Saat usiaku tepat sepuluh tahun, rumah kami di Desa Tuan-Tuan, Kabupaten Ketapang, tercium aroma bunga melati dan ketumbar dari hajatan yang digelar tetangga sebelah. Malam itu bulan purnama bersinar jelas di atas atap bambu rumah-rumah kampung, menyinari jalan tanah yang sedikit berlumpur karena hujan sore tadi. Aku berdiri di balik jendela kaca kamar kecilku, menatap ke arah halaman tetangga yang penuh sesak orang. Musik gambus yang merdu mengalun lembut, menyatu dengan suara orang-orang yang bernyanyi bersama.
Aku bukanlah anak yang suka ramai-ramai, tapi malam itu sesuatu menarik perhatianku jauh melebihi sorak sorai tamu undangan. Di tengah kelompok pemuda yang memainkan alat musik, ada sosok yang membuat mataku terpaku tak bisa bergerak. Seorang pemuda dengan rambut ikal panjang yang diikat sedikit di bagian belakang, wajahnya memiliki lekukan yang membuatku berpikir pada gambar orang Arab yang pernah kudengar dari cerita nenekku. Tangannya yang ramping dengan lancip memetik senar gambus, dan suaranya yang dalam namun merdu membuat setiap syair lagu terdengar seperti doa yang lembut.
“Siapa itu, Bu?” tanyaku pelan kepada ibu yang baru saja masuk kamar membawa mangkuk buah.
“Ia anak dari Pak Bujang yang tinggal di Desa Punggur, namanya Haidar. Katanya sekarang sedang kuliah di Pontianak, pulang hanya untuk membantu hajatan ini,” jawab ibu sambil menyeka kaca jendela agar lebih jelas terlihat.
Sejak malam itu, namanya tertanam dalam hati kecilku. Aku jadi sering mencari alasan untuk keluar rumah saat ada acara hajatan atau pertemuan masyarakat yang menghadirkan musik gambus. Kadang aku melihatnya lagi, terkadang hanya mendengar kabar bahwa ia sedang berada di kampung. Saat aku masuk SMP, aku tak sengaja bertemu dengannya di rumah nenekku yang tinggal di dusun lain. Ia sedang berbincang dengan beberapa pemuda lokal tentang cara memainkan gambus. Aku bersembunyi di balik tiang rumah, hanya bisa melihatnya dari kejauhan. Hatiku berdebar kencang, tapi aku tak berani mendekat – bagiku, ia adalah sosok yang terlalu tinggi dan dewasa, sementara aku hanya anak kecil yang cuma bisa menjadi penggemar rahasia.
Hari-hari berlalu begitu cepat. Aku mulai fokus pada sekolah, mengikuti ekstrakurikuler pramuka dan belajar keras agar bisa melanjutkan studi ke luar kota. Seiring bertambahnya usia, kenangan tentang Haidar perlahan menyembunyi diri di sudut hati, namun tak pernah benar-benar hilang. Setiap kali mendengar musik gambus, aku selalu ingat pada wajahnya yang tenang saat memainkan alat musik itu.
_____
Pada usiaku delapan belas tahun, saat akan tamat SMA, aku berhasil meraih beasiswa untuk kuliah di Pontianak – ibu kota Kalimantan Barat yang selama ini hanya kudengar dari cerita orang. Perpisahan dengan keluarga di kampung rasanya berat, tapi harapan untuk meraih masa depan yang lebih baik membuatku kuat. Di kota besar yang penuh dengan gedung tinggi dan kendaraan yang berlalulintas, aku merasa seperti ikan yang baru saja masuk ke lautan luas.
Tak pernah terpikir olehku bahwa aku akan menjalin hubungan dengan seorang pria saat kuliah. Namun takdir memiliki cara sendiri. Aku bertemu Damar melalui Facebook; ia mengirimkan permintaan pertemanan setelah melihat postinganku tentang acara budaya kampung halaman. Ia berasal dari Sukadana dan bekerja sebagai anggota Satpol PP di kotanya. Kita sering berbicara melalui pesan singkat dan panggilan telepon, karena jarak yang jauh membuat kita sulit bertemu secara langsung. Damar baik padaku; saat aku kesulitan uang untuk biaya hidup dan kuliah, ia selalu bersedia membantu meskipun penghasilannya tidak terlalu banyak.
