"Dimana Gadis?" tanya Arjuna pada Hawa dan Salma kedua adiknya sebelum dia mendaratkan pantatnya di kursi menghadap meja makan.
"Dia sudah makan?" Tanya Arjuna lagi.
Tapi kedua adiknya, Hawa dan Salma bungkam, tak menjawab pertanyaan Arjuna soal Gadis.
Hawa masih fokus mengasihi bayinya, sedangkan Salma asik dengan ponsel ditangannya.
"Kenapa kalian diam?" suara Arjuna meninggi tanpa ia sadari. Kursi yang baru saja didudukinya bergeser sedikit, menggores lantai keramik.
Salma menarik napas panjang, tapi matanya tetap terpaku pada layar ponselnya.
Hawa hanya bisa mengelus kepala bayinya, untuk menenangkan dirinya sendiri, bukan hanya anaknya.
Arjuna memijit pangkal hidungnya.
"Salma, Hawa... Mas Juna tanya baik-baik, Gadis ada dimana?"
Hawa menggigit bibir, dengan wajahnya yang tertunduk.
"Mas... Gadis belum pulang sejak pagi," jawabnya lirih.
Arjuna merasakan darahnya naik ke kepala.
"Dan kenapa nggak ada yang kasih tau, Mas Juna?"
Salma mendengus, seraya mengangkat wajahnya.
"Mas Juna sibuk. Lagian... Gadis pergi sendiri. Bukan urusan kita lagi."
Mendengar ucapan Salma, karuan ia kaget, Arjuna menatapnya tajam.
"Apa maksud kamu bukan urusan kita? Gadis adik kita Sal!"
Salma membalas tatapan itu tanpa takut, walaupun suaranya sedikit bergetar.
"Dia bukan adik kita, Mas. Dia cuma... anak titipan. Ibu juga nggak pernah cerita siapa orangtuanya."
Arjuna terdiam...
Seakan seseorang menamparnya dengan sangat keras.
Salma melanjutkan, suaranya memanas, "Dan jangan pura-pura lupa Mas, sehari sebelum ibu meninggal, dia... anak itu yang bikin ibu drop! Gara-garanya dia kabur semalam suntuk, dan..."
"Sal!" potong Arjuna keras.
Hawa memejamkan mata, bayinya menangis lirih mendengar suara dengan nada tinggi itu.
Arjuna menarik napas panjang, mencoba menahan marah yang hampir meledak.
"Jangan pernah salahkan Gadis atas kepergian Ibu. Ibu emang sakit, Kamu tau itu.”
Salma mendengus lagi.
"Sakit, iya. Tapi stress juga mempercepat semuanya, Mas."
Arjuna merasakan dadanya sesak, Sejak kepergian ibu, rumah yang dulunya hangat sekarang seperti kehilangan atapnya. Segala permasalahan adik-adiknya kini seperti lubang besar yang tak bisa ia tutupi.
Hawa yang menikah karena terlanjur berbadan dua, suaminya tak ada dirumah karena kerja serabutan di luar daerah.
Salma yang baru saja di PHK dan semakin menjadi temperamental.
Dan Gadis... gadis kecil yang paling rapuh, paling pendiam dan paling mudah disalahpahami.
"Kalian bikin dia pergi lagi?"
Suara Arjuna hampir bergetar.
Hawa akhirnya mengeluarkan suaranya, walaupun dengan sangat pelan.
"Mas... pagi tadi, Salma memarahi Gadis. Katanya Gadis harus pergi dari rumah ini. Aku liat Gadis hanya bawa ransel kecil... terus dia pergi."
Dengan cepat, Arjuna menoleh pada Salma, "Kenapa kamu lakuin itu,Sal?"
Salma menahan airmata yang nyaris jatuh, tetapi dia keras kepala. "Karena aku muak, Mas! Setiap orang nanyain kematian ibu, mereka selalu liat ke arah Gadis. Dan jujur... aku juga nggak tahan liat dia ada dirumah ini."
Arjuna menatap adiknya itu lama, Akhirnya Salma menunduk.
Hawa menambahkan, dengan nada lebih hati-hati, "Katanya Gadis, dia mau kerumah temannya. Tapi aku takut, Mas. Soalnya... aku pernah denger Gadis telepon seseorang, dan suaranya itu suara laki-laki. Kasar, suka ngatur juga Mas. Gadis kayak ketakutan tapi juga selalu nurut."
