Setiap senja aku dan dira selau duduk di tepi danau, sambil melihat keindahan senja, Dira menatap langit sambil berkata.
“ kalau suatu hari aku pergi ingatlah senja, karena di sanalah aku akan menunggu mu.
Waktu itu aku hanya tertawa kecil,
Aku dan dira memutuskan untuk pulang karena hari sudah mulai petang setelah aku mengantar Dira, Dira berkata padaku besok aku dan keluargaku akan pergi ke jakarta untuk liburan.
Besok pun tiba saat bangun aku mendapat kabar bahwa dira dan keluarga nya mengalami kecelakaan dan tidak ada yang selamat. Tak pernah terpikir bahwa kepergian itu nyata secepat dan sesakit itu. Sebuah kecelakaan mengambil nya dariku, meninggalkan ruang kosong yang tak dapat di isi oleh siapa pun.
Setiap senja, aku selalu pergi ke danau yang sama, sambil membawa surat surat yang belum sempat aku sampaikan kepada dira. Surat tentang rindu, permintaan maaf dan tentang hal-hal kecil lainya yang dulu tak sempat aku katakan.
Hari ini aku menulis surat terakhir sambil melihat senja, aku berbisik pelan.
“ Dir aku akan berusaha merelakan tapi tenang aku tak akan lupa, karena setiap kali aku melihat senja aku merasa sedang berada di samping mu”
Aku berjalan pulang menuju rumah dan melihat rumah mu rumah yang dulu ramai, sekarang rumah itu menjadi terbengkalai kenangan kita saat di dalam rumah itu mengingatkan ku kepada senyumanmu.
Aku lanjut pulang kerumah ku dan melihat matahari sudah sepenuhnya terbenam, tapi di dalam dadaku masih ada cahaya kecil cahaya yang tak akan pernah padam cahaya yang terbuat dari luka tapi tak lagi menyakitkan.
Sesampainya di rumah aku langsung menuju ruang makan, saat aku sedang makan ibu ku bilang nak kita akan pergi ke jakarta dan tinggal di sana aku hanya mengangguk sambil berkata di dalam hati,dir aku akan pergi ke jakarta.... meninggalkan kenangan yang bahkan belum sempat aku sembuhkan, selesai makan.
Aku masuk ke kamar dan melihat ke jendela dir aku akan pergi dari kota ini menuju kota yang ingin kau tinggali,aku memutuskan untuk tidur saat tidur aku bermimpi melihat dira dan keluarganya menggunakan pakaian putih putih dan mengucap kan terimakasih kepada ku atas semua yang kulakukan.
Kini aku sadar setiap luka mempunyai senjanya sendiri. Dan setiap senja menyimpan sepotong kisah yang tak harus di miliki cukup untuk di kenang.
Sejak kepindahan itu, aku tinggal di Jakarta—kota yang pernah menjadi impian Dira. Kota yang dulu hanya ia sebut dengan mata berbinar, kini menjadi tempat di mana aku menanggung kenangan yang tidak pernah selesai.
Jakarta tidak pernah benar-benar menyambutku. Langitnya terlalu penuh, jalannya terlalu bising, dan malamnya terlalu terang untuk seseorang yang membawa luka. Setiap kali aku melewati kerumunan, aku mencari-cari sosok Dira yang tidak mungkin kutemukan. Kadang aku melihat sekilas bayangannya—di halte bus, di jembatan penyeberangan, di bawah gedung tinggi—padahal itu hanya permainan rindu.
Ada malam-malam tertentu ketika suara kota mereda, dan semua kenangan menyerbu tanpa permisi. Pada malam-malam seperti itu, aku membuka kembali surat terakhir yang kutulis untuknya. Surat yang tidak pernah terkirim, tapi selalu kutemukan dalam benakku seolah-olah Dira sedang membacanya.
Aku sering naik ke atap gedung kosku. Dari sana aku bisa melihat langit Jakarta yang samar-samar menyisakan warna jingga. Di tempat itulah aku merasa paling dekat dengannya. Kadang aku berbicara pada langit, seperti orang yang kehilangan arah.
“Dir, kau bisa dengar aku, kan?
“Aku sudah di kota yang kau impikan, tapi rasanya kosong sekali tanpa kau.”
Angin malam hanya lewat tanpa jawaban.
Suatu hari, saat aku berjalan pulang dari kantor, hujan turun tiba-tiba.
Orang-orang berlarian meneduh, tapi aku tidak. Aku terus berjalan di bawah hujan, membiarkan semuanya jatuh di wajahku—air hujan, air mata, entahlah. Mungkin memang tidak ada bedanya.
