Bab 1
– Anak dari Pantai Batu Merah
Suara pasar Mardika pagi itu seperti badai kecil. Orang jual ikan teriak, anak-anak berlarian, motor becak bersahut-sahutan, dan aroma laut bercampur bau bawang serta ikan asin. Tapi di tengah hiruk-pikuk itu, terdengar satu teriakan yang bikin semua kepala menoleh.
“Eh! Itu apa di bawah meja jual ikan, e?”
Beberapa orang segera menghampiri. Di bawah meja kayu lapuk, antara karung es dan plastik, tampak kantong hitam yang bergerak pelan. Seorang pemuda membuka plastik itu, dan suara kecil menangis pelan.
“Waa… waa…”
Semua orang langsung terdiam.
“Jesus e… bayi!” seru satu mama muda sambil menutup mulut.
“Bayi? Dalam plastik? Aduh, siapa pung hati bisa buang begini?”
Bayi itu merah pucat, kedinginan, hanya terbalut kain tipis dan gelang benang biru di pergelangan tangan. Seorang perempuan paruh baya, Ina Reta, maju dengan wajah tegang. Ia lepas celemek basah, menyelimuti bayi itu dengan kain sarungnya.
“Kasihan ini anak. Tuhan seng mau dia mati, e. Beta bawa dulu pulang!”
Ia berlari meninggalkan pasar, diikuti pandangan banyak orang yang tak sanggup berkata apa-apa.
Beberapa jam kemudian…
Rumah kayu kecil di Batu Merah itu jadi ramai.
Di ruang tamu, Ina Reta duduk memeluk bayi mungil itu, sementara kakaknya, Tante Mien, berdiri dengan tangan di pinggang.
“Reta, ale pikir beta suka ini? Ambil anak entah dari mana? Bagaimana kalo dia sakit? Kalo dia pung orang tua datang cari? Ini bukan main-main!”
Ina Reta diam, menatap bayi itu. Tangannya gemetar, tapi matanya mantap.
“Beta seng bisa tinggal diam, kak. Ale lihat tadi, bayi itu di dalam plastik, basah, hampir mati. Kalo beta seng ambil, mungkin dia su tiada sekarang.”
“Iya, tapi ale seng pikir panjang! Ale hidup susah, jual ikan saja pas-pasan!”
“Kalau Tuhan titip dia, pasti Tuhan juga kasi jalan, kak.”
Tante Mien mendesah keras.
“Ale ini keras kepala dari dulu. Sudah, beta seng mau ikut campur. Tapi kalo anak itu bikin repot, ale jangan datang minta tolong, e!”
Ina Reta hanya menunduk, tapi bibirnya tersenyum kecil.
“Beta tra butuh tolong. Beta cuma mau anak ini hidup.”
Malam itu, rumah yang biasanya sepi jadi ramai oleh tangisan bayi.
Ina Reta yang belum pernah punya anak sendiri panik luar biasa.
“Eh… jangan menangis terus, e! Nona mau susu kah? Aduh, beta seng tau caranya ni…”
Dia berlari ke dapur, menaruh air di panci, meniup karena terlalu panas, lalu menyesap sedikit.
“Aduh, masih panas… tunggu dulu ya, anak manis.”
Tangisan bayi makin keras.
“Ssttt… jang menangis begitu, nanti tetangga pikir beta pukul ale,” katanya gugup, separuh tertawa, separuh hampir menangis sendiri.
Akhirnya, setelah mencoba berbagai cara, ia duduk di kursi goyang tua, menidurkan bayi itu di dada sambil bersenandung pelan lagu rohani yang sering ia nyanyikan di gereja.
“Tuhan, ini anak bukan darah beta, tapi tolong kasi beta hati seorang mama buat jaga dia…”
Tangisan perlahan reda.
Dan malam itu, untuk pertama kalinya, Ina Reta merasa bukan hanya seorang penjual ikan — tapi seorang ibu.
Keesokan paginya, orang-orang pasar mulai tahu.
Mereka datang bergantian membawa berkat kecil:
ada yang bawakan susu kental manis, ada yang kasih popok kain, ada yang cuma datang untuk melihat bayi itu tidur.
“Tuhan berkati, Reta. Ale memang punya hati besar,” kata satu mama jual sayur.
“Beta lihat anak ini, beta rasa dia memang dikirim buat ale,” sambung yang lain.
“Anak ini harus diberi nama,” kata seorang bapak tua.
Ina Reta tersenyum.
“Beta pikir nama dia… Tania. Dari kata ‘tanian’ — tanah yang baru tumbuh. Karena dia datang tanpa akar, tapi semoga nanti tumbuh besar dan kuat.”
Semua orang mengangguk pelan, dan sejak hari itu, anak kecil bernama Tania jadi bagian dari keluarga besar pasar Mardika.
Beberapa rumah dari situ, bayi Bayu baru saja lahir — anak dari pasangan Rika dan Daud.
Kata orang kampung, dua bayi itu datang di hari yang sama:
“Satu dari rahim, satu dari laut.”
Dan sejak mereka bisa merangkak, dua anak itu selalu bersama — seperti ombak dan pasir, tak pernah jauh satu sama lain.
Malam-malam berikutnya, Ina Reta masih sering kerepotan:
kadang Tania buang air di tempat tidur, kadang nangis sampai subuh, atau menumpahkan air panas di dapur.
Tapi setiap kali ia merasa lelah, satu pandangan kecil dari mata Tania sudah cukup untuk menenangkan segalanya.
