-sini, dan beberapa genteng terlihat pecah. Tapi kesan megahnya masih terasa, seperti kenangan akan kejayaan masa lalu yang perlahan memudar.
Arkan membuka pintu depan dengan kunci tua yang diberikan ayahnya. Pintu kayu jati itu terbuka perlahan dengan bunyi berderit yang membuat bulu kuduknya berdiri. Ia menyalakan senter ponselnya dan melangkah masuk.
Ruang tamu yang luas terbentang di hadapannya. Furnitur-furnitur antik masih tertata rapi, tertutup kain putih yang berdebu. Lampu kristal besar menggantung di langit-langit, berkilauan redup ketika cahaya senternya menyapu. Foto-foto keluarga dalam bingkai kayu tergantung di dinding, wajah-wajah yang menatapnya dengan ekspresi serius dari masa lalu.
Arkan meletakkan tas ranselnya dan mulai membuka jendela-jendela untuk membiarkan udara segar masuk. Debu beterbangan di mana-mana, membuatnya batuk-batuk. Ia menghabiskan beberapa jam membersihkan kamar tidur di lantai dua yang akan ia tempati, kemudian menyalakan generator untuk mendapatkan listrik.
Tengah malam sudah menjelang ketika ia akhirnya bisa beristirahat. Arkan berbaring di tempat tidur tua dengan kasur yang sedikit lembap, menatap langit-langit kamar yang dihiasi ukiran-ukiran klasik. Suara-suara malam terdengar dari luar—jangkrik, burung hantu, dan angin yang berhembus di antara pepohonan.
Ia hampir tertidur ketika mendengar suara itu.
Langkah kaki.
Pelan, teratur, seperti seseorang yang berjalan di koridor di luar kamarnya.
Arkan membuka mata lebar-lebar. Jantungnya berdegup kencang. Ia bangkit dari tempat tidur dan membuka pintu kamar. Koridor gelap membentang di hadapannya, hanya diterangi cahaya bulan yang masuk melalui jendela di ujung lorong.
"Halo? Ada orang?" panggilnya, suaranya bergema di rumah yang sunyi.
Tidak ada jawaban.
Arkan mengambil senter dan berjalan menyusuri koridor. Setiap langkahnya membuat lantai kayu berbunyi. Ia memeriksa kamar-kamar lain di lantai dua, tetapi semuanya kosong. Tidak ada tanda-tanda siapa pun.
"Mungkin hanya imajinasimu," gumamnya pada diri sendiri.
Ia kembali ke kamar dan menutup pintu. Tapi ketika ia berbalik, ia melihatnya.
Sosok seorang wanita berdiri di sudut kamar.
Arkan tersentak, hampir terjatuh. Senternya jatuh dan berguling di lantai, cahayanya berputar-putar sebelum akhirnya menerangi sosok itu dengan jelas.
Wanita itu mengenakan gaun putih panjang bergaya Victoria yang sudah kusam. Rambutnya hitam legam dan panjang, menutupi sebagian wajahnya. Kulitnya pucat seperti porselen, hampir tembus pandang. Tapi yang paling mengejutkan adalah matanya—hitam pekat, tanpa putih mata sama sekali, seperti dua lubang kosong yang menatap langsung ke dalam jiwa.
Arkan tidak bisa bergerak. Tidak bisa berteriak. Ia hanya bisa menatap sosok itu dengan mulut terbuka, tubuhnya gemetar ketakutan.
Wanita itu tidak bergerak. Ia hanya berdiri di sana, menatap Arkan dengan tatapan kosong yang menusuk. Kemudian, perlahan, bibirnya bergerak membentuk senyuman—senyuman yang aneh, tidak alami, seperti seseorang yang sudah lama lupa bagaimana cara tersenyum.
"Jangan... takut..." Suaranya berbisik, lembut seperti angin malam, tapi menggema di kepala Arkan dengan cara yang tidak wajar.
Kemudian, seperti asap yang terhembus angin, sosok itu menghilang.
Arkan terduduk lemas di lantai, napasnya tersengal-sengal. Keringat dingin membasahi dahinya. Ia meraih ponselnya dengan tangan gemetar, ingin menelepon Dimas, tapi kemudian menahannya. Apa yang akan ia katakan? Bahwa ia baru saja melihat hantu?
