Ini adalah kisah nyata tentang aku yang katanya dicintai oleh lelaki yang sudah lama menyukaiku sejak bangku sekolah. Kala itu aku sedang membantu bapakku di kota asing. Daripada menganggur, ku putuskan untuk mengikuti bapak di kota asing yang jauh dari kota kelahiran kami.
Waktu itu bulan Juli, aku mendapat kabar dari temanku yang membuatku tidak percaya saat itu. Bagaimana tidak? Temanku bilang, ada seseorang yang ingin confess padaku. Orang itu adalah crush pertamaku di masa SMP, tetapi temanku tidak tahu kalau aku menyukainya. Aku benar-benar girang saat mendengar kabar itu.
Aku sungguh tidak percaya bahwa crush lama ku itu akhirnya menyukaiku juga. Awalnya begitu. Namun, sehari kemudian, yang datang padaku bukan crush ku. Melainkan temannya.
Sontak aku langsung melaporkan hal itu pada temanku. Dia hanya merespon bahwa katanya lelaki yang mengirim pesan padaku itu sudah lama menyukaiku.
Aku paksakan memori ku untuk mengingat tentang dia. Bukankah di bangku sekolah dia sudah memiliki kekasih? Lalu bagaimana dia menyukaiku?
Hari-hari kemudian, kami sering berbalas pesan di aplikasi hijau. Tak sadar kami menjadi dekat dan saling nyaman satu sama lain. Aku juga berkontrak dengan crush ku, yang tidak lagi ku anggap crush, melainkan teman. Ya, sekarang dia hanyalah temanku. Dan soal aku menyukainya dulu, biarlah menjadi rahasia untukku.
Suatu hari, aku tidak bisa lagi membendung rasa penasaran ku. Ku tanyakan langsung padanya soal dia menyukaiku.
"Apa yang kamu suka dari diriku?" Aku bertanya saat kami bertelfonan di waktu tengah malam.
Dari seberang yang jauh di sana dia membalas dengan suara terbata-bata. "Itu... Uh, itu sulit untuk ku jelaskan."
"Ya sudah kalau begitu, aku tidak memaksa," kataku santai.
Dalam dua Minggu kami terhubung, dan secepat itu dia menyatakan perasaannya padaku. Aku yang saat itu baru pertama kali merasakan jatuh cinta, langsung menerima dan dengan begitu kami berpacaran.
Aku menyukainya karena aku ingin tahu lebih tentangnya. Meskipun sebenarnya aku masih merasa janggal dan tidak yakin dengan pernyataan itu yang terjadi begitu cepat.
Singkat cerita kami menjadi lebih dekat dan dekat, dan ku dengar temanku berpacaran dengan mantan crush ku. Aku bahagia mendengar hubungan mereka.
Namun suatu hari, hubungan ku dengan pacarku merenggang karena aku memiliki masalah ku sendiri sementara di sisi lain, dia semakin aneh. Terkadang yang dia bicarakan hanya soal anxiety, trauma, dan segala macam permasalahan mental.
Aku tahu, mungkin dia telah mengalami beberapa pengalaman yang kurang menyenangkan. Dan beberapa kali dia bilang padaku bahwa aku adalah penyembuh baginya. Disitu aku bingung, dia menganggap aku apa sebenarnya? Apakah aku hanya penyembuh untuknya?
Semakin sering dia membicarakan permasalahannya semakin terdengar seperti haus akan validasi. Jujur, aku lelah. Bahkan dia berharap agar aku menyuruh dia berhenti merokok. Dan katanya dia tidak bisa tidur jika tidak mendengar suaraku. Yang jelas, dia banyak maunya!
Emosiku semakin meledak-ledak di ubun-ubun, namun aku paksakan diriku agar aku tetap sabar. Dia terus meminta ku telfon dan fotoku. Aku semakin merasa aneh. Karena setahuku, cinta adalah kepercayaan satu sama lain. Bukan paksaan sana sini untuk meminta itu dan ini.
Seminggu aku mendiaminya, tetapi bukan benar-benar memberikan dia silent treatment, kami tetap berkomunikasi di aplikasi hijau meskipun dia hanya mengirimkan pesan seperti ini:
"Kamu sedang apa?"
"Masih sibuk?"
"Sibuk terus, ya?"
"Nanti malam bisa telefon gak?"
Dia rese banget, memangnya segala hidup yang harus diprioritaskan cinta dan cinta? Aku juga punya kesibukan sendiri, masalah sendiri, Kenapa dia tidak memahami ku?
Hampir satu bulan kami berpacaran dan hanya pesan itu yang terus dia kirim padaku. Bayangan di posisiku? Apa yang akan kalian rasakan?
Tidak tega dengan dirinya yang terus meminta telefonan, akhirnya aku mengabarinya bahwa aku bisa telefon dengannya di malam akhir Agustus. Itu adalah malam sebelum akhirnya aku memutuskan hubungan ku dengannya. Karena jujur, mental ku sudah tidak kuat untuk menghadapi dia yang banyak maunya.
Sebelum kami putus, aku memancing-mancing dia untuk berkata jujur padaku.
"Eh, katanya kamu suka sama aku sejak SMP, kan?"
"Eehh.. sebenarnya enggak sih, bukan dari SMP."
"Lho, terus?" tanyaku heran sekaligus penasaran.
"Sebenarnya aku suka sama kamu sejak temanku mengirimkan fotomu padaku. Dia menyarankan agar aku jadian sama kamu," katanya sambil diakhiri dengan kekehan.
Seketika itu hatiku menjadi hampa. Pantas saja selama ini aku merasa janggal dan merasa tidak aman apabila dia terus berkata manis padaku.
Nyatanya, temanku, mantan crush, dan pacarku bersekongkol. Aku benar-benar kecewa, sangat kecewa. Sebegitu teganya mereka melakukan itu padaku. Memangnya aku berbuat apa sampai mereka membohongi ku. Selama ini yang dia lihat foto ku, bukan rupa ku yang asli.
"Kamu tahu gak? Awal kita chatting, itu bukan aku. Saat itu aku dan temanku bertukar posisi, dia yang membalas pesan-pesan mu," katanya lagi yang masih terkekeh-kekeh santai, tidak merasa bersalah samasekali.
Sontak, aku terdiam. Mereka tega mempermainkan hatiku. Suaraku melemah, meminta untuk tidur lebih dulu tanpa menutup panggilan yang masih berlangsung. Ingin rasanya aku memukul wajah mantan crush ku dan meledakkan amarahku kepada mereka.
Namun apalah aku, aku hanyalah seorang gadis berhati lemah. Membentak seseorang saja, aku tak punya nyali.
Dua hari kemudian, aku meminta putus dengannya. Cukup pahit rasanya aku dibohongi oleh dia selama satu bulan itu. Saat aku meminta putus dia tidak percaya, menganggap bahwa aku sedang prank, dan dia memintaku agar terus terjaga tanpa mematikan telefon.
Aku turuti kemauan dia yang terakhir. Selama berpacaran, aku selalu menuruti keinginannya. Dan dengan kukuhnya dia terisak di akhir hubungan kami.
Asal tahu saja, aku yang paling tersakiti disini. Tapi aku tidak terlalu menunjukkan kekecewaan dan kemarahan ku pada mereka. Aku juga tidak mengutarakan permasalahan hatiku pada temanku karena, aku tidak bisa percaya pada dia lagi.
Terlebih lagi pada mantan crush ku, aku sangat, sangat, membencinya!
Begitulah akhir hubungan kami. Dengan aku yabg yang terus menutupi rasa sakit ku tanpa ku umbar kepada mereka.