"Namanya siapa?" tanya Arjuna buru-buru.
"Martin," Jawab Hawa. "Gadis sempat cerita sedikit. Katanya Martin itu orangnya cepat marah, tapi dia ngertiin Gadis. Katanya juga Gadis butuh seseorang yang bisa ngatur hidupnya."
Arjuna membeku
Itu ciri orang Dengan kecenderungan NPD, narsistik.
Ia pernah bertemu banyak teman seperti itu sewaktu kuliah.
Orang yang manis diluar, tapi manipulatif, memutarbalikkan logika, membuat orang merasa salah padahal enggak.
Dan Gadis... yang tak pernah merasa cukup dicintai adalah korban paling mudah.
Dengan sedikit kasar, Arjuna menyeret kursinya dan berdiri.
"Aku cari Gadis. Aku nggak bakal biarin dia tinggal sama laki-laki kayak gitu."
Salma menatapnya, takut sekaligus bingung. "Mas Juna mau kemana?" tanyanya.
Arjuna meraih kunci motor.
"Ke tempat Martin. Mas Juna mau bawa Gadis pulang. Rumah ini mungkin lagi nggak kondusif tapi... Gadis tetap adikku."
Dengan masih menggendong bayinya, Hawa berdiri.
"Mas Juna hati-hati. Martin... bukan tipe orang yang mau diajak bicara baik-baik."
Arjuna menatap kedua adiknya tegas.
"Mas Juna udah kehilangan ibu, Mas Juna nggak mau kehilangan Gadis juga."
Lalu, Arjuna melangkah keluar, menghajar angin malam dengan jantung yang berdetak cepat, membayangkan adik kecilnya berada dirumah seorang laki-laki yang bisa menghancurkannya dari dalam.
Dan untuk pertama kalinya setelah kepergian ibunya, Arjuna merasakan ketakutan yang benar-benar dalam.
.
.
Suasana malam makin pekat, saat Arjuna menghentikan motornya didepan rumah kontrakan yang di tunjukkan tetangga Martin. Rumah kecil dengan cat mengelupas itu tampak gelap, yang ada hanya cahaya temaram dari jendela belakang.
Arjuna menelan saliva nya susah payah, lalu mengetuk pintu keras-keras.
Tok Tok Tok
"Gadis!" teriaknya.
Tapi tak ada jawaban.
Ia mencoba lagi, lebih keras.
"Gadis! Ini Mas Juna!"
Beberapa detik kemudian, pintu terbuka sedikit. Bukan Gadis melainkan lelaki berambut cepak dengan mata merah dan tersenyum miring, Martin!
"Santai, Mas. Rumah orang diketok kayak mau gerebek aja nih," katanya sambil menyandarkan bahu di pintu.
"Mana Gadis?" tanya Arjuna menahan diri.
Martin tertawa kecil. "Itu. Baru juga datang, udah mau dibawa pulang. Gadis bukan bocah lagi, Mas!"
Arjuna mengepalkan tangannya.
"Martin," ucapnya rendah. "Aku nggak mau ribut, aku cuma mau adikku."
Martin menatap Arjuna tajam dan dingin.
"Adik? Atau titipan yang kalian nggak mau? Jangan pura-pura peduli deh sekarang."
Arjuna hampir kehilangan kesabarannya, "Mana Gadis?"
Martin membuka pintu sedikit lebih lebar, dan Arjuna melihat Gadis duduk di sofa kecil. Matanya bengkak, wajahnya pucat.
Tangan Gadis gemetar memegang ujung sweater nya.
Ada bekas tangan di lengannya warnanya kemerahan jelas sekali terlihat, seperti baru saja dilepas paksa.
Arjuna langsung masuk tanpa menunggu izin.
Martin mencegahnya. Tapi Arjuna mendorong Martin ke dinding. "Sentuh aku kalau berani!”
Gadis berdiri terburu-buru, "Mas... jangan. Udah cukup."
Arjuna mendekati adiknya, berjongkok didepan Gadis.
"Kamu diapain sama dia?" tanyanya parau.
Gadis menggeleng cepat.
"Nggak apa-apa, Mas. Beneran kita cuma..."
"Jangan bohong" potong Arjuna matanya menatap bekas merah di lengan Gadis.
