Alex menatap Bu Wiwin yang sedang menulis rumus di papan tulis. Angka-angka itu menari-nari di matanya, tapi pikirannya melayang jauh. Senyum lembut Bu Wiwin, cara dia menjelaskan soal matematika yang rumit dengan sabar, semua itu membuat jantung Alex berdegup kencang.
Bu Wiwin adalah guru matematika favoritnya. Bukan hanya karena dia pintar, tapi juga karena kebaikan hatinya. Dia selalu menyapa murid-muridnya dengan ramah, memberikan semangat saat mereka kesulitan, dan tidak pernah marah meski ada yang berbuat salah.
Namun, ada sesuatu yang berbeda dengan perasaannya terhadap Bu Wiwin. Ini bukan sekadar kagum pada guru, tapi lebih dari itu. Alex merasa ada getaran aneh setiap kali Bu Wiwin tersenyum padanya atau memuji hasil kerjanya.
Alex tahu, ini salah. Bu Wiwin adalah gurunya, dan dia masih kelas 8 SMP. Selain itu, Bu Wiwin adalah seorang Muslimah yang taat, berhijab, dan sudah menikah. Ia bahkan punya seorang putri kecil yang Masih Balita.
Setiap kali bayangan Bu Wiwin bersama keluarganya muncul di benaknya, Alex merasa bersalah. Dia tahu, cinta mereka tidak mungkin terjadi. Ada jurang yang terlalu dalam yang memisahkan mereka. Usia, status sosial, semua itu menjadi penghalang yang tak mungkin ditembus.
Namun, perasaan itu sulit dihilangkan. Setiap malam, sebelum tidur, wajah Bu Wiwin selalu hadir dalam mimpinya. Ia membayangkan bisa berjalan-jalan dengannya, tertawa bersamanya, dan berbagi cerita dengannya.
Alex mulai meragukan perasaannya sendiri. Apakah ini hanya kekaguman sesaat? Apakah ini hanya efek pubertas? Atau, apakah ini benar-benar cinta?
Ia mencoba menjauhi Bu Wiwin. Ia tidak lagi bersemangat saat pelajaran matematika. Ia seringkali membolos atau pura-pura sakit agar tidak bertemu dengannya.
Namun, semakin ia mencoba menjauh, semakin kuat perasaannya. Ia merasa hampa dan kesepian tanpa kehadiran Bu Wiwin. Ia merindukan senyumnya, suaranya, dan semua hal tentang dirinya.
Suatu hari, Bu Wiwin memanggil Alex ke ruang guru. Wajahnya tampak khawatir.
"Alex, Ibu perhatikan kamu belakangan ini sering melamun dan tidak fokus di kelas. Ada masalah?" tanya Bu Wiwin lembut.
Alex terdiam. Ia tidak tahu harus menjawab apa.
"Kalau ada masalah, cerita saja sama Ibu," lanjut Bu Wiwin. "Ibu siap mendengarkan."
Air mata mulai menggenang di pelupuk mata Alex. Ia tidak tahan lagi memendam perasaannya.
"Bu, sebenarnya..." Alex menggantung kalimatnya. Ia ragu untuk melanjutkan.
Bu Wiwin menunggu dengan sabar.
"Saya... saya suka sama Ibu," akhirnya Alex mengucapkan kalimat itu dengan suara bergetar.
Bu Wiwin terkejut. Ia menatap Alex dengan tatapan yang sulit diartikan.
"Alex, Ibu tahu kamu anak yang baik dan pintar," kata Bu Wiwin dengan lembut. "Tapi, perasaanmu itu salah. Ibu adalah guru kamu, dan Ibu sudah menikah. Ibu tidak mungkin membalas perasaanmu."
Air mata Alex semakin deras mengalir.
"Ibu tahu, ini sulit untuk kamu terima," lanjut Bu Wiwin. "Tapi, kamu harus bisa mengendalikan perasaanmu. Ingat, kamu masih muda. Masih banyak hal yang bisa kamu capai. Jangan biarkan perasaan sesaat ini menghancurkan masa depanmu."
Bu Wiwin kemudian memberikan nasihat-nasihat yang bijak kepada Alex. Ia menjelaskan tentang pentingnya menghormati orang tua, guru, dan orang lain yang lebih tua. Ia juga mengingatkan Alex tentang batasan-batasan yang harus dijaga dalam pergaulan.
Setelah berbicara panjang lebar dengan Bu Wiwin, Alex merasa sedikit lega. Ia menyadari, perasaannya memang salah dan tidak mungkin terwujud. Ia berjanji pada dirinya sendiri untuk melupakan Bu Wiwin dan fokus pada masa depannya.
Meskipun sulit, Alex berusaha untuk menepati janjinya. Ia kembali bersemangat belajar matematika. Ia juga mulai mendekati teman-teman sebayanya. Sedikit demi sedikit, perasaannya terhadap Bu Wiwin mulai memudar.
Alex sadar, cinta tidak selalu harus memiliki. Kadang, cinta bisa menjadi sumber inspirasi untuk menjadi pribadi yang lebih baik. Dan baginya, Bu Wiwin akan selalu menjadi guru yang ia kagumi dan hormati, bukan sebagai wanita yang ia cintai.