“Mama capek kah?” tanya Tania kecil suatu malam.
“Iya, sedikit…” jawab Ina Reta sambil tersenyum lemah.
“Nanti kalo Tania besar, Tania bantu jual ikan, biar Mama tra capek lagi.”
Ina Reta tertawa kecil, matanya berkaca.
“Aduh, ale ini… baru bisa jalan saja su pikir mau kerja. Ale cuma harus sehat dan senang, itu saja.”
Dan dari malam-malam penuh kerepotan itulah, tumbuh cinta paling tulus — cinta seorang ibu yang datang bukan karena darah, tapi karena belas kasih dan pilihan hati.
2 – Sekolah dan Rahasia Kecil
Tania sudah berumur hampir enam tahun ketika Mama Reta mulai pusing tujuh keliling.
Musim itu, pemerintah sedang mendata ulang warga untuk pembaruan Kartu Keluarga. Petugas dari kelurahan datang ke pasar, mencatat satu per satu nama keluarga. Ketika sampai di lapak ikan Mama Reta, ia tersenyum ramah.
“Ibu Reta, nama-nama di rumah siapa saja?”
“Beta sendiri saja, Pak. Sama satu anak angkat, Tania.”
“Anak angkat? Ada surat pengangkatan resmi, Bu?”
Pertanyaan itu seperti pisau kecil di dada Mama Reta. Ia menelan ludah pelan.
“Seng ada, Pak. Beta cuma temukan dia di pasar dulu. Tapi semua orang di sini tau, itu anak beta sekarang.”
Petugas itu menulis sesuatu di kertasnya, lalu menatap Mama Reta dengan ragu.
“Kalau begitu, anak ini belum bisa masuk daftar keluarga resmi. Mungkin nanti bisa diurus ke Dinas Sosial.”
Setelah petugas pergi, Mama Reta duduk diam di kursi kayunya. Tatapannya kosong ke arah laut.
“Tuhan, kenapa semua harus pakai surat untuk bilang sayang?” gumamnya pelan.
Beberapa hari kemudian, datanglah dua orang lelaki dari Dinas Sosial. Mereka bilang ingin bicara soal Tania.
“Bu, kami dengar Ibu merawat anak tanpa dokumen. Anak ini seharusnya diurus lembaga agar bisa diasuh secara sah.”
Mama Reta menatap mereka lama. Hatinya mulai panik, tapi ia berusaha tenang.
“Anak ini bukan barang yang bisa diambil-ambil, Pak. Beta yang temukan dia, beta yang jaga waktu dia demam sampai hampir mati, beta yang kasih makan setiap hari.”
Lalu dari balik pintu, Tania kecil muncul dengan rambut acak-acakan, memeluk kaki Mama Reta.
“Mama, siapa dorang? Dorang mau bawa Tania kah?”
Suaranya pelan tapi penuh takut.
Salah satu petugas menatap anak itu lama. Entah kenapa, dari tatapan polos Tania, ada sesuatu yang membuat hatinya berat.
Ia akhirnya menepuk bahu Mama Reta dan berkata,
“Baiklah, Bu. Nanti kami bantu buatkan surat keterangan. Tapi jaga anak ini baik-baik, ya. Dunia ini kejam kalau dia sendirian.”
Mereka pergi.
Dan hari itu, Mama Reta menangis pelan sambil memeluk Tania erat-erat.
“Ale seng usah takut, Nia. Beta tra kasih siapa-siapa ambil ale. Ale anak beta, dari Tuhan.”
“Beta janji jadi anak baik, Mama…” jawab Tania, suaranya serak kecil.
Beberapa bulan berlalu.
Tania tumbuh jadi anak yang aktif dan ceria. Ia sering main di pantai bersama Bayu dan anak-anak sekitar.
“Bay, lihat! Beta bikin rumah pasir!”
“Itu seng rumah, Tania! Itu cuma lubang besar, e!”
“Suka-suka beta! Rumah laut!”
Mereka tertawa sampai terjatuh. Kadang Bayu bawa bola, kadang cuma duduk di batu karang sambil menganyam tali dari daun kelapa.
“Bay, kalo nanti ale besar, mau kerja apa?”
“Beta mau jadi polisi, supaya bisa jaga ale sama Mama Reta.”
“Ah, ale cuma omong besar!”
“Beta serius!”
“Kalo begitu, beta jadi guru, biar bisa tulis nama kita berdua di papan tulis besar,” kata Tania sambil tersenyum lebar.
Namun di balik tawa itu, tubuh Tania kadang lemah. Ia sering demam malam-malam, atau batuk sampai sesak. Mama Reta selalu khawatir.
“Aduh, Tuhan… baru sembuh dua hari, sekarang panas lagi. Anak ini kenapa terus begini?”
Ia menyiapkan air hangat, menempelkan kain di dahi Tania.
“Mama, beta seng mau ke dokter. Beta cuma capek main.”
“Jang bilang begitu. Ale masih kecil, harus kuat, e.”
Tapi ajaibnya, setelah dua minggu, Tania pulih kembali. Ia langsung berlari ke pantai, seolah tak pernah sakit.
Suatu pagi, Mama Reta datang ke sekolah dasar di ujung kampung, membawa Tania yang sudah memakai baju bekas tapi bersih.
Guru di sana melihat dokumen seadanya — hanya surat keterangan dari Dinas Sosial dan tanda tangan lurah.