Namun hubungan jarak jauh bukanlah hal yang mudah. Orang tuaku sangat menentangnya ketika tahu aku pacaran, menyatakan bahwa aku masih sekolah dan belum cukup umur untuk berpikir tentang cinta. Aku mencoba membujuk mereka, menjelaskan bahwa Damar bukanlah orang sembarangan, tapi kata-kataku tak pernah masuk ke dalam hati mereka. Setelah dua tahun menjalin hubungan hanya melalui layar ponsel dan suara telepon, rasa jenuh mulai menghinggapi diriku. Aku mencintai Damar, tapi aku lelah dengan perasaan selalu sendiri saat menghadapi kesulitan, dan tekanan dari orang tua yang tidak pernah reda membuatku semakin terbebani. Akhirnya, dengan hati yang sangat berat, aku memutuskan untuk mengakhiri hubungan itu.
Beberapa bulan setelah putus dengan Damar, orang tuaku mulai memperkenalkanku dengan beberapa pria yang mereka anggap cocok untukku. Salah satunya adalah Samsun, seorang pria berusia tiga puluh empat tahun yang bekerja sebagai PNS di salah satu kantor pemerintah di Ketapang. Aku tidak merasa apa-apa padanya saat pertama bertemu – wajahnya terlihat lebih tua dari umurnya, dan cara bicara yang sedikit sombong membuatku merasa tidak nyaman. Namun orang tuaku sangat menyukainya, mengatakan bahwa Samsun bisa memberikan hidup yang stabil dan aman bagiku. Didesak oleh mereka dan merasa lelah dengan perjuangan sendirian di kota, aku akhirnya menyetujui untuk menjalin hubungan dengan dia.
Hubungan kita tetap berjalan jarak jauh karena aku masih kuliah di Pontianak. Saat aku menjelang wisuda, Samsun datang ke kota itu untuk melamarku. Orang tuaku yang telah menunggu momen ini dengan senang hati langsung menyetujui lamaran tersebut. Samsun menjanjikan uang asap sebesar sepuluh juta rupiah untukku dan orang tuaku, mengatakan bahwa itu adalah wujud penghormatannya kepada keluarga kami. Orang tuaku yang sangat senang bahkan sudah mulai merencanakan belanjaan untuk acara pernikahan, dari bahan makanan hingga pakaian tamu undangan.
Namun harapan itu cepat sirna. Saat keluarga Samsun datang ke rumah kami untuk membahas detail pernikahan, mereka secara sepihak mengecilkan janji uang asap menjadi lima juta rupiah. Bahkan mereka menyatakan bahwa jumlah itu masih terlalu banyak, dan pantasnya hanya dua juta rupiah saja karena aku hanyalah mahasiswa baru lulus yang belum memiliki pekerjaan. Orang tuaku terkejut dan merasa dipermalukan; mereka sudah merencanakan segalanya berdasarkan janji Samsun, dan kini tidak ada dana untuk membiayai acara yang sudah direncanakan. Akhirnya, mereka terpaksa menunda pernikahan hingga menemukan solusi yang tepat.
Kedua abangku tidak pernah menyukai Samsun dari awal. Mereka merasa bahwa pria itu terlalu sombong dan tidak menghargai keluarga kami. Aku sendiri mulai merasa ragu dengan keputusan yang telah aku buat, tapi aku mencoba untuk tetap sabar dan berpikir bahwa mungkin setelah menikah, segala sesuatunya akan menjadi lebih baik.
_____
Saat tinggal satu minggu lagi sebelum pernikahan yang akhirnya disepakati akan diadakan secara sederhana, aku menemukan akun Facebook lama yang sudah kubiarkan begitu saja selama bertahun-tahun. Aku membukanya hanya untuk mencari foto kenangan masa SMA, namun tanpa sengaja aku mencari nama Samsun di kolom pencarian. Alhasil, apa yang kudapatkan membuat darahku membeku.
Di dindingnya, ada status yang diposting saat keluarga mereka pertama kali datang ke rumah kami. Tulisan itu berbunyi: “Mau nikahkan anak atau mau menjual anak tante? Janjinya sepuluh juta tapi katanya harus semua untuk mereka. Padahal saya sudah bersedia memberikan yang terbaik, tapi rupanya mereka hanya melihat uang saja. Matre banget!” Tak hanya itu, masih ada banyak status lain yang menyindir keluarga kami dengan kata-kata yang tidak sopan. Aku juga melihat status dari abang Samsun yang berbunyi: “Putus satu cewek ngejar seribu, kamu pun PNS dek banyak yang ngejar. Jangan sampai menyesal nanti ya!” dengan wajah yang tersenyum sombong di foto profilnya.
