Angin sore Yogyakarta menyusup lembut melalui dedaunan jati di tepian kampus, membawa aroma tanah yang hangat dan suara gamelan dari kejauhan.
Di sebuah bangku tua dekat taman fakultas sastra, Meara Avisha Maharani duduk sambil mengusap napele buku yang hampir lusuh. Ia menunggu bukan seseorang, tetapi waktu. Waktu yang ia harap bisa melambat tiap kali dunia terasa terlalu riuh.
Sementara itu, dari sisi lain taman, langkah kaki Rayandra Adyatama Putra mendekat pelan. Lelaki itu baru saja selesai dari kelas, tubuhnya letih tetapi matanya tetap menyimpan bias senyum samar, senyum yang selalu ia simpan baik-baik meski hidup tidak selalu berpihak padanya. "Meara?"
Gadis itu mendongak, tersenyum. "Kamu telat lima menit."
"Baru lima menit, Ra," jawab Rayandra sambil duduk di sampingnya. "Tapi aku sudah dicatat sebagai terlambat ya?"
Meara tertawa kecil, suara ringannya mengalun seperti nada tradisional dari radio tua, hangat dan sederhana. "Iya," katanya. "Sanksinya, kamu harus cerita sesuatu hari ini."
"Padahal aku ke sini mau dengar cerita kamu," sahut Rayandra.
Mereka saling berpandangan sejenak, tenang, akrab, dan tak perlu banyak kata. Sudah enam bulan mereka berteman akrab sejak dipertemukan sebuah kelas penulisan kreatif, namun kedekatan mereka terasa seperti sudah bertahun-tahun.
Meara tumbuh di keluarga yang rapi, hangat, dan penuh obrolan. Orang tuanya adalah pasangan yang tak pernah melewatkan makan malam bersama. Rumahnya selalu dipenuhi lilin aromaterapi dan radio yang memutar lagu-lagu keroncong, dan ia tumbuh dengan kepercayaan bahwa dunia ini bisa seindah dan setenang itu.
Rayandra… berbeda. Ia adalah anak kedua dari tiga bersaudara. Dari luar, keluarganya tampak lengkap dan harmonis. Rumah besar, foto keluarga rapi terpajang di ruang tamu, dan senyum ramah setiap ada tamu berkunjung. Namun di balik pintu kamar, Rayandra tumbuh dengan suara-suara yang tak pernah berhenti, suara perdebatan, suara pintu dibanting, suara yang membuatnya percaya bahwa rumah bukan selalu tempat untuk pulang, melainkan tempat untuk bertahan.
Keduanya bertemu tanpa sengaja di kelas, tapi mungkin takdir sudah menyiapkan mereka untuk saling menemukan pada waktunya.
"Pulang ke rumahmu nanti?" tanya Meara sambil menutup bukunya.
Rayandra mengangguk, walau rautnya menggelap sedikit. "Iya. Kayaknya bakal ramai."
Meara tak bertanya lagi. Ia tahu betul apa arti kata “ramai” bagi Rayandra. Kadang ramai adalah bentuk lain dari sunyi yang paling menyakitkan, sunyi yang tak butuh keheningan, hanya butuh tak ada yang benar-benar mendengarmu.
"Kalo kamu capek, kamu bisa ke rumahku," kata Meara pelan, bukan untuk pertama kalinya.
Rayandra tersenyum samar. “Tahu nggak, Ra… Setiap kali kamu bilang itu, rasanya aku punya tempat pulang kedua.”
Meara menatapnya sebentar. “Aku harap suatu hari nanti… bukan cuma tempat kedua.”
Wajah Rayandra memanas seketika. “Jangan ngomong gitu kalau kamu nggak siap aku percaya.”
"Aku sudah percaya duluan," bisik Meara. Dan untuk beberapa detik, dunia terasa berhenti bergerak.
Hari berganti hari, dan hubungan mereka tumbuh perlahan. Mereka bukan pasangan, mereka belum berani menyebutnya begitu tapi mereka menaruh hatinya satu sama lain dengan cara yang hanya mereka pahami. Rayandra, dengan dunia retaknya. Meara, dengan dunia damainya. Dan entah bagaimana, dua dunia itu saling mengisi.
Suatu malam, Rayandra datang ke rumah Meara tanpa pesan. Hujan turun deras di luar, membasahi bahunya. Meara segera membukakan pintu, wajahnya khawatir. "Kamu kenapa?”
Rayandra menunduk. "Aku… cuma nggak tahu harus ke mana."
Meara menariknya masuk, memberikan handuk, lalu mempersilakan duduk di sofa ruang tamu. Lampu kuning temaram menerangi wajah Rayandra yang tampak letih.
"Berantem lagi?" tanya Meara.
"Bukan… iya… entahlah." Rayandra menghela napas panjang. "Mereka ribut lagi. Sama seperti dulu. Dan aku… aku capek pura-pura nggak terjadi apa-apa."
Meara duduk di sampingnya, mendekap kedua tangan Rayandra. "Kamu nggak sendirian, Dra."
Rayandra memandangnya, matanya basah bukan karena hujan. "Ra, aku takut suatu hari aku nggak bisa jadi apa-apa."
Meara menautkan jari-jarinya pada jari Rayandra. "Kamu sudah jadi banyak hal buat aku. Itu cukup."
Rayandra menutup mata, merasakan ketenangan yang hanya muncul saat ia bersama Meara, ketenangan yang selama ini ia cari di rumahnya tetapi tak pernah ia temukan.
"Ra," bisiknya. "Bolehkah aku tinggal di sini malam ini?"
Meara mengangguk. "Tentu."