Di tengah derasnya hujan itu, aku mendengar seseorang memanggilku. Suara lembut, mirip Dira ketika memintaku menemaninya ke danau. Aku menoleh spontan, tapi tidak ada siapa pun. Yang ada hanya keramaian yang bergerak tanpa peduli.
Saat itu aku sadar, kesedihanku mulai menjelma menjadi hal-hal yang tidak seharusnya kulihat. Luka itu terlalu lama kupeluk.
Malamnya aku menulis lagi. Bukan surat, tapi semacam pengakuan—sesuatu yang selama ini kutahan.
“Dir… aku marah.”
Kalimat itu kutulis dengan tangan bergetar.
“Bukan padamu. Pada takdir yang mengambilmu tanpa memberi waktu untuk kita berpamitan.”
Air mataku jatuh, membentuk noda yang menghapus sebagian tinta.
“Jika aku tahu hari itu adalah senja terakhir kita, aku tidak akan tertawa. Aku akan memelukmu. Aku akan mendengarkan setiap kata yang ingin kau ucapkan.”
Kertas itu kusimpan di bawah bantal—seperti sesuatu yang ingin kubuang, tapi tidak tega.
Beberapa minggu kemudian, aku kembali bermimpi.
Dalam mimpi itu, Dira berdiri di danau yang biasa kami datangi. Senjanya indah, tapi matanya tampak sayu.
“Aku tidak ingin kau terus tenggelam dalam luka,” katanya pelan.
“Aku tetap mencintaimu, tapi kau harus hidup tanpa menunggu aku kembali.”
Aku mencoba mendekatinya, tapi semakin aku melangkah, semakin jauh ia terlihat.
Sebelum semuanya menghilang, ia sempat berkata:
“Jangan tinggalkan hidupmu hanya untuk merawat kepergianku.”
Aku terbangun dengan dada sesak, seolah mimpi itu nyata.
Sejak hari itu, aku tidak lagi menulis surat untuk Dira.
Bukan karena sudah tidak rindu, tapi karena aku tahu rindu tidak harus selalu dituangkan. Ada rindu yang cukup disimpan. Ada luka yang cukup diterima, meski tak akan pernah benar-benar sembuh.
Tapi satu hal tidak pernah berubah:
Setiap kali senja datang—di danau, di kota kecil itu, atau di langit Jakarta yang bising—aku tetap melihatnya di sana.
Tidak lagi menunggu…
Tapi menjaga kenangan yang pernah membuatku merasa pulang
Musim terus berganti, tapi hidupku seolah berhenti di hari ketika Dira pergi.
Sementara orang-orang di sekitarku terus berlari mengejar impian, aku masih terjebak di persimpangan:
antara menerima atau tetap berharap pada sesuatu yang tak mungkin kembali.
Jakarta makin ramai, tapi hatiku tetap sepi.
Kadang aku melihat pasangan berjalan sambil tertawa, saling menggenggam tangan. Setiap kali itu terjadi, dadaku terasa dicekik.
Bukan karena iri… tapi karena aku tidak punya kesempatan untuk merasakan itu bersama Dira.
Kami terlalu cepat dipisahkan, bahkan sebelum sempat menjadi “kita” yang utuh.
Suatu sore, sesuatu yang aneh terjadi.
Aku sedang berada di halte bus, menunggu pulang dari kantor.
Langit Jakarta sedang menampilkan senja yang jarang—jingga pekat yang menyala seperti lukisan.
Di antara kerumunan, aku melihat seseorang memakai baju yang persis milik Dira. Warna biru muda dengan pita kecil di belakang.
Rambutnya tergerai, langkahnya pelan, dan cara ia berdiri… sangat mirip Dira.
Jantungku berdetak keras.
Aku memanggil pelan,
“Dira…?”
Sosok itu menoleh.
Dan meski wajahnya bukan wajah Dira, aku mendadak kehilangan napas.
Tanpa sadar, mataku berkaca-kaca.
Orang itu melihatku bingung, lalu pergi begitu saja.
Ketika bus tiba, aku tidak naik.
Aku terduduk di bangku halte, menutup wajah dengan kedua tangan
Aku sadar…
Aku mulai kehilangan diriku sendiri.
Malamnya, di kamar yang sempit itu, aku menangis untuk pertama kalinya setelah sekian lama.
Bukan menangis lirih.
Tapi menangis seperti seseorang yang akhirnya menyerah—berusaha mengambil napas tapi tidak bisa. Seluruh tubuhku bergetar.
