Lampu kristal berkilauan di Restoran Bintang Seratus. Agus, dengan kemeja lusuh dan celana jeans yang sudah pudar warnanya, merasa sedikit salah kostum. Namun, perutnya sudah berteriak minta diisi. Ia duduk di salah satu meja dan memesan ayam goreng.
Tak lama kemudian, seorang pelayan datang dengan senyum ramah. Di tangannya, sepiring ayam goreng keemasan yang menggugah selera. Agus berseri-seri. Akhirnya, penantian berakhir.
Namun, kebahagiaan itu tak bertahan lama. Pelayan yang sama kembali menghampirinya dengan wajah menyesal.
"Maaf, Bapak," ucapnya, "kami salah menyajikan makanan. Ayam goreng ini seharusnya untuk pria di sebelah sana." Pelayan itu menunjuk seorang pria bertato yang duduk di pojok restoran. Pria itu berbadan kekar, rambutnya cepak, dan tatapannya tajam. Aura preman terpancar jelas dari dirinya.
Perut Agus sudah keroncongan sejak tadi. Ia tidak rela melepaskan ayam goreng yang sudah di depan mata. "Maaf, Mas," jawab Agus, "tapi saya sudah lapar sekali. Masak lagi saja untuk dia."
Pelayan itu tampak ragu. "Tapi, Bapak itu..."
"Sudah, biar saya yang bicara," potong Agus.
Tak lama kemudian, pria bertato itu menghampiri meja Agus dengan langkah menghentak. Matanya melotot, bibirnya menyeringai.
"Hei, cupu!" bentaknya. "Ayam goreng itu punya saya! Jangan coba-coba menyentuhnya!"
Agus mendongak, menatap mata si preman dengan tenang. "Saya sudah pesan dan sudah disajikan. Jadi, ayam ini milik saya."
"Oh, jadi kamu nantang saya?" Preman itu mendekat, mengancam. "Dengar ya, kalau kamu berani melakukan sesuatu kepada ayam goreng itu, akan aku lakukan juga kepadamu! Kamu putus lehernya, aku putus lehermu! Kamu potong kakinya, aku potong kakimu!"
Mendengar ancaman itu, Agus tidak gentar. Ia justru tersenyum sinis. "Silakan!" tantangnya. "Saya tidak takut!"
Dengan gerakan cepat, Agus meraih ayam goreng itu. Ia mengangkatnya tinggi-tinggi, lalu... menjilat p4nt4tnya 🗿🗿 dengan penuh kenikmatan.
Preman itu ternganga, tak percaya dengan apa yang baru saja dilihatnya. Wajahnya memerah padam karena marah dan jijik. Ia kehilangan kata-kata.
Agus meletakkan kembali ayam goreng itu ke piring. Ia menatap si preman dengan tatapan mengejek.
"Bagaimana, Mas?" tanya Agus dengan nada menantang. "Mau jilat p4nt4t saya sekarang?"
Preman itu menggeram marah. Ia mengepalkan tangannya, siap melayangkan pukulan. Namun, sebelum ia sempat bergerak, seorang satpam restoran datang menghampiri.
"Ada masalah apa ini?" tanya satpam itu dengan suara tegas.
Preman itu mengurungkan niatnya. Ia tahu, membuat keributan di restoran mewah seperti ini hanya akan membuatnya berurusan dengan polisi. Dengan wajah masam, ia berbalik dan kembali ke mejanya.
Agus tertawa puas. Ia kembali menikmati ayam gorengnya, mengabaikan tatapan sinis dari si preman dan bisik-bisik dari pelanggan lain. Baginya, yang terpenting adalah perutnya kenyang dan harga dirinya tidak diinjak-injak.
Di Restoran Bintang Seratus, malam itu, ayam goreng menjadi saksi bisu sebuah pertarungan harga diri yang tak terduga. Dan Agus, si pria lusuh yang berani melawan preman, menjadi pemenangnya.