Malam itu, Rayandra tidur di ruang tamu. Meara memastikan selimutnya rapat, memastikan ia nyaman. Lalu sebelum tidur, ia meninggalkan sebuah catatan kecil. “Semoga sunyi di sini selalu jadi rumah buat kamu.”
Sejak malam itu, rumah Meara menjadi tempat Rayandra singgah saat dunia terasa berat. Kadang seminggu sekali, kadang dua kali. Keluarga Meara pun menyayangi Rayandra, menerimanya tanpa syarat.
Suatu sore, setelah kelas, mereka berjalan menyusuri Taman Sari. Sinar senja jatuh di antara bangunan kuno, menciptakan bayang-bayang yang indah. Meara membawa kamera kecil, sedang Rayandra membawa cerita-cerita yang ia kumpulkan sepanjang minggu.
"Mimpi kamu sekarang apa?" tanya Meara sambil memotret air.
Rayandra berpikir. "Punya rumah yang tenang."
Meara tersenyum. "Rumah fisik atau rumah hati?"
Rayandra memandangnya. Hening. Tapi hening itu hangat. "Keduanya," jawabnya. "Tapi kalau rumah hati… aku rasa aku sudah menemukannya."
Wajah Meara memerah. "Jangan manis-manis. Kamu itu bikin deg-degan."
"Aku serius," kata Rayandra. "Meara, kamu rumahku."
Meara menelengkan kepala, wajahnya teduh. “Kalau begitu… tinggalah.”
Dan di bawah senja Yogyakarta yang memudar pelan, mereka saling mendekat untuk pertama kalinya bukan ciuman, hanya tangan yang akhirnya saling menggenggam tanpa ragu.
Namun perjalanan mereka tidak selalu lembut. Suatu malam, Rayandra berhenti datang selama dua minggu. Pesannya lambat dijawab, tatapannya di kelas kosong. Meara mulai gelisah.
Hingga akhirnya ia memberanikan diri datang ke rumah Rayandra. Rumah besar itu sunyi. Tidak ada suara riuh seperti biasanya, seolah badai baru saja lewat.
Rayandra membuka pintu. Wajahnya pucat, matanya sembab. "Ra… kamu nggak usah ke sini."
"Aku harus," jawab Meara. "Kamu kenapa menjauh?"
Rayandra menahan napas. "Aku… takut nyusahin kamu. Aku takut bikin kamu ikut rusak."
Meara melangkah masuk, memegang wajahnya. "Dengar aku. Luka kamu nggak bikin aku takut. Justru aku ingin kamu tahu kamu nggak harus menghadapinya sendiri. Kamu boleh hancur… asal jangan sendirian."
Rayandra tak mampu menahan air mata. Meara memeluknya erat, dan untuk pertama kalinya, Rayandra menangis di pelukan seseorang tanpa merasa lemah.
Waktu berlalu. Mereka tumbuh. Mereka lulus kuliah bersama. Dan meski hidup membawa keduanya ke arah yang berbeda, mereka tetap berjalan berdampingan. Rayandra mendapat pekerjaan sebagai editor lepas, Meara bekerja sebagai penulis cerita anak.
Suatu pagi di sebuah kafe kecil dekat Prawirotaman, Rayandra menggenggam tangan Meara dengan gemetar. "Ra," katanya pelan, "boleh kah aku… benar-benar pulang ke kamu?"
Meara menatapnya dengan mata yang berair. "Kamu sudah pulang sejak lama, Ray."
Rayandra mengeluarkan sebuah kotak kecil. "Aku nggak janji bisa kasih hidup yang sempurna… tapi aku janji akan belajar menciptakan rumah yang tidak seperti rumah masa kecilku. Rumah yang tenang. Rumah yang kamu impikan. Dan rumah itu… maukah kamu bangun bareng aku?"
Meara tertawa kecil di antara tangisnya. "Kamu pikir aku bakal bilang tidak?"
Rayandra tersenyum, senyum yang dulu hanya ia simpan setengah, kini akhirnya ia lepaskan penuh.
Dan begitulah... dua tahun kemudian, mereka tinggal di sebuah rumah mungil di pinggir kota Yogyakarta. Tidak besar, tapi penuh cahaya. Tidak mewah, tapi damai. Dindingnya penuh foto perjalanan mereka, raknya penuh buku dan tanaman kecil. Di dapur, Meara suka membuat teh melati; Rayandra suka menyalakan musik instrumental pelan.
Rumah itu sering sunyi bukan sunyi yang menakutkan, tetapi sunyi yang menenangkan. Sunyi yang menjadi ruang untuk saling mendengar. Sunyi yang menjadi tempat pulang.
Pada suatu sore, saat hujan rintik turun di luar, Meara duduk di balkon kecil, memandang kota. Rayandra menghampirinya sambil membawa dua cangkir teh. "Kamu bahagia?" tanya Rayandra.
Meara menatapnya lembut. "Aku bahagia sejak kamu berani bilang ingin pulang."
Rayandra tersenyum tipis, lalu duduk di sampingnya. "Terima kasih… sudah ngajarin aku bahwa sunyi juga bisa jadi rumah."
Meara menyandarkan kepalanya di bahunya. "Dan terima kasih… karena kamu memilih tinggal."
Dari balkon kecil itu, mereka melihat Yogyakarta yang perlahan diselimuti senja. Angin lembut bertiup, membawa aroma tanah basah dan suara jauh dari angkringan.
Mereka tidak bicara banyak. Tidak perlu. Karena pada akhirnya, rumah bukan tentang tempat… tetapi tentang siapa yang duduk di sebelahmu saat dunia menjadi terlalu ramai. Dan bagi mereka berdua. Rumah itu kini bernama satu sama lain. Hingga sunyi menjadi rumah.