Martin menyela dari belakang, nada suaranya sinis. "Mas nya lebay. Kita cuma ngobrol. Gadis emang kadang suka drama sih!"
Arjuna bangkit perlahan, menatap Martin dengan kemarahan yang selama ini ia simpan sejak Ibunya meninggal.
"Ngobrol apa sampe bikin tangan adikku kayak gitu?"
Martin mendengus. "Dia mau pergi woilah... Aku tahan sedikit. Emosional aja sih. Dia itu harus belajar nurut kalau mau tinggal sama aku."
Ucapan Martin itu tentu saja membuat emosi Arjuna seolah meledak dari dalam.
"Tahan?" Arjuna melangkah mendekati Martin, suaranya rendah tapi tajam.
"Kamu pikir kamu siapa, hah? Dia itu anak yang baru kehilangan ibunya! Dia nggak butuh orang yang ngerendahin dia! Apalagi pria kayak...."
Arjuna terdiam tiba-tiba. Amarahnya menggelegak. Ia mendekati Martin nyaris menempel.
"Kamu hampir nyentuh dia kan?" gumam Arjuna. "Aku bisa liat dari cara kamu bicara.. Dari cara kamu mandang adikku!"
"Kalau iya... kenapa? Dia dirumah ku, Dia yang datang sendiri." Martin menjawab dengan senyum memuakkan.
Seketika itu juga, Arjuna memukul Martin tanpa pikir panjang. Martin terhuyung menabrak kursi. Gadis menjerit kecil.
Arjuna menarik kerah baju Martin, menahannya di dinding.
"Kalau kamu sentuh dia lagi, atau bikin dia ketakutan, aku pastikan kamu nggak bakal bisa berjalan dengan tenang di kampung ini."
Martin berusaha menepis tapi cengkeraman Arjuna terlalu kuat.
"Gadis BUKAN milik kamu," kata Arjuna. Rahangnya mengeras.
"Dia adikku. Dan aku akan melindungi dia sampai kapanpun!"
Arjuna melepaskan Martin dengan kasar, lalu menoleh pada adiknya.
"Ayo pulang!" ajaknya lembut.
Gadis terlihat ragu, matanya berkaca-kaca. "Mas, Aku takut. Kalau aku pulang, Salma..."
"Aku yang hadapi semua," potong Arjuna lembut. "Kamu nggak aman di sini, Dek. Kamu nggak salah. Kamu enggak pernah salah."
Gadis menunduk, air matanya jatuh tanpa suara. Kemudian ia bangkit perlahan dan berjalan mendekati Arjuna.
Martin akan bersuara, tapi urung saat Arjuna menatapnya dengan tatapan tajam.
Arjuna merengkuh pundak adiknya yang gemetar, dan membawanya keluar meninggalkan kontrakan Martin.
Gadis menyembunyikan wajah di dada Arjuna, menangis lirih.
"Mas..." suaranya pecah.
“Aku minta maaf.” bisiknya lirih teredam tangis, Arjuna mengeratkan rengkuhannya di pundak Gadis, mengangguk samar.
.
.
Pintu rumah terbuka pelan, Arjuna berjalan masuk terlebih dahulu, memastikan situasi aman sebelum memberi isyarat pada Gadis untuk mengikutinya.
Lampu ruang tengah menyala, Hawa sedang menidurkan bayinya di sofa.
Salma duduk disampingnya, masih dengan ponsel ditangan, tapi tatapannya kosong seperti baru saja menangis diam-diam.
Begitu melihat Gadis dibelakang Arjuna, Salma sontak berdiri.
"Kok... dia balik ke sini, Mas?" tanya Salma dengan suara lebih tajam.
Gadis mengerutkan tubuhnya secara refleks, menunduk dalam-dalam.
Arjuna berdiri sedikit didepan, seolah menjadi tameng nya.
Hawa bangkit dengan hati-hati, mengayun bayinya sambil melangkah mendekat. Matanya melebar saat melihat bekas merah di lengan Gadis.
"Ya Allah, Gadis... ini kenapa Dek? siapa yang nglakuin ini?" suaranya Hawa bergetar.
Gadis mundur setapak, "Nggak Mbak, nggak apa-apa."
"Martin." jawab Arjuna sebelumnya Hawa menanyai lebih jauh.
Hawa menutup mulut menahan teriakan.