Hatiku penuh dengan kemarahan dan rasa sakit. Bagaimana bisa seseorang yang akan menjadi suamiku menghina orang tuaku dengan cara yang begitu keji di dunia maya? Ia menyangka bahwa aku tidak berteman dengannya di Facebook karena aku menggunakan foto keponakan sebagai foto profil, padahal sebenarnya aku hanya tidak suka menggunakan media sosial untuk hal pribadi. Saat aku sedang ingin menelponnya untuk bertanya jelas, sebuah pesan singkat masuk ke ponselku: “Nisa, setelah acara pernikahan di kampung kamu ya, kita akan adakan pesta lagi di rumah kakakku di kampung kami. Sudah banyak teman dan kolega yang mau datang, jadi jangan khawatir ya.”
Tanpa berpikir panjang, aku segera menekan nomor telepon Samsun. Saat ia menjawab, aku langsung berkata dengan suara yang gemetar karena kemarahan: “Aku tidak mau menikah denganmu lagi, Samsun! Bagaimana kamu bisa menghina orang tuaku seperti itu? Kamu bilang kamu mencintaiku, tapi kamu bahkan tidak menghargai keluarga saya!” Aku meneriakkan semua yang kurasakan, menjelaskan bahwa aku telah melihat semua statusnya di Facebook. Samsun hanya terdiam sebentar sebelum akhirnya berkata dengan nada tidak senang: “Itu hanya omong kosong saja, Nisa. Kamu terlalu sensitif.” Namun aku tidak mau mendengar alasan apa pun lagi. Aku memutus panggilan dan langsung menghubungi ibu untuk memberitahukan keputusanku.
Keesokan harinya, aku pulang ke kampung dengan hati yang penuh dengan rasa sedih namun juga lega. Aku menceritakan semua hal yang kudapatkan kepada keluarga, mulai dari status yang menghina hingga keputusanku untuk membatalkan pernikahan. Kedua abangku langsung marah besar, sementara orang tuaku menangis karena merasa dipermalukan. Namun mereka juga mengerti keputusanku, mengatakan bahwa lebih baik membatalkan sekarang daripada harus hidup dengan pria yang tidak pantas untukku. Untungnya, uang asap belum diberikan oleh keluarga Samsun, hanya lemari pakaian dan cincin seberat setengah gram yang telah dibeli dengan uangnya yang perlu kita kembalikan.
Pada hari yang sama, keluarga kami menghubungi keluarga Samsun untuk memberitahukan pembatalan pernikahan. Ada sedikit teguran dari mereka, tapi kami tidak peduli lagi. Yang penting adalah kehormatan keluarga kami terjaga, dan aku tidak perlu hidup dengan seseorang yang tidak pantas untukku. Saat aku duduk di depan rumah sambil melihat langit sore yang mulai memerah, aku merenungkan semua perjalanan hidupku yang penuh dengan lika-liku. Mungkin aku memang belum beruntung dalam cinta, tapi aku tahu bahwa suatu hari nanti, aku akan menemukan orang yang benar-benar pantas untukku – seseorang yang tidak hanya mencintaiku, tapi juga menghargai orang tuaku dan keluarga saya.
____
Saat aku masih duduk di teras rumah, menyaksikan langit yang mulai gelap, suara motor yang keras namun khas lewat lalu berhenti di halaman rumah kakak ku yang berada tepat di belakang rumah orang tua. Aku melihat dari celah pagar bahwa itu adalah sepeda motor Honda CBR berwarna hitam yang tampak gagah. Penasaran, aku bertanya kepada kakak ipar ku yang sedang mengurus cucian di belakang rumah.
“Siapa yang datang ke rumah Kak tadi?” tanyaku dengan suara pelan.
“Oh, itu Haidar – paman ku yang juga sudah kamu tidak tahu dek? Sekarang umurnya sudah tiga puluh empat tahun, belum menikah. Banyak wanita yang mendekatinya karena wajahnya masih tampan seperti dulu –"
ya aku tadi melihatnya wajah tegas dengan khas arab-arabannya, sekarang rambutnya sudah dipotong pendek.
" Tapi katanya dia pernah hampir menikah tapi gagal beberapa tahun yang lalu, jadi sampai sekarang belum ada yang bisa singgah di hatinya,” lanjut kakak ipar sambil tersenyum. “Kamu tahu kan, dulu saat kamu kecil kamu sering nonton dia main gambus?”
