Setiap sore, rumah kecil di ujung gang itu selalu ramai oleh suara panci dan tawa. Ibu percaya satu hal sederhana: keluarga akan tetap utuh jika masih mau duduk bersama di meja makan.
Ayah pulang kerja menjelang magrib, seragamnya sering basah oleh keringat. Ia tak banyak bicara, tapi selalu menyempatkan diri menanyakan kabar anak-anaknya. Sementara Ibu, dengan celemek lusuh kesayangannya, sibuk menyiapkan makanan seadanya namun penuh cinta.
Raka, anak sulung, kini duduk di bangku SMA. Ia sering merasa lelah dengan tuntutan sekolah dan mimpi-mimpi besar yang kadang membuatnya ragu. Adiknya, Sinta, masih SMP, ceria dan selalu punya cerita tentang teman-temannya. Bagi Sinta, rumah adalah tempat paling aman di dunia.
Suatu hari, Raka pulang dengan wajah murung. Nilai ujiannya turun drastis. Ia merasa mengecewakan Ayah dan Ibu. Saat makan malam, ia hanya menunduk, tak menyentuh nasi di piringnya.
Ayah memperhatikan, lalu berkata pelan,
“Kalau capek, jangan dipendam sendiri.”
Raka terdiam sejenak. Akhirnya, air matanya jatuh. Ia menceritakan semuanya—ketakutan, tekanan, dan rasa takut gagal. Ibu berhenti menyendok sayur, lalu duduk di sampingnya.
“Kamu tidak perlu jadi sempurna,” kata Ibu lembut. “Cukup jadi anak yang jujur dan mau berusaha.”
Sinta ikut menggenggam tangan kakaknya. “Kakak hebat kok. Aku bangga,” ucapnya polos.
Malam itu, Raka menyadari sesuatu. Keluarga bukan tempat untuk dihakimi, tapi tempat untuk kembali ketika dunia terasa berat. Meja makan itu bukan hanya tempat menyantap makanan, melainkan tempat saling menguatkan.
Hari-hari berlalu. Masalah tetap ada, hidup tetap sederhana. Namun tawa masih sering terdengar, doa selalu dipanjatkan, dan meja makan itu tak pernah benar-benar sepi.
Karena bagi mereka, keluarga bukan tentang kesempurnaan—melainkan kebersamaan.