— "Mimpi" adalah tirai sutra yang menutup mata dunia, melapisi hati dengan cahaya lembut yang tak terjangkau logika. Ia bagaikan bintang jatuh di lautan malam, menyalakan harapan‑harapan yang terpendam dalam relung‑relung jiwa.
Dalam setiap helaan napas, mimpi menari seperti bayang‑bayang api yang melingkari jiwa, mengubah kepingan‑kepingan kenangan menjadi melodi sunyi yang memanggil kita menapaki lorong‑lorong tak berujung. Ia bukan sekadar ilusi, melainkan cermin berkilau yang memantulkan diri sejati—sebuah janji yang berbisik:
“Bangkitlah, karena di dalam dirimu tersimpan matahari yang menunggu terbit.” 🌙✨
...
Cerita berdasarkan mimpi penulis...
(Warning : latar, nama, tahun, tanggal, bulan semuanya tidak sama seperti aslinya... Maaf jika ada kesamaan ide, ataupun nama itu mungkin tak di sengaja)
----------
deburan lembut melambai kepadaku... ia meniup pelan helaian rambut ku...ia adalah —angin... yang slalu datang dan pergi tanpa pamit...
Aku duduk di sebuah ayunan, dengan gaun putih indah... dengan rambut yang ku biarkan terurai...
saat itu, diriku termenung... hanya menatap sekeliling... melihat rerumputan yang bergoyang mengikuti irama angin... sambil sesekali menikmati aroma segar alam ...
dan, seseorang dengan paras menawan dan senyuman tulus nya... datang menghampiriku... aroma nya seperti laut yang tenang...
aku menatap netra nya, dan dia perlahan mengulurkan tangannya untukku sambil berkata...
"aku William... Tunangan mu..." ujarnya dengan lembut...
aku menggapai tanganya... ia menarikku tuk berlari lari kecil di sekeliling rerumputan... Senyumannya indah... Entah mengapa aku selalu terpana saat menatap netra biru gelap milik nya..
saat lelah, dia berbaring di paha ku... sambil menatap kearah langit...
"selalu cantik..." ucapnya sambil kembali menatap ke arahku... yang sedang mengelus surainya... dengan tenang...
Saat itu ia berkata lagi...
"Aku ingin selalu disini... Bersamamu..." Ujarnya sambil tersenyum tipis kearahku...
-----------
Saat itu, William terbangun... Menuntun diriku tuk berdiri ... Menarikku tuk berlarian di Padang rerumputan itu...
Deburan lembut masih menggoyangkan kelopak‑kelopak bunga liar di tepi padang, seolah‑olah alam menuliskan melodi sunyi untuk dua jiwa yang baru saja bersua. Aku masih terengah‑engah, napasku berbisik bersama desiran angin, namun hati berdegup lebih kencang daripada alunan musik itu.
William menatapku dengan mata yang berkilau seperti bintang terbit di ufuk timur. "Kamu seperti embun pagi," bisiknya, suaranya mengalir lembut menembus kerinduan yang selama ini kurangkai dalam diam. "Setiap tetesnya menari di atas daun, tak pernah menetes dua kali."
Ia mengulurkan tangan lagi, kali ini lebih mantap, menuntunku berdiri. Gaun putihku berkibar, menari bersama hembusan angin yang tak pernah lelah mengundangnya. Langkah kami melincur di antara rerumputan yang berbisik, menorehkan jejak‑jejak kecil di tanah basah—jejak yang seakan berkata, "kita pernah di sini, bersama".
Saat kami mencapai sebuah pohon tua yang rindang, William berhenti. Duduk di pangkuannya, ia menunduk, mengusap lembut helai‑helai rambutku yang masih basah oleh embun. "Aku pernah menunggu angin ini," katanya, "menunggu saat ketika ia akan membawa aroma laut ke daratan, membawa dirimu padaku."
Matahari mulai merunduk, melukis langit dengan warna oranye‑merah, seakan menyiapkan panggung untuk kisah yang belum selesai. Aku menatapnya, merasakan kehangatan napasnya menembus kulit, dan mengerti bahwa setiap detik di sisinya adalah puisi yang tak terucapkan.
"Kita masih punya banyak pagi untuk dijelan," ucapku, suara ku terdengar seperti alunan seruling di antara dedaunan. "Dan setiap malam, aku akan menunggu angin yang kembali, membawa bau laut dan senyum mu."
William tersenyum, menutup matanya sejenak, seolah mengukir janji di awan‑awan yang melayang. Ketika ia membuka kembali, tatapan matanya menancapkan kepastian: "aku di sini, selang selangkah, selang hati".
Kami berbaring bersama, kepala ku di pundaknya, melihat bintang‑bintang mulai menabur cahaya di kanvas malam. Angin masih berbisik, kini lebih perlahan, seolah mengantar mimpi kami ke dalam tidur dunia. Dan di sana, di antara desah angin dan gemerisik rerumputan, dua jiwa menemukan rumah—sebuah tempat yang bernama "cinta" yang tak pernah lekang oleh waktu.
....