Sitha menatap langit-langit kamar yang sudah dia hapal setiap nodanya. Saat ini pukul tiga pagi, dan tidur masih belum datang. Di sampingnya, Andra tidur telentang dengan napas teratur. Satu-Satunya suara di kamar selain deru AC yang monoton.
Dia mengingat percakapan ringan mereka kemarin sore. Mereka sedang scrolling media sosial, melihat berita artis yang ketahuan poligami.
Lalu Andra tertawa sinis, "Dasar. Bisa-bisanya dia nyakitin istri sendiri." Lalu dengan nada yang terlalu ringan untuk pertanyaan seberat itu, dia menambahkan, "Gimana kalau aku? Boleh nggak?"
Sitha ingat jawabannya saat itu. Dia sebutkan angka dua ratus juta, lalu nafkah yang harus terus berjalan setiap bulan. Syarat bahwa nafkah istri barunya nanti tidak boleh lebih besar dari nafkahnya. Dan mereka tidak perlu bertemu lagi selamanya. Hanya di atas kertas saja sebagai suami istri.
Andra langsung tertawa, mengira itu hanya lelucon. Lalu percakapan berlanjut ke topik lain.
Tapi Sitha tidak tertawa. Dia hanya tersenyum simpul sambil merasakan jantungnya berdetak lebih keras. Karena sebagian dari dirinya tidak bercanda. Sebagian dari dirinya sudah menghitung kemungkinan-kemungkinan yang mungkin harus dia hadapi.
Lima tahun lalu Sitha adalah perempuan yang berbeda. Dia punya karir sebagai desainer grafis di agensi ternama, punya lingkaran pertemanan yang luas, pergi ke pameran seni setiap bulan. Fisiknya cukup untuk membuat Andra bangga membawanya ke acara-acara formal. Pernikahan teman, gathering keluarga. Dia mandiri secara finansial dan emosional. Dia pikir Andra menikah dengannya karena semua itu.
Lalu datang diagnosis. Satu, dua, tiga penyakit kronis yang datang beruntun seperti kartu domino yang jatuh.
Tubuhnya berubah. Tidak lagi seperti yang dulu. Karirnya runtuh karena dia tidak bisa lagi bekerja dengan konsisten. Teman-temannya perlahan menjauh, tidak tahu harus berkata apa pada perempuan yang terus sakit tanpa pernah sembuh. Media sosialnya menjadi sepi karena dia tidak punya lagi kehidupan yang layak dipamerkan.
Yang tersisa hanya Andra.
Dan rasa bersalah yang menggerogoti diam-diam.
Pagi itu, Sitha bangun lebih lambat dari biasanya. Andra sudah siap-siap untuk berangkat kerja. Lalu pria itu mampir ke kamar, mencium kening Sitha.
"Jangan lupa minum obat ya." Katanya saat itu.
"Iya," jawab Sitha. Suaranya serak.
Andra menatapnya sebentar seperti ingin mengatakan sesuatu, tapi akhirnya hanya tersenyum dan pergi. Pintu kamar tertutup. Rumah kembali sunyi.
Lalu Sitha meraih ponselnya, aktifitas yang biasa ia lakukan setelah bangun tidur. Ada pesan penolakan dari perusahaan tempat dia melamar kerja minggu lalu. Lagi.
Sudah yang keberapa kali?
Entah. Dia tidak ingat.
Setiap kali mencoba bangkit, sesuatu selalu menariknya kembali ke dasar. Tubuhnya, kesehatannya, keterbatasannya.
Dia membuka cermin. Wajahnya pucat, mata cekung. Rambutnya menipis karena efek samping obat-obatan. Tubuhnya bengkak di beberapa bagian, kurus di bagian lain.
Dulu dia bisa menjadi 'gandengan cantik' untuk Andra. Sekarang? Dia bahkan tidak yakin apakah Andra masih mau dilihat bersamanya di tempat umum atau tidak.
Apa Andra menyesal sudah menikah dengannya?