Aku meraih foto Dira yang kusimpan dalam dompet. Foto yang diambil saat kami duduk di danau, sebelum senja terakhir kami bersama.
“Aku tidak kuat, Dir…” bisikku.
“Aku benar-benar tidak kuat.”
Dalam keheningan itu, aku merasakan sesuatu yang tidak pernah kurasakan selama ini: bukan hanya kehilangan… tapi ketakutan bahwa aku benar-benar tidak akan bisa merelakannya seumur hidupku.
Dan untuk pertama kalinya, aku mengakui kenyataan itu tanpa berpura-pura kuat.
Beberapa hari kemudian, aku memutuskan kembali ke kota lamaku.
Bukan untuk tinggal, tapi untuk mengunjungi tempat yang menyimpan sebagian diriku yang hilang.
Ketika sampai di danau tempat kami dulu duduk, airnya tampak lebih tenang dibandingkan hatiku. Angin berembus lembut, membawa aroma tanah basah yang dulu selalu disukai Dira.
Aku duduk di tempat yang sama seperti dulu.
Langit perlahan berubah warna.
Jingga kembali turun menutupi danau.
Aku membuka surat-surat yang pernah kutulis untuk Dira. Kertas-kertas itu sudah menguning sedikit, beberapa tintanya memudar.
Aku membaca satu per satu sampai suara-suara masa lalu terasa begitu dekat.
“Terlalu banyak hal yang belum sempat kukatakan, Dir.”
Suaraku parau.
“Aku datang ke sini bukan untuk melepasmu… tapi untuk menerima bahwa aku harus tetap berjalan.”
Angin senja menggoyangkan permukaan air, menciptakan gema lembut. Seolah-olah alam sedang mendengar.
Kemudian sesuatu terjadi: bukan keajaiban, bukan mimpi—hanya sebuah kesadaran yang akhirnya muncul.
Selama ini aku menunggu Dira di senja, padahal Dira sudah menunggu jauh lebih dulu—bukan di langit, tapi di dalam setiap luka yang mengajariku untuk bertahan.
Luka itu yang membuatku belajar melihat hidup, bukan hanya kehilangan.
Di tepi danau itu, aku menutup mata.
Untuk pertama kalinya, aku membiarkan senja menyentuhku tanpa rasa sakit yang menusuk.
“Terima kasih, Dir…”
“Untuk hadir meski hanya sebentar, dan untuk tinggal di hatiku lebih lama dari yang pernah kita rencanakan.”
Air mataku jatuh tanpa kutahan lagi.
Bukan air mata kehilangan kali ini…
Tetapi air mata seseorang yang akhirnya mulai berdamai dengan takdir.
Malam itu setelah dari danau, aku kembali ke penginapan kecil di dekat jalan utama kota. Lampu-lampu jalanan terlihat seperti bintang yang jatuh satu per satu. Kota ini masih sama, tetapi aku bukan lagi orang yang sama ketika meninggalkannya.
Aku duduk di tepi tempat tidur sambil menggenggam foto Dira. Senyum Dira di foto itu seakan ikut menatapku—bukan dengan bahagia, tapi dengan kesedihan yang kutinggalkan terlalu lama.
“Aku kembali, Dir…” ucapku pelan. “Tapi kamu tetap di sini, di masa yang tidak bisa kuulang.”
Rasanya seperti berbicara pada bayangan sendiri.
Aku memejamkan mata. Dan anehnya, malam itu Dira terasa begitu dekat, seperti ada di ruangan itu. Aku bahkan bisa merasakan wangi rambutnya, wangi bunga melati yang dulu sering dia pakai.
Aku mendongak perlahan.
“Jika aku punya satu kesempatan lagi… hanya satu…” bisikku, “Aku ingin sempat mengatakan betapa berharganya kamu untukku.”
Keesokan paginya, aku berjalan ke makam Dira.
Udara pagi begitu dingin, menusuk seperti kenangan yang tidak diundang.
Makam Dira sederhana, dikelilingi bunga yang mulai layu. Mungkin bunga-bunga itu pun lelah berusaha terlihat hidup.
Aku berlutut, menatap nama Dira yang terukir halus di batu nisan.
Jari-jariku gemetar.
“Dir,” suaraku retak, “aku selalu bertanya-tanya… kalau hari itu aku memintamu untuk tidak pergi ke Jakarta… apakah semuanya akan berbeda?”
Angin lewat pelan, seakan tidak ingin mengganggu.
“Aku tahu jawabannya,” lanjutku, “tapi rasanya tetap sakit.”