Ia tidak tidur malam itu. Duduk di sudut kamar dengan lampu menyala terang sampai fajar tiba.
Bagian 2: Kehadiran yang Mengintai
Pagi hari datang dengan cahaya matahari yang hangat, dan rumah tua itu terlihat jauh lebih ramah di bawah sinar hari. Arkan mencoba meyakinkan dirinya bahwa apa yang ia lihat semalam hanyalah halusinasi akibat kelelahan dan stres. Ia sudah bekerja terlalu keras di Jakarta sebelum memutuskan untuk pindah ke sini.
"Ya, pasti itu," gumamnya sambil membuat kopi di dapur yang luas. "Hanya stres."
Tapi ketika ia menyesap kopi panasnya, ia melihat sesuatu yang membuat tangannya berhenti di udara. Di atas meja makan panjang, ada tulisan di debu yang menumpuk.
"SELAMAT DATANG"
Huruf-huruf itu ditulis dengan rapi, seperti seseorang menggoreskan jari di debu tebal. Arkan merasakan rambut-rambut halus di tengkuknya berdiri. Ia yakin betul meja itu masih tertutup debu merata semalam, tanpa ada tulisan apa pun.
Ia mencoba mengabaikan perasaan tidak nyaman yang menyelimuti dadanya dan memutuskan untuk menjelajahi rumah di siang hari. Mungkin dengan melihat-lihat di cahaya terang, ia bisa merasa lebih baik.
Lantai satu rumah itu terdiri dari ruang tamu besar, ruang makan, dapur, perpustakaan, dan sebuah ruang musik. Semua masih dipenuhi perabotan antik yang indah. Di perpustakaan, ia menemukan rak-rak buku tinggi yang penuh dengan buku-buku lama—novel klasik, buku sejarah, dan yang membuatnya tertarik, sebuah buku harian.
Arkan mengambil buku harian itu dan meniup debu dari sampulnya. Kulit cokelat tua dengan ukiran bunga mawar di permukaannya. Ia membuka halaman pertama dan membaca tulisan tangan yang anggun:
"Milik Melati Kusuma Wardhani. 1985."
Melati. Nama yang indah. Arkan membalik halaman dan mulai membaca.
15 Januari 1985
Hari ini aku pindah ke rumah besar ini bersama suami tercintaku, Raden Satrio. Rumah ini begitu megah, terlalu besar untuk kami berdua. Tapi Satrio berjanji suatu hari nanti rumah ini akan dipenuhi dengan anak-anak kami. Aku bahagia. Sangat bahagia.
Arkan tersenyum membaca kata-kata penuh harapan itu. Ia terus membaca entri-entri berikutnya yang menceritakan kehidupan sehari-hari Melati—berkebun, memasak, menunggu suaminya pulang dari bekerja. Tapi perlahan, nada tulisannya berubah.
3 Maret 1985
Satrio pulang larut lagi malam ini. Ia bilang ada banyak pekerjaan di kantor. Tapi aku mencium parfum wanita di kemejanya. Parfum yang bukan milikku. Aku tidak berani bertanya. Takut akan jawabannya.
20 Maret 1985
Aku melihat Satrio dengan wanita lain di kota. Mereka tertawa bersama, tangannya menyentuh pinggang wanita itu dengan cara yang dulu ia lakukan padaku. Hatiku hancur berkeping-keping. Tapi ketika ia pulang, ia bertingkah seperti tidak terjadi apa-apa. Aku terlalu pengecut untuk mengonfrontasinya.
10 April 1985
Aku hamil. Harusnya ini kabar bahagia, tapi bagaimana aku bisa bahagia ketika suamiku tidak lagi mencintaiku? Ketika malam tiba, ia pergi menemui wanita itu. Aku sendirian di rumah besar ini, sendirian dengan kesedihanku.
Arkan merasakan dadanya sesak membaca kata-kata penuh luka itu. Ia terus membaca, terhanyut dalam cerita tragis Melati. Entri-entri berikutnya menjadi semakin gelap, semakin putus asa.
1 Mei 1985
Aku kehilangan bayiku. Keguguran. Dokter bilang karena stres. Tapi aku tahu kenapa. Karena hatiku sudah mati. Bagaimana bayi bisa hidup di dalam mayat?
