Di antara Sunyi yang Tersisa
Malam itu, hujan turun pelan seperti enggan mengganggu kesunyian. Dira duduk di tepi ranjang, memeluk lututnya sendiri. Ponselnya tergeletak di samping, layar gelap—tak ada pesan, tak ada panggilan. Seperti hatinya yang perlahan ikut meredup.
Arga berdiri di ambang pintu, ragu melangkah masuk. Sudah berhari-hari mereka berbagi atap, tapi merasa seperti tinggal di dua dunia yang berbeda. Bukan karena tak cinta, tapi karena terlalu lelah untuk saling mengerti.
“Aku capek,” kata Dira akhirnya, suaranya hampir tenggelam oleh hujan. “Capek merasa sendirian meski kita berdua.”
Arga menunduk. Ia ingin berkata bahwa ia juga lelah, bahwa dunia di luar sana menuntutnya terlalu banyak. Tapi ia lupa satu hal: Dira tak butuh alasan, ia hanya butuh didengarkan.
“Aku nggak pergi,” jawab Arga pelan. “Aku cuma… tersesat.”
Air mata Dira jatuh tanpa suara. Bukan karena marah, tapi karena ia sadar, mereka berdua sama-sama tersesat—namun berjalan ke arah yang berbeda.
Arga duduk di sampingnya, menjaga jarak yang dulu tak pernah ada. “Kalau aku belajar pulang,” katanya lirih, “apa kamu masih mau menunggu?”
Dira menghapus air matanya. Ia menatap Arga, lama, seolah mencari sisa-sisa rumah di wajah yang ia kenal. “Aku nggak butuh janji,” jawabnya. “Aku cuma ingin kamu benar-benar ada.”
Hujan di luar kian reda. Sunyi masih ada, tapi kini terasa berbeda—bukan lagi jurang, melainkan jembatan. Mereka belum tahu apakah akan sampai di ujung yang sama. Tapi malam itu, mereka memilih duduk bersama, di antara luka dan harapan yang belum sepenuhnya padam.