“Kalau begitu, kita bisa terima, Bu. Tapi nanti bantu lengkapi berkasnya ya.”
“Terima kasih, Pak Guru. Beta seng bisa bayar mahal-mahal, tapi beta mau anak ini belajar.”
Tania tersenyum lebar, memeluk tas kain barunya.
Hari itu, Mama Reta berdiri lama di pagar sekolah, melihat Tania berlari masuk kelas.
Di sekolah, Tania dan Bayu duduk sebangku.
Bayu sudah seperti penjaganya — tiap ada anak lain yang mengejek “anak buangan,” Bayu langsung berdiri tegap.
“Jang panggil dia begitu! Ale pikir ale siapa?”
Anak-anak lain diam, karena mereka tahu Bayu berani.
Tania menunduk, lalu tersenyum kecil.
“Terima kasih, Bay.”
“Seng apa. Beta su janji jaga ale dari dulu,” jawabnya sambil menatap ke jendela, menahan malu.
Dan begitulah, hari-hari mereka terus berjalan.
Di antara tawa anak-anak sekolah, suara debur ombak dari jauh, dan aroma ikan bakar dari rumah-rumah tepi pantai, kisah Tania dan Bayu tumbuh perlahan — sederhana, tapi hangat seperti matahari sore di Ambon.
Mereka belum tahu, perjalanan panjang baru saja dimulai.
Bab 3 – Ombak Pertama di Hati
Matahari baru naik di atas atap-atap seng pasar Mardika. Suara orang tawar-menawar bersahut-sahutan, aroma ikan segar, cabe, dan terasi bercampur jadi satu. Di tengah hiruk-pikuk itu, Tania berdiri di depan lapak kecil milik Mama Reta.
“Ikan cakalang masih segar, Tante! Dua ekor sepuluh ribu!”
“E, Tania, ale ini cepat sekali tangan, e. ale mama pasti bangga.”
“Ah, Tante cuma mau puji beta sa,” jawab Tania sambil senyum malu-malu.
Setiap pagi sebelum berangkat sekolah, Tania selalu bantu Mama Reta menata ikan dan membersihkan timbangan. Semua orang pasar mengenal dia.
“Anak pasar yang sopan dan pintar,” begitu kata orang.
Kadang para ibu penjual sayur suka sisihkan sedikit buah atau nasi bungkus buatnya.
“Tania, ambil ini, nona. Ale bantu mama tiap pagi, makan dulu baru ke sekolah.”
“Terima kasih, Tante. Tuhan berkati,” jawabnya sambil menunduk sopan.
Di sekolah, suasana masa orientasi SMP begitu ramai. Anak-anak baru berseragam putih biru berdiri di lapangan, sebagian gugup, sebagian senang.
Bayu berdiri di antara mereka, menatap Tania yang sudah mulai dikerumuni teman-teman barunya.
“Bay, beta deg-degan e. Guru-guru di sini galak kah?”
“Seng tau. Tapi kalo dorang galak, beta yang lawan,” jawab Bayu sambil senyum setengah malu.
Mereka berdua satu sekolah lagi, sama seperti dulu waktu SD. Tapi kali ini berbeda — Tania makin pandai, makin rajin, dan semua orang mulai memperhatikan dia.
Guru-guru sering memuji Tania di depan kelas.
“Anak ini luar biasa. Walau tinggal di pasar, tapi nilai-nilainya selalu tertinggi.”
Setiap kali dengar itu, Bayu ikut bangga. Tapi di hatinya ada sedikit rasa aneh yang belum dia mengerti.
Kadang waktu Tania sibuk belajar di rumah, Bayu datang hanya untuk duduk di depan pintu.
“Tania, ale belajar terus kah? Beta lapar e.”
“Aduh Bay, ale datang cuma mau makan ka?” tanya Tania ketus.
“Bukan, tapi Mama Reta masak paling enak. Beta suka ikan kuah kuning itu.”
“Beta bilang Mama suruh simpan buat ale. Duduk dulu, sabar.”
Mereka makan sama-sama di dapur kecil, sambil dengar tiktok yang ramai dengan musik musik timur.
Mama Reta hanya senyum dari kejauhan. Dalam hatinya, dia tahu — anak lelaki itu suatu hari akan jadi lebih dari sekadar teman buat Tania.
Tania makin hari makin dikenal di sekolah. Ia ikut lomba pidato, juara menulis puisi, bahkan sering bantu guru di perpustakaan.
Setiap sore sepulang sekolah, ia tetap bantu di pasar — menimbang ikan, menata ember, mencatat hasil jualan.
Bayu kadang datang bantu juga, pura-pura bantu angkat ikan padahal cuma mau lihat Tania.
“Bay, ale seng bosan kah datang terus?”
“Beta bantu, bukan bosan.”
“Tapi tiap kali ale bantu, ikan malah lari, e!”
“Ah, itu bukan beta pung salah itu, itu ikan takut deng ale.”
“se kira beta kkang hiu kah, Bayu!”
Mereka tertawa keras sampai para ibu di sekitar ikut senyum.
Waktu berlalu cepat. Mereka sudah kelas tiga SMP.
Suatu hari, guru memperkenalkan siswa baru di kelas.
“Anak-anak, ini teman baru kalian, namanya Reno. Dia baru pindah dari Surabaya.”
Reno tinggi, rambutnya rapi, senyumnya lebar. Dalam hitungan hari, dia langsung akrab dengan semua orang — termasuk Tania.