Kudongakkan kepala ke langit.
Awan bergerak lambat, seperti waktu yang malas berjalan.
“Kadang aku berharap… kamu tidak pergi terlalu jauh.
Bukan ke Jakarta.
Bukan ke tempat yang tidak bisa aku jangkau.”
Suaraku pecah.
Air mata jatuh begitu saja, tanpa bisa dihentikan.
“Dir… aku mencintaimu,”
Untuk pertama kalinya aku berani mengucapkannya.
“Aku mencintaimu sejak lama… hanya saja aku terlambat mengatakannya.”
Kata-kata itu hilang ditelan angin, tapi bagiku, itu adalah kejujuran paling berat dalam hidup.
Aku duduk lama di sana, sampai matahari mulai naik tinggi. Setiap detik terasa seperti menulis ulang luka yang sama, tapi aku tidak pergi. Meninggalkan makam Dira rasanya seperti mengkhianati seseorang yang pernah memberiku dunia.
Saat akhirnya aku berdiri, aku merasakan sesuatu—bukan keajaiban, bukan suara gaib, hanya rasa hangat yang tiba-tiba menyentuh dadaku.
Seakan-akan Dira berkata, “Sudah cukup. Kamu boleh pergi. Aku tidak ingin kamu terluka selamanya.”
Aku menghela napas panjang.
Pelan.
Berat.
Dan untuk pertama kalinya, aku membiarkan napas itu pergi sepenuhnya.
Dalam perjalanan pulang, aku melewati danau sekali lagi. Senja belum turun, tapi aku dapat membayangkan warna jingganya kelak.
Warna yang selalu menyakitkan, tapi kini… tidak lagi menenggelamkanku.
Aku duduk sebentar.
Angin menggerakkan permukaan air seperti seseorang yang sedang mengusap rambutku perlahan.
“Dir,” kataku lirih, “aku akan melangkah. Tapi aku tidak meninggalkanmu. Kamu akan tetap jadi bagian terbaik dari hidupku.”
Danau itu memantulkan langit yang cerah.
Untuk pertama kalinya, aku tidak menangis.
Aku hanya menatap ke depan…
Meski sebagian hatiku masih tinggal di masa lalu bersama Dira.
Hari itu senja turun dengan warna yang tidak biasa—lebih pekat, lebih gelap, seolah langit ikut menahan air mata.
Aku kembali duduk di tepi danau, tempat di mana semua cerita bermula… dan tempat di mana semuanya harus berakhir.
Surat terakhir untuk Dira kugenggam di tangan. Kertasnya lembut, hampir lembab karena terlalu sering kusentuh.
Aku membacanya sekali lagi, perlahan, seperti membaca sesuatu yang tak akan sempat kubaca esok hari.
“Dir… aku lelah. Bukan karena hidup menyakitkan, tapi karena aku menjalaninya tanpamu.”
Angin senja mengusap wajahku, seolah ingin menenangkan, seolah berkata
“jangan pergi”. Tapi hatiku sudah lama hilang sejak Dira tiada.
Aku hanya bertahan karena janji pada diriku sendiri:
untuk suatu hari kembali ke tempat ini, mengakhiri segala rasa yang tak pernah sembuh.
Aku berdiri di tepi danau, tepat di tempat Dira dulu suka duduk. Langit mulai berubah merah tua. Air danau berkilau, seperti menyimpan bayangan wajah seseorang yang aku rindukan.
“Aku sudah mencoba, Dir…” bisikku. “Tapi aku tidak pernah benar-benar kembali hidup.”
Air mataku jatuh, tapi kali ini terasa ringan.
Bukan air mata kehilangan—
Melainkan air mata seseorang yang akhirnya pulang.
Malam itu, ketika gelap mulai turun, aku melangkah perlahan ke dalam air danau.
Setiap langkah terasa seperti kembali ke rumah. Air yang menyentuh kulitku dingin, tapi entah kenapa terasa hangat, seperti genggaman tangan Dira.
“Dir… aku datang.”
Ketika air mencapai dadaku, angin berhenti.
Hening.
Sunyi seperti dunia ikut menutup mata.
Aku menatap langit untuk terakhir kalinya—warna jingga yang perlahan ditelan malam.
Lalu aku melepaskan napas panjang, napas terakhir yang membawa seluruh rindu, seluruh luka, seluruh cinta yang tidak pernah sempat menjadi utuh.
Tubuhku tenggelam perlahan, tanpa suara.
Danau itu memeluk ku dengan lembut, seperti dira memeluk ku kembali setelah begitu lama menunggu
GELAP.