Pertanyaan itu muncul setiap hari, seperti lagu yang terus diputar tanpa henti.
Sore harinya, Sitha mencoba olahraga ringan seperti yang disarankan dokter. Hanya jalan kaki di taman kompleks. Tapi setelah sepuluh menit, kakinya sudah gemetar. Dia duduk di bangku taman, napasnya memburu.
Seorang ibu muda lewat dengan kereta dorong bayi. Bayinya tertawa riang. Sitha merasakan sesuatu mencengkeram dadanya. Dia dan Andra belum pernah membicarakan soal anak secara serius sejak dia sakit. Tapi dia tahu Andra suka anak-anak.
Dulu suaminya ingin punya anak. Dia pernah bilang ingin punya dua, laki-laki dan perempuan. Sekarang, kemungkinan itu hampir tidak ada. Karena tubuh Sitha tidak mampu menjalani kehamilan.
Dia adalah hambatan untuk Andra. Sebuah jalan buntu.
Malam itu, saat mereka makan malam dalam diam, Sitha hampir membuka percakapan. Hampir bertanya, "Kamu menyesal?" Tapi kata-kata itu putus di tenggorokan. Karena dia takut jawabannya. Dia lebih suka hidup dalam ketidakpastian daripada menghadapi kenyataan yang mungkin menghancurkannya.
Andra juga bukan tipe pria yang sabar. Sitha tahu itu sejak awal. Dia tipe yang cepat frustrasi, yang butuh hasil instan. Dan belakangan ini, dia kerja lebih keras. Ambil lembur, ambil proyek sampingan. Karena biaya pengobatan Sitha terus membengkak. Asuransi tidak cukup, mereka bahkan harus menguras tabungan untuk biaya pengobatan.
Berkali-kali Sitha melihat kelelahan di mata Andra. Dan rasa bersalahnya ikut bertambah berlipat-lipat.
Suatu malam, Sitha terbangun dan tidak bisa tidur lagi. Dia bangkit dari tempat tidur, duduk di meja kerjanya yang sudah lama tidak terpakai lalu membuka laptop untuk mengetik sesuatu.
Dear God,
Today, Your test feels heavier than ever.
Dia berhenti. Jari-jarinya gemetar di atas keyboard. Dia belum pernah berdoa lagi sejak lama. Karena setiap kali dia berdoa, tidak ada yang dikabulkan. Setiap kali dia berharap, dia hanya mendapat kekecewaan yang lebih dalam.
Orang-orang bilang pikiran positif adalah manifestasi. Tapi itu omong kosong. Tidak pernah berlaku untuknya. Yang ada malah membuat ekspektasinya melambung tinggi, hanya untuk jatuh lebih keras.
Dia menghapus tulisan itu, menutup laptop, lalu kembali ke tempat tidur.
Tapi pikirannya tidak berhenti. Dia terus menghitung skenario terburuk. Jika Andra benar-benar memutuskan untuk poligami, apa yang harus dia lakukan? Terima dengan syarat-syarat yang sudah dia sebutkan? Dua ratus juta, nafkah terus berjalan, tidak perlu bertemu lagi. Hanya di atas kertas.
Tapi apa itu adil untuk Andra dan keluarga barunya nanti? Sitha akan jadi antagonis dalam hidup mereka. Hambatan. Bayangan gelap yang terus mengikuti.
Dan yang paling menakutkan Sitha tidak yakin dia bisa melihat wajah Andra lagi kalau itu terjadi. Tidak saat dia tahu Andra tidur dengan orang lain. Tidak saat dia tahu ada perempuan lain yang bisa memberi apa yang tidak bisa dia berikan.
Tapi dia juga tidak bisa pergi begitu saja. Kelangsungan hidupnya bergantung pada Andra. Dia tidak punya penghasilan. Tidak punya tabungan. Tidak punya rencana pensiun. Kalau dia mandiri secara finansial, mungkin dia sudah minta cerai sejak lama. Hidup sendiri. Siapkan dana untuk panti jompo. Lebih tenang.