Satrio bahkan tidak di rumah ketika itu terjadi. Ia di ranjang wanita lain sementara aku kehilangan anak kami. Aku membencinya. Aku membenci diriku sendiri.
15 Mei 1985
Aku sudah tidak bisa lagi. Rasa sakit ini terlalu besar. Aku melihat wajahku di cermin dan tidak mengenali orang yang menatap balik. Matanya kosong. Jiwanya sudah mati duluan sebelum tubuhnya.
Malam ini, aku akan mengakhiri semuanya. Rumah ini akan menjadi kuburanku. Dan aku akan menunggu. Menunggu seseorang yang bisa mencintaiku seperti yang tidak pernah Satrio lakukan.
Halaman terakhir itu ditulis dengan tinta yang bercecer, seperti tangan yang menulisnya gemetar. Arkan menutup buku harian itu dengan perasaan berat di dada. Jadi itulah cerita rumah ini. Tragedi seorang wanita yang mati karena patah hati.
"Melati..." bisiknya pelan.
Angin tiba-tiba berhembus di dalam perpustakaan, meskipun semua jendela tertutup. Buku-buku di rak bergetar. Arkan berdiri, merasakan hawa dingin yang tidak wajar menyelimuti ruangan.
Kemudian ia melihatnya lagi.
Melati berdiri di ujung perpustakaan, di antara rak-rak buku tinggi. Gaun putihnya berkibar pelan meskipun tidak ada angin. Kali ini, Arkan bisa melihat wajahnya dengan lebih jelas. Wajah yang cantik, sempurna seperti patung, tapi dengan kesedihan yang begitu dalam di mata hitamnya.
"Kau... Melati?" Arkan mendengar dirinya bertanya, suaranya gemetar.
Hantu wanita itu mengangguk pelan. Bibirnya bergerak, tapi suara yang keluar seperti datang dari segala arah sekaligus.
"Kau... membaca... ceritaku..."
"Ya," Arkan menjawab, tidak percaya ia sedang berbicara dengan hantu. "Aku membaca buku harianmu. Aku menyesal atas apa yang terjadi padamu."
Sesuatu berubah di wajah Melati. Tatapannya melunak, dan untuk pertama kalinya, Arkan melihat sekilas kemanusiaan di mata gelap itu.
"Sudah lama... tidak ada yang peduli..."
Kemudian ia menghilang lagi, meninggalkan Arkan sendirian dengan buku harian di tangannya dan sejuta pertanyaan di kepalanya.
Bagian 3: Ikatan yang Terbentuk
Hari-hari berlalu, dan Arkan mulai terbiasa dengan kehadiran Melati. Hantu itu muncul secara acak—kadang di perpustakaan, kadang di ruang musik, kadang hanya bayangan di sudut matanya yang menghilang ketika ia berbalik. Ketakutannya perlahan berubah menjadi rasa penasaran, lalu menjadi sesuatu yang lebih kompleks.
Arkan mulai berbicara padanya.
Pada awalnya hanya sapaan sederhana. "Selamat pagi, Melati," ketika ia melihat bayangan wanita itu di tangga. Atau, "Apa kau di sini?" ketika ia merasakan hawa dingin tiba-tiba di ruangan.
Tapi kemudian percakapan mereka menjadi lebih panjang.
Suatu malam, Arkan sedang bekerja di perpustakaan, mengetik novelnya di laptop. Ia merasakan kehadiran yang sudah familiar itu dan mendongak. Melati berdiri di samping jendela, menatap ke luar ke taman yang gelap.
"Apakah kau kesepian?" tanya Arkan tiba-tiba.
Melati berbalik menatapnya. Untuk hantu, ekspresinya cukup jelas—terkejut dengan pertanyaan itu.
"Selalu..." jawabnya pelan. "Kesepian... sangat menyakitkan..."
Arkan merasakan dadanya terasa sesak. "Aku mengerti kesepian. Di Jakarta, aku dikelilingi jutaan orang, tapi tetap merasa sendirian. Tidak ada yang benar-benar mengerti aku."
Melati melangkah lebih dekat, gerakannya halus seperti mengambang. "Ceritakan... padaku..."
