Pagi itu hujan turun dengan cara yang malas, seperti ragu apakah ia ingin membasahi dunia atau sekadar menggoda genteng-genteng sekolah. Lapangan upacara SMA Nusantara tampak lengang, hanya menyisakan genangan yang memantulkan warna abu-abu langit. Dari koridor kelas XI IPA 2, aku memperhatikan tetes-tetes air itu sambil memegang buku catatan yang sampulnya sudah pudar. Namaku Raka.
Hari Senin selalu terasa panjang, apalagi saat hujan. Tetapi hari itu, hujan justru menjadi pembuka sesuatu yang tidak pernah kuduga.
Aku bertabrakan dengannya di depan perpustakaan.
Bukan tabrakan dramatis seperti di film—tidak ada buku berhamburan atau gerakan lambat. Hanya bahuku yang menyenggol lengannya, dan sebuah map biru jatuh ke lantai. Kami sama-sama menunduk mengambilnya.
“Maaf,” ucap kami bersamaan.
Aku mendongak lebih dulu. Rambutnya dikuncir sederhana, beberapa helai menempel di keningnya karena lembap. Matanya bening, dan senyumnya—entah kenapa—terlihat seperti sesuatu yang sudah lama kukenal.
“Ini punyamu?” tanyaku, mengulurkan map.
“Iya. Terima kasih,” katanya. “Aku Lila.”
“Raka.”
Kami berdiri canggung beberapa detik, sebelum suara bel masuk memecah kebisuan. Lila melangkah pergi ke arah kelas IPS, dan aku menatap punggungnya lebih lama dari seharusnya.
Sejak hari itu, hujan selalu mengingatkanku padanya.
---
Lila bukan siswi populer. Ia tidak seperti Nadia, ketua OSIS yang selalu jadi pusat perhatian, atau Sinta, bintang basket putri. Lila biasa saja—atau mungkin itulah yang membuatnya istimewa. Ia duduk di bangku dekat jendela kelas XI IPS 1, sering membaca novel tipis berwarna krem saat istirahat.
Aku mulai mencari-cari alasan untuk lewat depan kelasnya. Kadang pura-pura ke toilet, kadang mengantar buku ke perpustakaan. Sesekali, mata kami bertemu. Ia akan tersenyum kecil, dan dadaku terasa lebih hangat dari biasanya.
Suatu siang, hujan turun lagi. Aku berteduh di kantin yang hampir kosong, ketika melihat Lila berdiri sendirian di ujung atap, ragu menunggu hujan reda.
“Lila,” panggilku.
Ia menoleh, sedikit terkejut. “Raka?”
“Bareng?” Aku mengangkat payung hitamku.
Ia mengangguk. Kami berjalan bersebelahan menuju gerbang belakang, langkah kami disesuaikan agar air tidak memercik ke sepatu. Hujan membuat dunia terasa lebih sempit, hanya menyisakan suara air dan detak jantungku.
“Kamu sering kehujanan?” tanyaku.
“Sering,” katanya, tertawa kecil. “Aku suka hujan.”
“Kenapa?”
“Karena hujan bikin orang-orang berhenti sebentar. Dunia jadi pelan.”
Aku mengangguk, meski tak sepenuhnya paham. Tapi sejak saat itu, aku ingin dunia melambat setiap kali bersamanya.
---
Kami mulai berteman. Dari sekadar menyapa, menjadi duduk bersama di perpustakaan, lalu berbagi cerita tentang hal-hal kecil. Lila suka menulis cerpen di buku bergaris. Ia bercita-cita menjadi penulis.
“Kenapa nulis?” tanyaku suatu sore.
“Supaya perasaanku nggak berisik,” jawabnya.
Aku tidak bertanya lebih jauh. Ada sesuatu di balik jawabannya, sesuatu yang ingin kusentuh tapi takut melukainya.
Sebaliknya, aku bercerita tentang mimpiku masuk teknik sipil, membangun jembatan di kota-kota kecil. Lila mendengarkan dengan serius, seperti mimpiku adalah hal penting di dunia.
