Desa Kemuning Hitam terletak jauh dari jalan utama. Untuk mencapainya, seseorang harus melewati hutan bambu yang rapat, jalan tanah merah, dan sebuah jembatan kayu tua yang selalu berderit seolah mengeluh setiap kali diinjak.
Di desa itu, ada satu larangan yang diwariskan turun-temurun.
Tidak boleh keluar rumah setelah adzan magrib. Tidak boleh mendekati sumur tua di ujung desa.
Tidak ada papan peringatan. Tidak ada tulisan resmi. Hanya bisikan para orang tua, tatapan tajam para tetua adat, dan ketakutan yang tertanam sejak kecil.
Larangan itu muncul sejak dua puluh lima tahun lalu, ketika desa diguncang sebuah tragedi berdarah.
Kala itu, seorang perempuan bernama Sari dituduh membawa sial. Anak-anak jatuh sakit, panen gagal, dan ternak mati mendadak. Tanpa bukti, tanpa pembelaan, warga menyeret Sari ke sumur tua—sumur yang sudah ada bahkan sebelum desa itu berdiri.
Malam itu hujan turun deras.
Sari menangis, memohon, bersumpah ia tak bersalah.
Namun doa tak pernah lebih keras dari ketakutan massa.
Ia didorong.
Tubuhnya jatuh ke dalam sumur gelap, diiringi teriakan terakhir yang terputus oleh suara air dan batu.
Sejak malam itu, sumur ditutup, dan larangan diberlakukan.
Bukan sebagai penghormatan.
Melainkan sebagai upaya bertahan hidup.
Karena setelah kematian Sari, desa tak pernah benar-benar tenang
Dua puluh lima tahun berlalu, Desa Kemuning Hitam mulai berubah. Anak muda mulai menganggap larangan itu hanya cerita kuno.
Termasuk Raka, Dimas, dan Lila tiga pendatang yang menyewa rumah kosong di pinggir desa untuk penelitian kampus.
“Desa terpencil gini cocok buat konten,” kata Raka sambil tertawa kecil.
“Larangan-larangan gitu biasanya cuma buat nakut-nakutin,” sahut Dimas.
Lila sebenarnya ragu. Sejak pertama datang, ia sering bermimpi tentang perempuan berambut basah, berdiri di tepi sumur sambil memanggil namanya.
Namun rasa takut kalah oleh rasa penasaran.
Malam itu, tepat setelah magrib, mereka keluar rumah.
Desa sunyi. Tak satu pun lampu rumah menyala.
Hanya suara jangkrik dan langkah kaki mereka sendiri.
Ketika mereka tiba di sumur tua, udara mendadak berubah dingin. Bau tanah basah bercampur amis memenuhi hidung.
Raka menyorotkan senter ke dalam sumur.
“Dalam banget…,” gumamnya.
Tiba-tiba terdengar suara lirih.
Tangisan… atau tawa?
Air sumur beriak, seolah ada sesuatu bergerak dari bawah.
Lila merasakan tangannya ditarik.
Ia menjerit.
Namun tak ada siapa pun di belakangnya.
Sejak malam itu, desa mulai memakan korban.
---
Satu per satu, pelanggar mulai mengalami teror.
Dimas ditemukan linglung di tengah sawah, mulutnya penuh lumpur, matanya kosong menatap langit. Ia hanya mampu berbisik,
“Dia… menarik kakiku… dari dalam…”
Raka menghilang.
Yang tersisa hanya kameranya, tergeletak di tepi sumur, merekam sosok perempuan berambut panjang, wajahnya pucat membiru, dengan leher penuh luka lebam.
Sari telah bangkit.
Bukan sebagai manusia.
Bukan pula sebagai arwah yang tenang.
Ia menjadi penjaga larangan.
Setiap malam, bayangannya berjalan menyusuri desa. Kakinya basah, meninggalkan jejak air dan darah. Ia masuk ke mimpi orang-orang yang pernah menertawakannya, yang membiarkannya mati.
Para tetua desa akhirnya berkumpul.
Mereka tahu: kesalahan lama telah bangkit menagih harga.
“Arwah itu tidak marah karena dilanggar,” ujar seorang dukun tua.
“Dia marah karena tak pernah diberi keadilan.”
Satu-satunya cara menghentikannya adalah mengakui dosa desa—di hadapan sumur tempat ia dibunuh.
---
Malam purnama, seluruh warga berkumpul di depan sumur tua.
Tak ada teriakan. Tak ada tangisan.
Hanya pengakuan.
Satu per satu, mereka menyebut nama Sari.
Mengakui ketakutan, kebodohan, dan kekejaman mereka di masa lalu.
Tanah bergetar.
Air sumur meluap.
Dari dalam sumur, Sari muncul. Rambutnya menutupi wajahnya, tubuhnya basah, lehernya miring tak wajar.
Namun saat namanya disebut dengan tulus, langkahnya melambat.
Untuk pertama kalinya… ia menangis.
Tangis yang bukan lagi penuh amarah, melainkan kelelahan.
Perlahan, tubuhnya tenggelam kembali ke dalam sumur. Air berhenti meluap. Udara kembali hangat.
Sejak malam itu, Desa Kemuning Hitam kembali tenang.
Larangan tetap ada.
Namun bukan lagi karena takut pada arwah.
Melainkan sebagai pengingat:
bahwa dosa yang dikubur tak pernah benar-benar mati.
Dan di Desa Kemuning Hitam,
sumur tua itu masih ada.
Diam.
Menunggu.
TAMAT. 🕯️🖤