Dan Arkan pun bercerita. Ia bercerita tentang kehidupannya, tentang impiannya menjadi penulis yang tidak pernah benar-benar terwujud, tentang hubungan-hubungan yang gagal, tentang perasaan selalu tidak cukup baik. Ia berbicara untuk waktu yang lama, dan Melati mendengarkan—benar-benar mendengarkan dengan cara yang tidak pernah dilakukan orang lain.
"Kau... memiliki jiwa yang indah..." bisik Melati ketika Arkan selesai. "Tidak seperti... dia..."
"Suamimu?" tanya Arkan.
Melati mengangguk, wajahnya berubah sedih. "Ia... tidak pernah melihat... siapa aku sebenarnya... Hanya... objek untuk dimiliki... lalu dibuang..."
"Itu salahnya, bukan salahmu," kata Arkan dengan yakin. "Kau berharga, Melati. Bahkan setelah... semua ini."
Sesuatu yang aneh terjadi. Air mata—atau sesuatu yang mirip air mata—mulai turun dari mata hitam Melati. Tetesan bening yang menghilang sebelum jatuh ke lantai.
"Tidak ada... yang pernah berkata seperti itu... padaku..."
Sejak malam itu, hubungan mereka berubah. Melati mulai muncul lebih sering, dan mereka menghabiskan waktu berjam-jam bersama. Arkan akan membacakan novelnya yang sedang ia tulis, dan Melati akan memberikan pendapat—suaranya yang berbisik memberikan wawasan yang mengejutkan tentang karakter dan emosi.
"Karakter wanitamu... terlalu pasif..." katanya suatu malam. "Beri dia... kekuatan... Biarkan dia... melawan..."
Arkan menyadari ia menulis berdasarkan saran hantu, tapi anehnya, itu membuat tulisannya lebih baik. Lebih hidup. Lebih beremosi.
Mereka juga berbagi kenangan. Melati menceritakan kehidupannya sebelum menikah—gadis kaya dari keluarga baik yang jatuh cinta pada pria tampan dari keluarga bangsawan. Pernikahan yang semula seperti dongeng tapi berubah menjadi mimpi buruk. Kesepian yang menggerogoti jiwanya sampai tidak ada yang tersisa.
"Aku pikir... cinta bisa menyelamatkan..." katanya dengan suara yang sangat sedih. "Tapi cinta... juga bisa membunuh..."
Arkan merasakan simpati yang mendalam padanya. Ia mulai membawa bunga mawar putih—bunga kesukaan Melati—dan meletakkannya di berbagai ruangan. Melati akan muncul di dekat bunga-bunga itu, menatapnya dengan sesuatu yang hampir menyerupai kebahagiaan.
"Terima kasih..." bisiknya. "Sudah... lama sekali..."
Dimas datang berkunjung sebulan setelah Arkan pindah. Ia tercengang melihat perubahan pada sahabatnya itu.
"Kau kelihatan... berbeda," kata Dimas sambil memperhatikan Arkan dengan cermat. "Pucat. Lebih kurus. Matamu ada lingkaran hitam. Kau tidak cukup tidur?"
"Aku baik-baik saja," jawab Arkan, meskipun ia tahu itu tidak sepenuhnya benar. Ia memang kurang tidur, lebih suka begadang untuk berbicara dengan Melati. Dan entah kenapa, ia tidak merasa lapar akhir-akhir ini. Makanan terasa hambar.
"Rumah ini tidak baik untukmu," kata Dimas dengan khawatir. "Kau harus keluar lebih sering. Bertemu orang lain. Ini tidak sehat, mengurung diri di rumah tua ini."
"Aku tidak mengurung diri," bantah Arkan. "Aku hanya... fokus pada tulisanku."
Tapi ia tahu Dimas benar. Ia telah mengabaikan dunia luar. Tidak menjawab telepon dari keluarga atau teman-teman lain. Satu-satunya yang ia pedulikan adalah Melati.
Melati.
Ia menyadari dengan shock bahwa ia mulai menantikan kemunculannya. Jantungnya berdebar ketika merasakan hawa dingin yang menandakan kehadirannya. Ia tersenyum ketika mendengar suara berbisiknya. Ia merasa tidak lengkap ketika ia tidak ada.
"Aku mungkin gila," gumamnya pada diri sendiri suatu malam setelah Dimas pergi. "Aku jatuh cinta pada hantu."
Tapi begitu kata-kata itu keluar, ia tahu itu benar.
Ia jatuh cinta pada Melati.