Nara percaya pada tiga hal di hidupnya:
1. Kopi pahit menyelamatkan pagi.
2. Deadline tidak punya empati.
3. Jempol manusia adalah musuh terbesar perasaan.
Keyakinan nomor tiga terbukti pada hari Selasa terkutuk itu.
---
Dengan mata setengah tertutup dan otak setengah hidup, Nara mengetik pesan yang seharusnya tidak pernah keluar dari draft:
> “Aku capek banget hari ini. Aku pengin kamu di sini. Beneran.”
Pesan yang ditujukan pada Dio—sahabatnya sejak SMA, orang yang selalu muncul saat hidup Nara kacau, tapi selalu pergi saat perasaan mulai serius.
Nara menekan kirim.
Satu detik.
Dua detik.
Ia melihat nama kontak.
Pak Rendra HRD.
Nara menatap layar.
Menatap.
Menatap lagi.
“Ini mimpi,” gumamnya.
“Ini pasti mimpi.”
Ponsel tidak meledak. Dunia tidak runtuh.
Tapi harga diri Nara… hancur berkeping-keping.
---
Tiga menit kemudian, ponsel berbunyi.
> Pak Rendra:
“Saya sedang di ruang HR. Kamu mau saya ke mana?”
Nara menjerit dalam hati seperti karakter sinetron jam tujuh malam.
Dengan kecepatan cahaya, ia membalas:
> Nara:
“MAAF PAK SALAH KIRIM 🙏🙏🙏 itu bukan buat Bapak. Itu buat… bukan siapa-siapa. Maksud saya, itu cuma kalimat. Tidak bermakna. Saya baik-baik saja.”
Titik-titik mengetik muncul.
> Pak Rendra:
“Kalau kamu baik-baik saja, kenapa pesannya sedih?”
Nara: MENANGIS DALAM EXCEL.
---
Sore harinya, Nara menyeret Dio ke warung kopi langganan.
“Ada apa sih? Kamu dramatis banget,” kata Dio sambil tertawa.
Nara mengeluarkan ponsel. “Kamu dapet pesan pagi ini?”
Dio mengangguk. “Dapet. Gue pikir… akhirnya kamu jujur.”
“JUJUR APA?” Nara panik.
Dio menatapnya, senyum kecil, suara lebih pelan.
“Kalau capek, kamu selalu datang ke gue. Tapi cuma lewat bercanda.”
Nara terdiam.
“Pesan itu,” lanjut Dio, “kedengeran kayak kamu beneran pengin gue… bukan cuma sebagai temen.”
Nara menunduk. “Aku takut.”
“Takut apa?”
“Takut kamu pergi lagi.”
Dio tertawa kecil. “Nar, gue ke mana-mana, tapi selalu balik ke kamu.”
Sunyi.
Sunyi yang bikin dada Nara hangat dan sesak bersamaan.
---
Besoknya, Pak Rendra memanggil Nara.
Nara masuk ruangan seperti terdakwa.
“Saya tidak marah,” kata Pak Rendra santai.
“Saya cuma mau bilang…”
Nara menahan napas.
“Kalau kamu capek, jangan simpan sendiri. Kerja itu penting, tapi hidup lebih penting.”
Nara hampir menangis. “Bapak… kenapa baik?”
Pak Rendra tersenyum. “Karena saya juga pernah salah kirim pesan ke mantan.”
Nara: TERKEJUT + RESPECT.
---
Malam itu, hujan turun pelan.
Nara duduk di halte, sendirian.
Seseorang duduk di sebelahnya.
“Katanya kamu pengin aku di sini,” kata Dio.
Nara tersenyum, mata berkaca-kaca. “Sekarang masih mau?”
Dio menatapnya serius.
“Dari dulu.”
Mereka tertawa, hujan, dan dunia yang akhirnya terasa pas.
Dan sejak hari itu, Nara belajar satu hal penting:
👉 Kadang, salah kirim bukan kesalahan. Tapi keberanian yang nyasar.