Langit gelap, hujan turun dengan deras membasahi tanah berlumpur ketika mobil hitam berhenti di depan gerbang besi hitam. Gerbang berwarna hitam dengan aksen burung gagak yang memiliki mata permata merah yang berkilauan. Ditengah gerbang itu tertulis "Blackthorn Academy - Home For The Unordinary"
Ravenna Thorne atau biasa disebut Raven keluar dari mobil. Ia menatap gerbang itu tanpa ekspresi apapun. Perempuan itu memang selalu dingin namun tatapan nya tajam seperti silet.
Tidak lama setelahnya Liora Dawncrest yang biasa dipanggil Liora keluar dari mobil. Ia menatap Ravenna lalu berdiri di sebelahnya. "Sekolah ini punya sejarah kelam. Dengar dengar setiap murid yang masuk ke sekolah ini akan meninggalkan bagian dari jiwa nya disini"
Ravenna menoleh "Bagian Jiwa?"
"Ya, bagian jiwa. Entah itu rahasia, mimpi buruk, atau bahkan nyawa" ucap Liora sambil menatap gerbang.
Ravenna tersenyum sinis "Sepertinya sekolah ini akan kecewa, karena saya tidak akan pernah memberikan apapun"
Ravenna membenarkan mantel hitam nya dan menatap Liora. Melihat itu Liora tersenyum sambil menatap mata Ravenna. Mereka mengangguk pelan lalu berjalan masuk.
Gedung Blackthorn Academy menjulang tinggi, dengan jendela tinggi namun sempit. Saat Ravenna melangkah masuk ke arah gerbang, ia merasakan desiran aneh. Tangga tangga kayu di Academy berdecit seakan menyapanya dan lampu lampu gantung bergoyang tanpa angin.
Ravenna menyentuh gerbang Blackthorn Academy, bisikan samar terdengar "Akhirnya kau datang"
Liora menatap nya "Apa yang kau dengar?"
"Tidak penting" jawab Ravenna dingin
Merekapun melanjutkan perjalanannya ke arah aula tengah sekolah. Ketika sampai mereka bertemu dengan Madam Seraphine Morrigan, kepala sekolah Blackthorn Academy. Melihat kedatangan Ravenna dan Liora Madam Seraphine tersenyum "Selamat datang di Blackthorn Academy Ravenna, Liora"
"Terima kasih Madam Seraphine" jawab Liora sambil tersenyum
"Kalian mau langsung ke kamar atau melihat lihat dulu?" tanya Madam Seraphine
"Langsung ke kamar saja" jawab Ravenna
Mendengar itu Madam Seraphine langsung berjalan lebih dulu. Ravvena dan Liora mengikuti, mereka pun melangkah ke arah kamar asrama.
Mereka tiba di kamar asrama. Kamar itu sederhana, dengan dua ranjang besi, sebuah meja kayu, dan sebuah cermin besar berdiri di sudut ruangan. Ravenna mendekat. Cermin itu berkilau, tapi bayangannya terasa… salah. Seakan refleksi dirinya sedikit terlambat mengikuti gerakan.
“Cermin itu pernah jadi milik seorang murid yang hilang,” kata Madam Seraphine dengan nada setengah berbisik. “Sejak itu, tidak ada yang berani menyentuhnya.”
Mendengar itu Ravenna menutup cermin itu dengan kain hitam tanpa berkata apa pun.
Setelah memastikan semuanya aman Madam Seraphine tersenyum "Baiklah, selamat istirahat" ucap Madam Seraphine sambil meninggalkan mereka.
Setelah Madam Seraphine pergi mereka mulan beberes kamar hingga larut malam.
Hari pertama, para murid dikumpulkan di aula utama. Aula itu luas, penuh pilar batu dan jendela kaca patri bergambar burung gagak. Di tengah aula berdiri sebuah patung gagak besar dari batu obsidian, sayapnya terentang, matanya dua permata merah.
Madam Seraphine, kepala sekolah berambut perak, berdiri di mimbar. Suaranya dingin, menusuk “Patung ini adalah pelindung Blackthorn. Selama gagak ini berdiri, sekolah ini aman dari bayangan masa lalu.”
Semua murid terdiam, tapi Ravenna mendengar desis samar dari lantai “Aku lelah… aku ingin bebas…”
Malam harinya, kabar mengejutkan tersebar patung gagak hilang. Blackthorn mendadak kacau. Beberapa murid saling menyalahkan, sebagian ketakutan.
Liora mendekati Ravenna di perpustakaan. “Aku tahu kau mendengar sesuatu. Katakan.”
Ravenna menutup buku tebal di depannya. “Patung itu tidak dicuri. Ia berjalan sendiri.”
Liora menatapnya dengan ngeri. “Batu berjalan?”
“Benda mati lebih jujur daripada manusia,” jawab Ravenna. “Malam ini, kita ke koridor utara.”
Koridor utara adalah bagian sekolah yang nyaris terbengkalai. Dindingnya lembap, dipenuhi lumut. Bisikan datang dari setiap pintu yang mereka lewati “Kembalikan dia… Jangan buka jendela… Koridor ini bukan milikmu…”
Ravenna berjalan tenang. “Semakin keras mereka memperingatkan, semakin dekat kita.”
Di ujung koridor, mereka melihat seorang siswa dengan mata merah menyala, berdiri sambil memegang patung gagak yang kini retak.
“Pelindung? Tidak,” suaranya parau. “Patung ini penjara. Ia menahan sesuatu yang seharusnya bebas. Aku akan menghancurkannya.”
Liora mundur ketakutan, tapi Ravenna melangkah maju “Patung itu sudah berbicara padaku. Ia tidak ingin dihancurkan.”
Siswa itu tertawa sinis. “Kau bisa mendengar benda mati. Tapi bisakah kau menahan roh hidup?”
Tiba-tiba, bayangan hitam keluar dari tubuhnya, melilit dinding, bergerak seperti asap pekat.
Ravenna mengeluarkan lilin hitam dari sakunya, menyalakannya dengan satu gerakan jari. Api lilin itu bukan kuning, melainkan hitam pekat, berkilau seperti obsidian cair. Api itu meledak, membentuk siluet burung gagak. Sayapnya mengepak, membuat bayangan di dinding berteriak. Siswa bermata merah itu menjerit. Patung jatuh, bisikan memenuhi ruangan:
“Aku milik Blackthorn. Jangan lepaskan aku!” Bayangan itu tersedot kembali ke dalam patung, lalu hening. Siswa itu pingsan di lantai.
Liora memandang Ravenna dengan ngeri. Setelah kejadian itu mereka mengembalikan patung ke aula, tapi Ravenna tahu ancaman belum berakhir.
Malam itu, saat semua murid tertidur, Ravenna duduk di jendela, menyalakan lilin hitam. Seekor burung gagak nyata hinggap di bahunya. Matanya memantulkan nyala api. “Rahasia belum berakhir,” bisik gagak itu. “Ada sesuatu yang lebih besar dari patung atau cermin. Dan kau… penjaga terakhir.”
Ravenna tersenyum dingin. “Kalau begitu, biarkan mereka datang. Aku selalu mendengarkan.”
Hari-hari berikutnya berjalan normal di permukaan, tapi Ravenna tahu bayangan masih mengintai.
Bagi murid lain, Blackthorn adalah sekolah. Bagi Ravenna, Blackthorn adalah makhluk hidup, penuh suara yang tak pernah berhenti.
Karena pada akhirnya, ia tahu satu hal rahasia harus dijaga. Dan ia adalah penjaga yang mendengarkan.