Mereka sering duduk bareng di perpustakaan, ngobrol tentang buku dan cita-cita.
Bayu yang biasanya santai, mulai gelisah.
Di lapangan sekolah, dia menendang bola lebih keras dari biasanya. Teman-temannya heran.
“Bay, ale marah kah?”
“Seng. Beta cuma latihan.”
Tapi di dalam dada, ada perasaan yang tak bisa dia jelaskan — cemburu ? Atau cinta Monyet?
Sore itu, dia lewat di depan sekolah dan lihat Tania dan Reno berdiri di bawah pohon flamboyan, tertawa kecil sambil membaca buku.
Bayu berhenti. Lama dia pandang.
Lalu ia berbalik, melangkah ke pantai. Angin sore membawa suara anak-anak bermain, tapi hatinya terasa berat.
“Beta cuma teman... tapi kenapa hati ini panas begini, e?” gumamnya pelan.
Malamnya, Bayu duduk di batu karang tempat biasa mereka nongkrong. Ombak memecah pelan di bawah kakinya.
Beberapa menit kemudian, Tania datang dengan wajah lelah tapi bahagia.
“Bayu, ale kenapa diam saja?”
“Seng apa-apa.”
“Beta cerita tadi, guru bilang beta puisi bagus untuk kiri. Par lomba.
“Bagus itu.”
“Tapi ale seng dengar baik-baik kah?”
“Beta dengar... cuma... ale sekarang sering sama itu anak baru.”
“Reno? Iya, kan belajar sama sama to. Dia bantu beta bikin naskah puisi.”
“Oh... begitu.”
Hening sebentar.
“Bay, ale cemburu kah?”
Bayu tersentak.
“Apa? Tidak, e. Mana mungkin.”
“Muka ale merah tuh.”
“Muka beta panas karna matahari sore tadi.”
Tania tertawa, lembut, lalu menatap laut.
“Ale lucu, Bayu.”
“Lucu tapi serius, Nia... Beta seng tau kenapa, tapi setiap kali lihat ale sama orang lain, hati beta sakit. Kan selama ini cuma beta saja ale pung tamang. ”
Tania menatap Bayu lama, tak berkata apa-apa.
Mereka duduk diam, hanya suara laut dan angin yang berbicara.
Malam itu, untuk pertama kali, dua anak pasar yang tumbuh bersama mulai merasakan sesuatu yang lebih dalam dari sekadar persahabatan.
Ombak di hati mereka mulai bergetar —
🏆 Kemenangan yang Membuat Haru
Beberapa bulan kemudian, sekolah umumkan lomba menulis puisi se-provinsi.
Semua siswa boleh ikut, dan Tania, seperti biasa, ikut mencoba.
Puisi yang ia tulis berjudul “Laut yang Menyimpan Nama Ibu” — terinspirasi dari kisah hidupnya sendiri.hari hari berlalu seperti biasa tanpa dia berharap lebih akan hasil Puisi nya.
Tania sibuk bantu Mama Reta menata ikan ke wadah es.
Esok harinya di Apel pagi layaknya anak sekolah menerima ceramah pagi,
Kepala sekolah naik ke podium dan berkata dengan lantang:
" Anak anak.. seperti yang kalian tau, kalau salah satu teman kalian ada yang mengikuti lomba Puisi se Provinsi maluku. Dan sangat luarbiasa. Karena teman kalian ini bisa mendapatkan Juara satu lomba menulis puisi se-provinsi Maluku . Mari kita beri tepuk tangan mengapresiasi keberhasilannya yang juga jadi leberhasilan sekolah kita. Tepuk tangan kepada Tania Reta, dari SMP Negeri Harapan Ambon!”
Kelas gemuruh. Teman-teman bersorak, guru-guru bertepuk tangan.
Tania terkejut, menatap kearah depan. dengan mata berair.
Ia pulang berlari ke pasar, membawa kabar itu kepada orang yang paling ingin ia bagi kebahagiaan dengannya.
“Mama! Mama! Beta menang! Puisi beta yang menang, Ma!”
“Serius kah, Nia?”
“Iya, Ma! Kepala sekolah panggil beta ke Balai Kota minggu depan dengan mama, terima hadiah!”
Mama Reta langsung memeluk Tania erat-erat. Air matanya jatuh tanpa bisa ditahan.
“Ale bikin Mama bangga, Nia… Tuhan benar-benar baik.”
🌺 Upacara Penghargaan
Hari itu, Balai Kota Ambon penuh dengan siswa, guru, dan orang tua. Di barisan kursi tamu, Mama Reta duduk paling belakang — mengenakan kebaya sederhana warna biru laut.
Tangannya menggenggam tas kain usang, tapi wajahnya bersinar penuh haru.
Ketika nama Tania dipanggil, semua mata tertuju pada gadis kecil berambut ikal itu. Ia maju dengan langkah pelan, memegang naskah puisinya di tangan kanan, piala di kiri.
Setelah menerima hadiah, MC memintanya Membaca ulang puisi yang berhasil meraih juara satu itu sebelum menyampaikan sambutan. Dengan tangan yang masih sedikit bergetar. Keteguhan hatinya memenangi rasa gugup nya. Dia mulai menarik nafas lalu mebaca Bait demi Bait Puisi Indah yang dia Tulis.
* LAUT YG MENYKMPAN NAMA IBU*
KARYA Tania Erna.
Di tepi laut yang sunyi,
angin memanggil nama yang tak kuingat wajahnya.