Dengar kata-kata itu, hatiku berdebar kencang. Sementara melihatnya dari kejauhan yang sedang berbincang dengan kakak ku, aku berbisik dalam hati, “Andaikan ia jadi suami ku.” Padahal selama ini, aku selalu melihatnya sebagai penyanyi ternyata ia paman Kakan ipar ku sendiri.
Beberapa hari kemudian, aku kembali ke Pontianak untuk menghadiri wisuda teman-teman sekaligus menyelesaikan administrasi wisudaku sendiri yang tinggal dua hari lagi. Teman-teman menyemangatiku meskipun tahu tentang pembatalan pernikahanku dengan Samsun, tapi aku tidak terpengaruh sama sekali. Bahkan hingga saat itu, tiga minggu setelah pembatalan, Samsun masih sering menghubungi untuk mengajak menikah secara sederhana hanya di KUA, namun aku selalu menolak dengan tegas.
Keluarga ku akan datang ke Pontianak besok untuk menyaksikanku wisuda. Saat itu aplikasi BBM sedang sangat populer, kakak ku memberiku sebuah PIN BBM yang katanya milik Haidar. “Dia bilang ingin bertukar informasi tentang acara keluarga nanti,” ujar kakak ku. Ketika aku menambahkan PIN tersebut, nama yang muncul membuat hatiku berdebar – “Haidar”. Aku merasa sangat senang, meskipun setelah berteman kita tidak pernah melakukan percakapan apapun.
Setelah aku selesai wisuda dengan khidmat, keluarga ku pulang ke Ketapang sementara aku masih tinggal untuk mengurus ijazah. Malam itu, sebuah nomor asing muncul di layar ponselku. Setelah aku angkat, suara laki-laki yang dalam namun lembut terdengar dari ujung telepon.
“Assalamualaikum, Annisa? Aku Haidar,” ucapnya.
Masyaa Allah, aku langsung deg-degan dan hampir tidak tahu harus berkata apa. Selama sekitar satu jam kita berbicara, saling mengenal lebih dalam dan berbagi cerita tentang hidup kita masing-masing. Tak disangka, di akhir percakapan ia berkata dengan tegas, “Jika kamu mau, aku ingin menikahimu, Annisa. Aku sudah mengenalmu sejak kamu kecil, dan melihat bagaimana kamu tumbuh menjadi wanita yang kuat dan baik hati membuat aku yakin bahwa kamu adalah orang yang tepat untukku.”
Aku hampir tidak percaya pendengaranku. Kenapa dia mau menikahiku padahal selama ini dia adalah paman dari kakak ipar ku? Ternyata, ia telah mendapatkan cerita dari kakak ipar ku tentang pembatalan pernikahanku dan keadaan hidupku. Ia mengatakan bahwa sudah lama ia melihat potensi kebaikan dalam diriku, dan setelah mengalami kegagalan dalam percintaan sendiri, ia merasa bahwa takdir telah menyatukan kita di waktu yang tepat.
Tanpa ragu, aku menyetujuinya dan langsung menelpon orang tua ku untuk memberitahukan kabar ini. Mereka dengan senang hati menyetujui, begitu juga kakak ku yang sangat mendukung karena sudah mengenal Haidar dengan baik dan tahu bahwa ia adalah orang yang bisa dipercaya.
Esok harinya aku segera pulang ke Ketapang, dan tanpa sepengetahuanku, keluarga Haidar datang malam itu untuk melamar. Sesuai adat kita, hanya keluarga yang bertemu dalam acara lamaran itu karena Haidar sedang ada urusan penting di luar kota. Aku merasa sangat bahagia – baru satu bulan setelah gagal menikah, orang yang aku kagumi selama ini justru akan menjadi suamiku, bahkan setelah sekian lama ia menjadi bagian dari keluarga kita sebagai paman kakak ipar.
Dalam waktu satu minggu setelah lamaran, kami menikah dengan acara sederhana yang diisi dengan musik gambus yang merdu – sama seperti yang kudengar saat aku masih kecil. Sampai sekarang, pernikahan kami telah menginjak usia sepuluh tahun dan dikarunia tiga anak. Sayangnya, anak perempuan pertama kami wafat saat melahirkan – dia adalah anak surga yang menjadi tabungan terbaik di hati kami. Namun Tuhan menggantinya dengan dua anak laki-laki yang sehat yang menjadi kebanggaan kami. Hidup kami penuh dengan cinta dan syukur, bukti bahwa takdir memang sudah ditentukan jauh sebelum kita menyadarinya, bahkan dari saat pertama kali aku melihatnya memainkan gambus di hajatan tetangga.