Pada suatu hari—hari biasa yang seharusnya lewat begitu saja hidupku berubah arah karena hal sepele. Waktu itu aku sedang ngechat temanku, Kahfi, di WhatsApp. Fidya, sahabatku, melirik sedikit ke layar ponselku. Entah matanya salah baca, entah semesta cuma lagi usil, tiba-tiba dia berteriak kencang di kelas,
“EH NGECHAT DAPII!! ITU NAMANYA KHADAFI!”
Kelas yang sedang jamkos langsung ribut. Firza dan Evan, yang memang cukup dekat denganku, langsung ikut ceng-cengin tanpa ampun. Aku panik setengah mati, takut disalahpahami. Di sisi lain kelas, Dapi mendengar semuanya dan dia cuma… ketawa. Bukan marah, bukan risih. Ketawa. Dan aku, yang malu sampai ubun-ubun, akhirnya ikut ketawa sambil pura-pura santai, padahal hatiku ingin hilang dari dunia.
Dari kejadian itu, entah kenapa beberapa teman mulai men-ship kami. Awalnya aku cuek. Tapi lama-lama ganggu juga, sampai aku sengaja menjaga jarak dan hampir nggak ada interaksi sama sekali dengan dia.
Tapi justru setelah itu… dia mulai ngechat.
Awalnya cuma balasan story. Basa-basi kecil. Tapi aku ini peka. Dari satu dua chat dia aja aku udah ngerasa ada sesuatu yang aneh. Ada perubahan. Ada pergeseran. Meski begitu, aku nggak mau ke-PD-an, jadi aku anggap biasa saja.
Hari-hari berikutnya, Dapi makin sering ngechat. Makin berani mulai obrolan. Makin hadir. Sedangkan aku masih denial, masih berpikir, “ya sudah, ikutin aja alurnya.” Padahal dalam hati kecilku, aku udah bisa menebak ke mana semuanya akan berujung.
Pernah suatu sore aku ngelamun. Tiba-tiba muncul satu pikiran: dia datang pas banget ketika aku baru selesai melupakan seseorang dari masa lalu. Terlalu tepat waktunya. Terlalu cepat. Dan aku belum siap membuka hati lagi.
Meski begitu, kami tetap pelan-pelan makin dekat. Bukan lewat hal besar, tapi lewat hal remeh yang terasa hangat. Balasan chat yang sederhana, jokes receh, cara dia memperhatikan hal-hal kecil dariku, cara kehadirannya tiba-tiba jadi bagian dari hariku.
Sampai suatu malam, dia mulai memberikan kode. Halus, tapi bagi orang sepeka aku… sudah jelas. Dia ingin menyatakan perasaan. Dan aku paham. Terlalu paham.
Aku pura-pura nggak tau, tapi pada akhirnya aku harus menjawab.
Malam itu, aku bilang aku nggak mau.
Aku menolak diaajak pacaran.
Padahal aku tau dan diam-diam kuterima bahwa aku juga jatuh cinta padanya.
Aku menolak bukan karena aku nggak suka dia. Tapi karena aku takut. Takut mengulang kesalahan masa lalu. Takut menyakiti orang baik yang datang setelah badai. Takut hubungan romantis justru membuatnya terkena dampak dari luka-lukaku yang belum sembuh. Aku berharap penjelasan satu paragraf itu cukup menjelaskan isi hatiku. Tapi mana ada hati yang bisa diringkas sesingkat itu?
Akhirnya aku jujur… aku suka.
Tapi aku belum siap.
Masalahnya ada padaku.
Dan ajaibnya, dia tetap bertahan. Tetap ada. Tetap sabar meski aku menggantung perasaannya. Dia nggak pernah marah. Nggak mundur. Dan itu justru membuatku makin merasa bersalah.
Karena kalau soal mencintai… aku bukan tipe yang bisa setengah-setengah.
Kalau aku sayang, aku kasih semuanya.
Aku hadir seutuh mungkin, dengan seluruh perasaan dan jiwa. Aku jatuh cinta seperti anak kecil yang tulus, tapi dalamnya seperti orang dewasa yang sudah pernah patah. Dan itu justru yang paling menakutkan karena cinta sebesar itu bisa bikin aku kehilangan diri kalau aku belum sembuh benar.
Aku ini orang yang gampang jatuh karena hal-hal kecil: lewat perhatian sederhana, lewat senyum samar, lewat tatapan yang nggak disengaja. Tapi ketika aku sudah jatuh… aku jatuhnya serius. Aku ingat detail kecil, aku mikirin perasaan dia sebelum perasaanku sendiri, aku jaga dia dengan caraku yang canggung tapi tulus. Aku bukan yang romantis lebay tapi aku selalu hadir. Dan aku sayang diam-diam, tapi dalam.
Mungkin itulah kenapa aku berhati-hati.
Karena cinta versi aku itu bukan main-main.
Cinta versi aku bisa jadi hadiah… tapi juga bisa jadi beban, kalau aku belum benar dengan diriku sendiri.
Aku selalu menyiapkan hati supaya nggak jatuh terlalu dalam. Bukan karena aku nggak bisa cinta, tapi karena itulah caraku melindungi diri sendiri. Aku tahu, setiap perasaan punya masanya. Ada awal dan ada akhirnya. Dan saat hari itu nanti tiba, aku cuma mau satu hal:
aku ingin mencintai diriku sendiri dulu.
Aku ingin memeluk diriku.
Membangun versi terbaikku.
Mengejar mimpiku.
Dan mungkin suatu hari… bertemu dia lagi sebagai versi terbaikku juga.
Karena apa pun akhir ceritanya, dia pernah hadir di hidupku.
Menitipkan warna, senyum, dan jejak lembut yang hanya aku yang bisa rasakan.
Dan itu cukup.
Lebih dari cukup.
Begitulah, pelan-pelan kami jatuh.
Tanpa label.
Tanpa janji.
Tapi dengan perasaan yang nyata.