Katanya, dulu ada tangan halus
yang pernah memelukku sebentar,
sebelum dunia menaruhku dalam gelap plastik hitam.
Tapi laut Ambon tahu segalanya.
Ia simpan rahasia tentang seorang ibu
yang mungkin menangis di malam lain,
memanggil anaknya dalam doa tanpa suara.
Aku tumbuh di tangan yang lain,
tangan yang keras tapi lembut saat menyeka keringat,
tangan yang mengajarku arti hidup dari hasil jual ikan.
Jika Tuhan dengar suara laut,
tolong sampaikan pada ibu yang jauh:
anakmu sudah belajar mencintai hidup,
di bawah langit yang sama,
di tepi laut yang masih memanggil namamu.
Suara tepuk tangan bergerumuh seisi ruangan, terlihat beberapa orang sesekali menyeka air mata mereka.
Tania berdiri di depan mikrofon, menatap hadirin, lalu mulai bicara dengan suara bergetar tapi jelas:
“Puisi ini beta tulis bukan untuk menang. Beta tulis karena beta pernah merasa sendiri, dan beta pikir Tuhan cuma titip beta di dunia ini sebentar. Tapi ternyata, Tuhan kasih beta seorang Mama — bukan yang lahirkan, tapi yang sayang beta dengan seluruh hidupnya.”
“Mama Reta, ini piala untuk Mama. Karena kalau bukan Mama yang temukan beta waktu itu, mungkin beta seng pernah berdiri di sini.”
Suara Tania bergetar. Ruangan hening.
Mama Reta menunduk, menangis pelan.
Beberapa guru dan tamu ikut menyeka air mata.
“Banyak orang lahir dari perut, tapi beta lahir dua kali:
satu dari ibu yang beta belum kenal,
satu dari hati seorang perempuan bernama Reta.”
Tepuk tangan sekali lagi menggema di seluruh aula.
Hari itu, nama “Tania Reta” bukan cuma terdengar — tapi dikenang.
🌙 Nasihat dari Seorang Ibu
Malamnya, mereka duduk di teras rumah, lampu kecil yang menerangi mereka untuk berbicara hati ke hati.
Mama Reta menatap laut lama, lalu berkata pelan:
“Nia, sekarang nona sudah besar. Mari, mama mau bicara sadikit. Nona harus tahu batas-batas dalam berteman.”
“Maksud Mama?”
“nona perempuan, jaga diri, jaga hati. Kadang, kasih sayang bisa bikin lupa arah.”
“Mama pikiran soal Bayu kah?” tanya Tania drngan menggoda mama nya.
“Bukan cuma Bayu. Dunia luar juga bisa buat banyak hal berubah. Tapi mama percaya, nona tau mana yang baik.”
Tania mengangguk, lalu bersandar di bahu ibunya.
“Beta janji, Ma. Beta seng akan bikin Mama malu.”
Mama Reta tersenyum, matanya hangat.
“Ale sudah buat Mama bangga hari ini. Tapi ingat, semakin tinggi Tuhan angkat, semakin kuat ale harus berdiri.”
🌧️ Bisik-bisik dan Iri
Beberapa hari kemudian, keluarga jauh Mama Reta datang berkunjung. Mereka duduk di ruang tamu sempit, menatap piala di meja dengan senyum setengah sinis.
“Anak pung hadiah besar juga toh?”
“Dapat uang kah dari lomba itu?”
“Siapa tau anak ini sebenarnya dari keluarga kaya, makanya pintar begitu.”
Mama Reta hanya senyum sopan.
“Seng perlu darah bangsawan untuk punya hati besar,” jawabnya pelan.
Tapi malamnya, setelah semua tidur, Mama Reta duduk sendiri di teras, menatap laut.
Ada rasa bangga, tapi juga sedih — karena tidak semua orang bisa ikut berbahagia atas keberhasilan anaknya.
“Nia,” katanya suatu malam,
“ingat, anak baik bukan yang banyak dipuji, tapi yang bisa tetap rendah hati.”
“Beta ngerti, Ma. Beta seng mau lupa dari mana beta datang.”
Mama Reta mengangguk pelan, memeluk anaknya.
“Ale bukan anak kecil dalam plastik lagi, Nia. Ale sudah jadi cahaya yang Tuhan taruh di tempat yang dulu gelap.”
Bab 4 – Luka di Balik Senyum
Panas siang itu terasa menyengat di halaman sekolah. Suara anak-anak tertawa, bercanda, dan berebut jajan di depan kantin. Tapi di salah satu sudut halaman, Tania duduk sendirian sambil memegang perutnya. Wajahnya pucat, keringat dingin menetes pelan.
“Eh, liat tuh… si anak pasar itu sok pintar lagi,” suara seorang anak laki-laki terdengar mengejek. Namanya Arman, anak kelas sebelah yang memang sudah lama iri dengan Tania karena prestasinya.
Teman-temannya ikut tertawa.
“Katanya anak buangan, tapi bisa juara ya? Mungkin juri kasian kali.”
Tania menunduk. Ia sudah terbiasa diejek, tapi hari itu tubuhnya sedang lemah. Ia baru saja pulang dari lomba sekolah kemarin, dan malamnya membantu Mama Reta di pasar sampai larut.
Bayu yang melihat dari jauh langsung datang dengan langkah cepat. “Arman! Ale jang kasar mulut, e!” suaranya tegas.
Arman berdiri, mendekat. “Apa, Yu? Ale bela dia lagi? Apa ale pikir dia pantas di sini?”
