Malam itu aku tertidur tanpa firasat apa pun.
Namun saat mataku terpejam, aku masuk ke dalam mimpi yang tidak pernah ingin aku alami.
Di dalam mimpi itu, rumahku masih sama.
Ruang tamu, kamar, bahkan suara jam dinding—semuanya terasa nyata.
Tapi ada satu hal yang hilang.
Ibuku tidak ada.
Aku mencarinya ke setiap sudut rumah.
Aku memanggil namanya berulang kali, berharap dia menjawab seperti biasa.
Namun yang kudapatkan hanya keheningan.
Orang-orang berkata ibuku telah pergi.
Aku tidak mengerti bagaimana dunia bisa tetap berjalan saat hatiku hancur.
Aku masih anak-anak, dan dunia tanpa ibu terasa terlalu besar dan terlalu dingin.
Hari-hari berlalu dalam mimpi itu.
Ayahku menikah lagi. Semua orang bilang aku harus kuat.
Tapi tak ada yang tahu, setiap malam aku menangis diam-diam sambil memeluk bantal.
Aku sangat merindukan ibu.
Aku merindukan suaranya, sentuhannya, dan caranya tersenyum saat melihatku.
Aku berharap, walau hanya sekali, ibu bisa muncul di depanku.
Tangisku semakin keras. Dadaku terasa sesak.
Aku memohon dalam hati,
“Bu, tolong kembali. Aku masih membutuhkanmu.”
Lalu tiba-tiba…
aku terbangun.
Air mata masih mengalir di pipiku.
Napas terasa berat, tapi dunia nyata kembali menyapaku.
Aku menyadari sesuatu yang membuatku gemetar—
itu hanya mimpi.
Ibuku masih ada.
Masih hidup.
Masih di dunia yang sama denganku.
Saat itu aku mengerti, mimpi itu bukan datang untuk menakutiku,
melainkan untuk mengingatkanku
betapa dalamnya cintaku pada ibu.