Tapi kenyataannya, dia juga terjebak.
Seminggu kemudian, Sitha mencoba membuka percakapan. Mereka sedang menonton TV, acara komedi yang tidak lucu.
"Kamu..." Sitha mulai. Suaranya pelan. "Kamu merasa terbebani nggak sama keadaan ini?"
Andra menoleh. Wajahnya bingung. "Maksudnya?"
"Aku sakit terus. Biaya banyak. Kamu kerja lebih keras. Aku nggak bisa ngapa-ngapain. Kamu nggak..." Dia menelan ludah. "Kamu nggak menyesal?"
Andra diam cukup lama. Terlalu lama. Dan dalam keheningan itu Sitha sudah tahu jawabannya.
"Aku capek," akhirnya Andra berkata. "Tapi bukan berarti aku menyesal nikah sama kamu."
"Tapi?"
"Tapi ya... kadang aku nggak tahu sampai kapan aku bisa kayak gini."
Sitha mengangguk pelan. Dia sudah tahu. Dia selalu tahu.
"Kalau kamu mau..." Sitha memaksa kata-kata keluar. "Kalau kamu mau nikah lagi, aku... aku ngerti."
Andra menatapnya, terkejut. "Kamu serius?"
"Aku serius. Tapi bukan cerai dan ada syaratnya. Nafkahku tetap jalan. Terus kita nggak perlu ketemu lagi. Dan..." Dia menarik napas. "Kamu nggak boleh publish apapun di sosmed soal keluarga barumu."
Andra terdiam. Wajahnya tidak terbaca.
"Maaf aku egois," Sitha melanjutkan. "Aku memang belum bisa lepasin kamu. Tapi seenggaknya, kamu masih punya pilihan untuk punya kebahagiaan lain kan?
"Sitha..."
"Tapi aku masih berusaha. Untuk sembuh dan lebih mandiri. Kalau saat itu tiba... aku janji akan biarin kamu pergi kalau kamu memang mau."
Andra mengusap wajahnya. "Aku nggak tahu harus bilang apa."
"Kamu nggak perlu bilang apa-apa sekarang. Aku cuma mau kamu tahu."
Mereka tidak melanjutkan percakapan itu. Tapi sesuatu berubah. Ada jarak baru di antara mereka. Jarak yang transparan tapi nyata.
Malam itu, Sitha duduk di balkon kecil apartemen mereka. Langit gelap tanpa bintang. Dia menyesap teh panasnya sambil melamun.
Dia bersyukur. Masih bisa makan tiga kali sehari. Tidur di kasur empuk. Kamar pakai AC. Ada keluarga yang masih support walaupun mungkin sudah mulai lelah.
Tapi rasa syukur dan kelelahan adalah dua hal yang berbeda. Dan kali ini dia merasakan keduanya sekaligus.
Dia ingat seseorang pernah berkata bahwa setiap nyawa yang diciptakan di dunia membawa tujuannya masing-masing. Kalau orang itu sudah tidak ada gunanya, maka nyawanya akan dicabut Tuhan. Tapi nyatanya dia masih hidup. Mungkin dia masih punya guna. Yah.. walaupun cuma jadi bahan ujian bagi orang-orang di sekitarnya.
Mungkin memang itu tujuannya diciptakan.
Kadang dia ingin menghilang. Mati. Meninggalkan dunia ini. Tapi kemudian dia takut. Bagaimana kalau tempat setelah kematian tidak lebih baik dari dunia ini?
Jadi apa yang harus dia lakukan?
Sitha menghabiskan teh di cangkirnya, lalu kembali ke kamar. Tempat di mana Andra sudah tidur.
Dia berbaring di samping suaminya, menatap langit-langit dengan pandangan yang mengawang.
Besok dia akan bangun lagi. Minum obat lagi. Mencoba bertahan lagi.
Karena itulah satu-satunya yang bisa dia lakukan.
Bertahan.
*END*
Cerpen ini didedikasikan untuk :
Cerpen GC Rumah Menulis
Salam 💕
PrettyDuck