“Pantas atau seng, itu bukan urusan ale!” Bayu menatap tajam, nada suaranya menahan amarah.
Tania berdiri pelan, berusaha menenangkan. “Sudah, Yu… jang ribut di sekolah, e…”
Tapi sebelum sempat menengahi, salah satu teman Arman mendorong Tania sampai jatuh. Kepalanya membentur sisi meja. Seketika darah mengalir dari hidungnya.
“Tania!” Bayu langsung berlari, menahan tubuh Tania di pelukannya.
“E, lihat beta… Ale luka, e…?” Bayu melihat kearah Arman dan teman nya yang doring Tania. Dengan keras dia menendang anak itu karena emosi, namun Tania melerai nya.
" Bayu.. sudah... Jang cari masalah. Dong hanya butuh perhatian. Sudah."
Bayu langsung sigap tahan Tania.
Murid-murid mulai berdatangan. Reno, teman baru mereka, ikut datang dan berlutut.
“Bayu, tenang dulu. Kita bawa dia ke UKS dulu. Jang panik.”
“Jang suruh beta tenang! Ale seng liat dia berdarah begitu?” Bayu menatap Reno dengan nada tinggi.
“Beta liat, tapi kalau ale marah-marah terus, siapa mau bantu?” Reno membalas, menatap Bayu tajam tapi tenang.
Ada keheningan beberapa detik. Bayu akhirnya menghela napas panjang, memeluk Tania erat sambil menahan air mata.
“Beta minta maaf, Ni… Beta cuma takut kehilangan ale.”
Tania membuka mata pelan, tersenyum kecil walau wajahnya masih pucat.
“Beta masih di sini, Yu… jang takut.”
Sore itu di rumah Tania
Mama Reta tampak cemas. Ia duduk di tepi ranjang sambil mengelus rambut Tania. Atas permintaan Tania, tidak ada satuoun yang kasih tau kebenaran nya ke Mama nya Tania.
“Nona.. mama su bilang, jang terlalu capek. Nia itu bukan anak besi, e.”
Tania tertawa kecil. “Beta cuma bantu mama. Lagian mama tau, beta senang kalau bisa bantu di pasar.”
Bayu duduk di pojok ruangan, diam tapi matanya tak lepas dari wajah Tania. Reno berdiri di samping pintu, ikut memperhatikan.
Mama Reta menatap dua anak laki-laki itu. “Kalian dua… jaga dia baik-baik, e."
Reno mengangguk. “Beta janji, Tante.”
Bayu cuma menunduk. Setelah Mama Reta keluar, ia akhirnya bersuara lirih.
“Beta seng bisa kalau liat ale begini terus, Ni. Ale terlalu baik… sampai lupa jaga diri.”
Tania tersenyum lembut. “Kalau beta jahat, nanti siapa yang bikin Bayu marah-marah tiap hari?”
Bayu menatapnya, tak bisa menahan senyum yang campur haru.
“Jang bikin beta takut lagi, e… Beta seng kuat. Kanapa ale seng mau jujur par mama.”
" Mama su talalu banya susah dan khawatir karna beta. Jadi kalau beta masih bisa handle seng usah kasih antua kawatir.". Pinta Tania dengan senyum.
Reno yang diam sejak tadi ikut bicara, mencoba mencairkan suasana.
“Bayu..Kalau ale lemah, berarti sekarang beta yang jaga Tania, e?”
Bayu langsung menatap tajam. “Coba saja. Katong baku taru tinju dolo."
Tania tertawa pelan. “Dua orang ini, aduh… kayak laut sama karang. Saling bentur, tapi seng bisa jauh.”
Suasana kamar kembali hangat, penuh tawa kecil di antara rasa cemas.
Namun di balik semua itu, Bayu tahu sesuatu mulai berubah — Tania sering lelah, sering pucat, dan kadang menatap laut terlalu lama tanpa bicara.
Dan di hati Bayu, ketakutan itu mulai tumbuh pelan-pelan:
Takut kehilangan seseorang yang jadi alasan ia belajar kuat sejak kecil.
Arman lagi asik duduk di kantin sekolah menikmati nasi kuning dengan teman temannya. Bayu dan Reno masuk langsung tendang kursi dimana bayu duduk. Teman temannya langsung sigap membela Arman.
" Jang iko campor kalau masih mau nikmati tangan pegang Pena." Tegas Bayu. Tidak ada yang berani maju setelahnya, siapa yang tidak khawatir dengan tangannya . Secara Bayu atlit karate yang menang kejuaraan tingkat provinsi sudah pasti skill nya bukan kaleng kaleng.
" sebenarnya ale nih ada masalah apa deng Tania. Ale macam orang kekurangan kasih sayang."
" Ale bicara apa nih? Barang ale tau apa tentang beta ? "
" lalu ale tau apa juga tentang Tania. Ale pikir ale keluarga sempurna sampe ale panggel dia ank buangan?"
" itu fakta toh. Kan beta bukan fitnah."
Puuuuufff
Satu pukulan masuk tepat di wajah Arman. Itu bukan berasal dari Bayu tapi dari Reno yang dari tadi menahan amarah.
" we... ale Jago kah?". Teriak Arman yang menahan sakit. Pukulan Reno ternyata membuat bibirnya sedikit luka. Sambil menahan sakit dia memaki Reno.