Salma memutar bola matanya seolah tak percaya. "Lebay. Martin cuma temennya, kan? Gadis aja yang drama..."
"Salma!" Arjuna menatap adiknya tajam.
Namun Gadis menyela, suaranya kecil. "Benar kok, Mbak Sal... Aku cuma...."
"Kamu nggak usah belain siapapun, Dek." potong Arjuna, kali ini dengan nada lembut pada Gadis.
"Kalau aku telat sedikit saja, pria brengsek itu sudah menyentuh kamu."
Suasana langsung membeku.
Hawa duduk perlahan, wajahnya pucat. "Astaga....Gadis... Kamu..."
Air matanya mulai menetes, terlepas siapa Gadis, bukan adik kandungnya. Tapi buat Hawa, Gadis itu sudah seperti Hawa adiknya sendiri. Karena Gadis sudah dari bayi tinggal bersama mereka.
Hawa ingat, saat itu ibunya masih berduka karena kepergian Ayahnya. Tapi... sejak Ibunya menemukan Bayi yang ditinggalkan di depan tokonya, dan merawatnya, perlahan duka di wajah ibunya menghilang.
Sejenak Salma tertegun, dia menatap Gadis. Dan untuk pertama kalinya sejak ibu mereka tiada, tatapan Salma tak berisi kebencian tapi tatapan terkejut, rasa bersalah dan ketakutan.
"Dia yang datang sendiri kerumah laki-laki itu kan. Bukan salah aku!"
Arjuna mendekat selangkah.
"Kamu yang usir dia pagi tadi, Sal. Kamu sendiri yang ngomong Gadis harus pergi dari rumah ini."
Salma menggigit bibir, wajahnya memerah. "Aku cuma marah, Mas! Semua orang nyalahin dia soal kepergian ibu. Rumah ini jadi berantakan. Aku di PHK, Hawa punya bayi, Kamu sibuk kerja. Dan Gadis... dia cuma diem! Dia paling muda tapi semua orang... semua orang selalu peduli sama dia!"
Salma akhirnya terisak, suaranya pecah dalam emosi yang selama ini ia tekan.
"Aku juga capek, Mas! Aku juga kehilangan ibu..."
Hawa memandang kearahnya, ikut menangis.
"Sal, kita semua kehilangan ibu, tapi jangan sampai kita kehilangan satu sama lain juga."
Gadis yang sejak tadi menunduk, perlahan mengangkat wajahnya yang basah air mata. Suaranya gemetar.
"Mbak... Aku nggak bermaksud bikin ibu sakit. Aku juga sayang ibu. Aku sayang kalian."
Mata Gadis kembali berkabut.
"Aku pergi karena aku pikir, karena kalian nggak mau aku disini.”
Arjuna memeluk pundak Gadis.
Salma menghapus air matanya dengan kasar, seolah menolak terlihat lemah. Tapi kakinya goyah, dan wajahnya luluh saat melihat langsung luka merah di lengan Gadis.
"Kamu... Kamu beneran hampir...?" suaranya tercekat.
Gadis mengangguk kecil.
Salma akhirnya jatuh berlutut di karpet, menangis lebih keras dari siapapun yang ada diruangan itu.
"Maafkan Mbak, Gadis. Maaf... Aku... Aku ngomong jahat, Aku usir kamu, aku beneran..." Salma tak bisa melanjutkan ucapannya.
Gadis refleks bergerak maju, berniat menolong. Tapi terhenti, ia takut.
Hawa perlahan memegang lengan Salma, menguatkan.
Arjuna berkata dengan tenang namun tegas.
"Mulai malam ini, nggak ada lagi yang usir siapapun dari rumah ini. Kalau ada masalah kita hadapi sama-sama."
Gadis memeluk dirinya sendiri, matanya merah. "Mas, aku boleh tinggal di sini lagi?"
Arjuna menatap tiga adiknya, lalu berkata tanpa ragu.
"Kamu nggak pernah berhenti jadi bagian dari rumah ini, Dek!"
Gadis langsung menubruk Arjuna, disusul Salma dan terakhir Hawa.
Arjuna memejamkan matanya, membiarkan tiga adiknya, memeluknya.
Dan untuk pertama kalinya sejak banyak luka yang muncul, ruang tengah itu terisi lagi oleh sesuatu yang mirip keluarga, walaupun belum sempurna.
S E L E S A I