Hari-hari berjalan cepat. Ujian tengah semester datang dan pergi. Kami belajar bersama, tertawa saat salah menjawab soal, dan diam saat lelah. Aku menyadari, perasaanku padanya tumbuh tanpa izin.
Namun, cinta di SMA jarang datang tanpa bayangan.
Bayangan itu bernama Arman.
Arman adalah siswa kelas XII, kapten tim futsal. Tinggi, percaya diri, dan—yang paling penting—mantan pacar Lila. Aku mengetahuinya dari gosip yang tak sengaja kudengar di kantin.
“Mereka putus tahun lalu,” kata temanku, Dito. “Katanya Lila yang mutusin. Arman masih belum move on.”
Dadaku mengeras. Aku berpura-pura tidak peduli, tapi sejak itu, setiap melihat Arman di lapangan, aku merasa kecil.
---
Suatu sore, aku menemukan Lila menangis di tangga belakang gedung seni. Hujan baru saja berhenti, dan udara dingin menggantung.
“Lila?”
Ia mengusap wajahnya cepat-cepat. “Maaf.”
Aku duduk di sampingnya, tidak terlalu dekat. “Ada apa?”
Ia diam lama, lalu berkata pelan, “Arman datang ke rumah. Dia bilang ingin kembali.”
Hatiku jatuh ke lantai.
“Kamu… mau?” tanyaku, berusaha terdengar biasa.
“Aku nggak tahu,” jawabnya jujur. “Dia bagian dari masa lalu yang sulit.”
Aku ingin mengatakan banyak hal. Bahwa aku menyukainya. Bahwa ia pantas bahagia. Tapi kata-kata itu tertahan di tenggorokan.
“Apa pun pilihanmu,” kataku akhirnya, “aku ada.”
Lila menatapku, matanya merah. “Terima kasih.”
Aku pulang dengan langkah berat, hujan kembali turun, seolah menertawakan keberanianku yang setengah-setengah.
---
Hari-hari berikutnya terasa canggung. Lila lebih pendiam. Aku melihatnya beberapa kali berbicara dengan Arman di koridor. Setiap tawa mereka terasa seperti jarum.
Sampai suatu hari, sekolah mengumumkan pentas seni tahunan. Lila terdaftar sebagai pembaca puisi. Aku, entah kenapa, mendaftar sebagai panitia panggung.
Malam pentas seni, aula dipenuhi lampu dan sorak. Saat giliran Lila naik panggung, dunia kembali melambat.
Ia membaca puisi tentang hujan. Tentang seseorang yang datang membawa payung, lalu mengajarkannya bahwa berhenti sebentar itu tidak apa-apa. Suaranya bergetar, tapi kuat.
Aku tahu puisi itu tentang kami.
Setelah acara, aku menemukannya di belakang panggung.
“Puisimu… indah,” kataku.
Ia tersenyum. “Itu jujur.”
Aku menarik napas dalam. “Lila, aku suka kamu.”
Hening.
“Aku nggak ingin jadi pelarian,” lanjutku cepat. “Tapi aku juga nggak mau menyesal karena diam.”
Lila menatapku lama, lalu mengangguk kecil. “Aku butuh waktu,” katanya. “Tapi aku senang kamu jujur.”
Itu bukan jawaban yang pasti, tapi cukup untuk membuatku bertahan.
---
Beberapa minggu kemudian, hujan turun lagi. Di lapangan upacara, Lila menghampiriku.
“Raka,” katanya.
“Iya?”
“Aku memilih diriku sendiri,” ujarnya. “Dan… aku ingin mencoba bersama kamu.”
Aku tersenyum lebar, lebih cerah dari langit yang mendung.
Kami berjalan di bawah payung yang sama, langkah kami seirama. Cinta SMA mungkin sederhana, mungkin rapuh. Tapi di tengah hujan, aku belajar satu hal: terkadang, berhenti sebentar bersama orang yang tepat adalah awal dari perjalanan yang panjang.
Dan hujan—selamanya—akan mengingatkanku pada Lila.