"Ale tau rasa sakit?" Tanya Bayu gondok. " untung bukan beta yang pukul ale muka. Masih sayang muka to. Jang talalu nampak lai kalau ale tuh anak broken home." Ucapan bayu seakan menusuk hati Arman yang mema g sedang mengalaminya. Dengan amarah dia berlari kearah Bayu hendak ingin menendang nya. Tapi bayu yang sudah punya feeling terus menghindar lalu Arman terjatuh. Dia menjadi pusat perhatian di kantin beberapa malah mengolok nya. Teman teman dekatnya lalu datang monolong.
Tania duduk di dalam kamar dengan Pena, buku buku dan ciretan coretan dikertas seperti biasanya. Dia memandang kelangit melalui jendela kecil nya dengan mata berkaca kaca. Ucapan Arman tadi siang sepertinya mendapat perhatian dari dirinya.
" Tuhan, kenapa izinkan beta ahir dari wanita yang bahkan tidak mau beta ada?" Tanya dia dalam hati. Tanpa sadar air matanya mengalir perlahan.
"Tidak semua orang terlahir karena direncanakan. Dan anak tidak bisa memilih lahir dari siapa. Daripada berdebat untuk hal yang sudah pasti tidak akan dapat jawaban, lebih baik berusaha menjadi pribadi yang lebih baik." Begitulah isi pikiran Tania sebelum dia kembali lanjut belajar.
Bab 5 – Senja di Atas Laut (versi revisi)
Sore itu, langit Ambon berwarna jingga keemasan. Laut berkilau tenang, seperti kaca yang memantulkan cahaya matahari. Di tepi pantai, Tania duduk di atas batu besar, seragam sekolahnya masih rapi tapi ada bayangan letih di wajahnya. Ia memandangi ombak yang datang perlahan, satu demi satu.
Bayu datang dari arah belakang, membawa dua es pisang cokelat.
“Eh, Ni, ale duduk di sini dari tadi? Beta su keliling setengah pasar cari ale, e.”
Tania menoleh, tersenyum kecil. “Beta cuma mau lihat laut. Capek pikiran habis ujian.”
Bayu duduk di sebelahnya, menyerahkan satu es. “Ale pikir beta seng capek? Tapi lihat laut memang bikin tenang.”
Tania menatap jauh. “Beta suka laut… soalnya laut itu kayak hidup. Kadang tenang, kadang marah, tapi selalu datang lagi.”
Bayu ikut menatap ke arah sama. “Kayak ale juga. Kadang bikin beta marah, tapi beta tetap datang cari ale.”
Tania tertawa kecil, lalu batuk pelan. Batuknya kering, tapi cukup membuat Bayu cemas.
“Eh, ale sakit kah? Itu batuk seng sembuh-sembuh, e?”
“Seng… cuma kecapekan saja.”
“Ni, jang pura-pura kuat. Kalau besok belum sembuh, beta paksa ale ke puskesmas.”
Tania menatapnya dengan mata lembut. “Ale ini terlalu khawatir, Yu.”
“Karena ale penting,” jawab Bayu cepat. Kalimatnya meluncur begitu saja, membuat Tania terdiam beberapa detik sebelum tersenyum lagi.
Beberapa minggu kemudian
Sekolah mulai sibuk dengan acara pentas seni akhir tahun. Tania dipercaya jadi penulis naskah sekaligus pembaca puisi utama. Sejak lomba puisinya dulu menang, guru-guru tahu anak ini punya bakat istimewa.
Di kelas, Bayu menatap Tania yang sibuk menulis di meja.
“Ni, dari tadi beta lihat ale seng berhenti tulis. Ale seng makan kah?”
“Belum. Beta mau selesaikan naskah dulu.”
Bayu duduk di sebelahnya. “Kalau sampai sakit, beta marah. Ale lupa waktu, e.”
Tania menoleh sambil tersenyum. “Beta cuma mau buat sesuatu yang bisa orang ingat.”
“Orang sudah ingat ale dari dulu. Beta apalagi.”
Tania tertawa pelan, tapi wajahnya sedikit memerah. Ia tahu Bayu tak main-main — sorot matanya selalu tulus, sejak dulu.
Namun sore itu, ketika mereka bersiap pulang, tubuh Tania oleng. Ia menahan meja, napasnya tersengal.
“Ni! Ale kenapa?”
“Seng apa-apa, Yu… cuma pusing sedikit.”
Bayu langsung panik, memegang bahunya. “Setiap kali ale bilang ‘seng apa-apa’, beta makin takut, e.”
Tania berusaha tersenyum. “Jang khawatir terus… beta masih kuat.”
Tapi dalam hati, ia tahu — tubuhnya sering lemah, matanya kadang buram. Ia belum mau memeriksakan diri. Belum. Karena kalau benar ada sesuatu, ia takut semua akan berubah.
Hari Pentas Seni
Aula sekolah penuh sesak. Ibu guru, orang tua murid, bahkan wartawan lokal datang. Di depan panggung, Mama Reta duduk dengan pakaian sederhana, tapi wajahnya bersinar bangga.
Bayu duduk di barisan tengah, memegang kamera kecil. Sejak pagi ia membantu Tania menyiapkan naskah, memastikan gadis itu cukup makan dan minum.
Ketika nama Tania dipanggil, ruangan mendadak hening. Ia melangkah pelan ke tengah panggung, mengenakan kebaya putih dan selendang merah muda. Di tangannya, selembar kertas bergetar ringan.
