Hari itu, gerbang sekolah terbuka diiringi sorak-sorai kelulusan. Di tengah keramaian, Zheng Shu Yi dan Wang Jia Wei saling menatap, mata mereka dipenuhi janji-janji masa depan. Mereka bersepakat untuk bertemu di stasiun bus sore harinya, sebuah tempat yang sakral bagi mereka, di mana kisah mereka dimulai.
"Tunggu aku," bisik Jia Wei, senyumnya sehangat mentari sore itu.
Namun, ia tak pernah datang. Shu Yi menunggu. Satu jam, dua jam. Hingga malam tiba, dan stasiun yang ramai perlahan sepi, ia tak kunjung melihat sosok Jia Wei. Air mata akhirnya menetes, membasahi wajahnya yang penuh kekecewaan. Ia merasa dikhianati, ditinggalkan sendirian.
Tahun 2025
Sudah delapan tahun. Jalanan kota Shanghai telah berubah, gedung-gedung pencakar langit baru menjulang, namun rutinitas Shu Yi tidak pernah berubah. Setiap minggu, ia pergi ke tempat yang sunyi, membawa sebuket bunga bakung putih dan sebuah kotak kecil berisi jelly kesukaan orang itu.
Langkahnya mantap, dan ia berhenti di sebuah tempat. Ia berlutut, meletakkan bunga dan jelly itu di depan sebuah nisan.
"Bagaimana kabarmu di sana? Apa kau bahagia? Seandainya saat itu kita tidak berjanji untuk bertemu..." bisiknya, suaranya parau. "Mungkin, sekarang kita sudah mewujudkan impian kita bersama"
Shu Yi mengusap nama yang terukir pada batu nisan itu, mengalirkan kenangan dan rindu yang tak pernah usai.
"Maafkan aku. Aku tidak tahu... jika kau tidak akan pernah kembali. Tapi sekarang kau tidak akan merasakan sakit lagi"
Air mata mengalir di pipinya saat ia menatap nama yang terpahat di atas batu itu. Nama yang kini menjadi satu-satunya tujuan dalam hidupnya.
"Aku di sini, Jia Wei. Aku akan menepati janji kita untuk mencapai cita-cita kita. Sendiri. Semoga kau damai disana, Wang Jia Wei"
Wang Jia Wei (王嘉伟).
Itu nama yang terukir di pusara itu.
Tahun 2012
Hari dimana Jia Wei menemui Shu Yi
Sore itu, di hari kelulusan, Jia Wei berjalan dengan langkah ringan menuju stasiun bus, tempat ia berjanji bertemu Shu Yi. Di dalam sakunya, ada sebuah kotak kecil berisi liontin giok yang sudah ia perbaiki dengan lem, meski retaknya masih terlihat.
Itu adalah hadiah perpisahan, simbol dari masa lalu mereka yang hancur, namun juga sebuah harapan untuk masa depan yang baru.
Angin musim panas terasa hangat, dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Jia Wei merasa benar-benar bebas dan penuh harapan.
Namun, saat melewati tepian sungai yang dulu menjadi saksi keheningan mereka, langkahnya terhenti. Dari balik semak-semak, ia mendengar suara teriakan dan rintihan yang familiar. Ia melihat Wang Jin Tao, ayahnya, berlutut, dipukuli oleh sekelompok pria berbadan besar.
Kemarahan dan ketakutan membanjiri Jia Wei. Ia tahu ia harus lari, pergi, dan memulai hidup barunya. Namun, ia tidak bisa. Ia tidak bisa meninggalkan ayahnya. Dengan tekad yang kuat, ia berlari ke tengah keributan itu, menyingkirkan salah satu pria itu dari ayahnya.
"Jangan sentuh dia!" teriak Jia Wei, suaranya dipenuhi amarah yang membara.
Perkelahian itu singkat dan brutal. Saat Jia Wei melawan, salah satu pria itu menarik pisau dan mengarahkannya ke arah perut Wang Jin Tao. Pandangan mata mereka bertemu, dan dalam sepersekian detik, Jia Wei melihat ketakutan yang murni di wajah ayahnya sebuah emosi yang tidak pernah ia lihat sebelumnya.
Tanpa berpikir dua kali, Jia Wei mendorong ayahnya.
Pisau itu menembus tubuhnya. Darah mengalir, dan rasa sakit yang luar biasa membekukan gerakannya. Ia terhuyung mundur, matanya membelalak, menatap ayahnya yang kini diliputi kepanikan. Lalu, tanpa suara, Jia Wei terjatuh ke belakang, menghilang ke dalam kegelapan air sungai.
Air sungai yang dingin segera menelan tubuhku, bagai selimut tebal yang memelukku dari segala kekacauan di atas sana. Bau busuk air dan amis darah menyeruak, tapi anehnya, aku tidak lagi merasakan sakit. Hanya dingin yang menusuk tulang, dan suara gelembung udara yang terlepas dari mulutku.
Dalam kegelapan itu, aku hanya memikirkan satu hal.
Zheng Shu Yi.
Aku melihat wajahnya yang cerah, senyumnya yang menghangatkan, dan mata penuh harapan yang menatapku. Maafkan aku, Shu Yi. Aku tidak bisa menepati janjiku. Aku tidak bisa datang menemuimu di stasiun bus. Padahal, aku sudah sangat dekat. Aku sudah membayangkan wajahmu saat melihatku.
Maafkan aku, karena tidak bisa mewujudkan mimpi kita. Aku sudah berjanji akan mengubah hidupku, akan menjadi seseorang yang bisa melindungimu.
Tapi takdir terlalu cepat.
Di usiaku yang baru 18 tahun, aku hanya menginginkan sedikit kebahagiaan. Aku melihatnya, merasakannya dalam genggaman tanganmu, dalam senyummu, dalam setiap perjalanan kita pulang.
Namun takdir yang tragis, selalu saja mengikutiku. Ia merenggut Xinyue, lalu Ibu, dan sekarang, giliranku. Aku tidak pernah diberi kesempatan untuk bahagia seutuhnya.
Dinding di hatiku akhirnya hancur. Bukan karena air mata, tapi karena air sungai yang menenggelamkanku. Aku melihat wajah Ayah, wajah Xinyue, dan wajah Ibu, lalu, terakhir, wajahmu.
Maafkan aku.
Dunia di sekitarku mulai memudar, dan mataku perlahan terpejam, digantikan oleh kegelapan yang sunyi.
END