Suara musik lembut mengiringi langkahnya. Ia berdiri di depan mikrofon, menatap penonton dengan mata yang dalam dan tenang.
Lalu ia mulai membaca:
Puisi: “Suara Anak yang Tak Diharapkan”
(Karya: Tania Reta Laisila)
Beta lahir bukan dari doa,
tapi dari sunyi yang disembunyikan.
Suara pertama beta bukan tangis bahagia,
tapi bisik orang-orang:
“Kasihan… siapa yang mau anak ini?”
Beta tumbuh di antara bau ikan asin,
di tangan-tangan kasar yang tak punya darah sama,
tapi punya cinta yang beta panggil “Mama”.
Kadang beta lihat di kaca,
wajah ini bukan siapa-siapa.
Tapi di mata mama, beta selalu “anak”.
Beta bukan darah, tapi doa.
Beta bukan dosa, tapi hidup yang Tuhan seng sengaja.
Jadi kalau dunia tanya,
siapa beta sebenarnya —
Beta jawab dengan senyum:
Beta suara anak yang tak diharapkan,
tapi yang belajar mencintai dirinya sendiri,
karena seseorang pernah mau mencintai tanpa syarat.
Begitu Tania menurunkan mikrofon, aula sunyi. Beberapa detik tanpa suara — lalu tepuk tangan menggema, keras, panjang, penuh rasa haru.
Mama Reta berdiri sambil menutup mulutnya. Air matanya jatuh tanpa bisa ditahan. Bayu pun berdiri, menatap Tania dengan mata basah.
“Hebat, Ni…” gumamnya pelan.
Tania tersenyum samar dari atas panggung, lalu menunduk dalam-dalam. Ia tahu — kata-kata itu bukan sekadar puisi. Itu adalah dirinya sendiri, rahasia kecil yang selama ini disimpan di dada.
Setelah Acara
Di belakang panggung, Mama Reta langsung memeluknya erat.
“Anak, ale su buat semua orang nangis. Tapi bukan sedih — bangga, Ni… bangga sekali.”
Tania balas memeluk. “Semua karena mama. Kalau seng ada mama, beta cuma suara kosong.”
Mama Reta menatapnya lama. “Ale itu bukan anak buangan, Ni. Ale itu berkat. Tuhan kirim ale ke beta waktu hidup beta sepi, dan sejak itu, beta seng pernah sendiri.”
Bayu muncul dari belakang, menepuk bahu Tania pelan.
“Kalau tadi ada lomba puisi paling jujur, ale menang dua kali.”
Tania tertawa, menatapnya hangat. “Ale nonton serius tadi?”
“Serius. Tapi beta harus tahan nangis. Ale seng lihat muka beta?”
Tania mencubit lengannya kecil. “Kalau ale nangis, nanti beta tulis puisi baru: Bayu, si anak cengeng pasar Mardika.”
Mereka tertawa bersama. Tapi saat tawa itu berhenti, Bayu menatapnya lama.
“Ni, janji sama beta… kalau badan ale mulai aneh, bilang, e.”
Tania mengalihkan pandangan, memaksakan senyum. “Ale ini… beta baik-baik saja.”
Bayu menghela napas panjang. “Beta tahu ale sembunyikan sesuatu. Tapi… beta tunggu sampai ale siap cerita.”
Tania menatapnya, mata berkaca.
“Terima kasih, Yu… karena selalu tunggu.”
Malam di Pantai
Setelah acara usai, mereka berjalan berdua di tepi pantai. Angin laut bertiup lembut. Suara gitar dari warung kopi dekat dermaga samar-samar terdengar.
Tania membuka sandal, membiarkan kakinya menyentuh pasir dingin.
“Beta suka tempat ini. Di sini, semua suara jadi jujur.”
“Kalau begitu, jujur juga sama beta,” kata Bayu pelan.
Tania menatap laut, lalu menatap Bayu. “Jujur itu kadang bikin takut, Yu. Kadang, kalau beta cerita semua… nanti ale malah sedih.”
“Sedih karena ale bohong lebih parah,” jawab Bayu tegas, tapi nadanya lembut.
Hening sejenak. Ombak datang kecil, menyentuh ujung sandal Bayu.
Tania berjalan beberapa langkah ke depan. “Bayu…” suaranya nyaris seperti bisikan.
“Kalau suatu hari beta hilang, jang marah sama hidup, e. Kadang orang yang Tuhan sayang terlalu cepat dipanggil.”
Bayu menatapnya dengan kaget. “Ni, ale kenapa bicara begitu?”
Tania tertawa kecil. “Seng apa-apa. Cuma… beta suka lihat laut waktu malam. Karena di situ, semua hal yang beta takutkan… kayak tenang.”
Bayu mendekat, berdiri di sampingnya. “Kalau laut tenang karena ale di sini, berarti kalau ale pergi, laut juga bakal marah.”
Tania menatapnya. Dua pasang mata bertemu dalam cahaya bulan.
Tak ada kata cinta di antara mereka, tapi semuanya sudah terasa.
Ia ingin bicara, tapi tenggorokannya kering. Ia ingin bilang bahwa tubuhnya lemah, bahwa kadang darah keluar dari hidungnya diam-diam. Tapi malam ini bukan waktunya. Ia hanya ingin hidup — di bawah langit Ambon, bersama seseorang yang membuatnya lupa kalau hidup bisa sependek ini.
Dan di antara angin laut yang lembut,
dua anak manusia duduk diam,
saling menjaga rahasia,
sambil mencintai dalam diam.