HENING.
DAMAI.
Tubuhku memang tenggelam… namun bukan menuju akhir seperti yang kupikirkan.
Ada sesuatu di bawah sana—bukan cahaya, bukan suara, bukan pula sosok Dira—melainkan tarikan lembut, seolah danau menahan keputusan yang kubuat.
Air yang tadi terasa seperti pelukan berubah menjadi genggaman yang menahan. Bukan menolak, tapi menyadarkan.
Dalam gelap itu, aku tiba-tiba teringat sesuatu yang selama ini kututup-tutupi dari diriku sendiri:
Dira tidak pernah ingin aku menyusulnya. Yang ia inginkan hanyalah aku hidup—bahkan ketika hidup tampak mustahil.
Di antara desah air dan detak jantung yang mulai melambat, samar-samar terdengar suara… entah dari luar atau dari dalam kepalaku.
> “Kamu belum selesai.”
Tiba-tiba seseorang menarik lenganku. Kuat. Hangat. Nyata.
Aku terbatuk ketika kepalaku muncul di permukaan, udara masuk ke paru-paru seperti amarah pertama seorang bayi yang enggan dilahirkan.
Di tepi danau, lampu-lampu dari rumah warga menari di permukaan air.
Siluet seorang lelaki—entah siapa—berlutut di tepi, napasnya terengah setelah menarikku keluar.
“Apa yang kau lakukan?” katanya dengan suara bergetar.
“Kau bukan cuma milik kenangan. Kau masih milik dunia.”
Aku terdiam. Dingin. Gemetar. Tidak percaya aku kembali.
Langit telah benar-benar gelap, tapi untuk pertama kalinya sejak kepergian Dira…
aku merasa malam tidak ingin kehilangan aku.
---
Lelaki itu masih berlutut di tepi danau ketika aku mencoba duduk.
Air menetes dari rambutku, membuat bayanganku sendiri tampak rapuh di permukaan yang bergetar pelan.
“Kau… siapa?” tanyaku dengan suara serak.
Ia tidak langsung menjawab. Hanya menatapku lama, seolah sedang menilai apakah aku masih punya alasan untuk tetap berada di dunia ini.
“Aku seseorang yang juga pernah hampir hilang,” katanya akhirnya, pelan.
“Seseorang menarikku kembali waktu itu. Jadi… ini giliranku.”
Aku memandangnya lama, mencoba mencari makna di balik kata-katanya. Namun yang kutemukan hanyalah sepasang mata yang tahu betul rasa hampa yang selama ini kupanggul.
“Kau tidak mengerti,” bisikku. “Dira adalah… segalanya.”
Ia menunduk, memungut surat yang tadi jatuh dari tanganku. Kertas itu basah, tintanya mulai meleleh seperti ingin menghapus dirinya sendiri.
“Aku mengerti,” katanya, suaranya lebih lembut.
“Tetapi kadang… cinta yang hilang bukan alasan untuk hilang bersama.”
Aku memalingkan wajah. Kata-katanya menusuk, tapi bukan karena salah—justru karena terdengar benar, terlalu benar, seperti kebenaran yang selama ini kuhindari.
“Kenapa kau peduli?” tanyaku, hampir marah.
“Tadi kau bahkan tidak ada.”
Lelaki itu tersenyum tipis. “Aku sudah lama ada di sini. Hanya saja… baru malam ini kau melihatku.”
Kalimat itu membuatku terdiam. Ada sesuatu di balik suaranya—sesuatu yang terasa akrab tanpa pernah kukenal.
Angin malam mulai mengusap kulitku,
mengembalikan sedikit rasa yang hilang. Dari kejauhan, suara jangkrik dan desir dedaunan terdengar seolah alam kembali bernapas setelah menahan napas terlalu lama.
“Ayo,” katanya sambil berdiri dan mengulurkan tangan.
“Kau kedinginan. Dan danau ini… bukan tempat mengakhiri kisah. Ini tempat memulai ulang.”
Aku menatap tangan itu. Lama. Ragu. Takut.
Tapi akhirnya… aku meraihnya.
Dan ketika jariku bersentuhan dengan telapak tangannya, ada sesuatu yang aneh—sebuah kehangatan yang tidak seharusnya dimiliki orang asing.
Seolah… aku pernah merasakannya.
Seolah… aku pernah mengenalnya.
Aku mendongak menatap wajahnya, dan untuk sekejap, hanya sekejap, siluet lelaki itu berubah—seperti bayangan seseorang yang sangat kusayang.
“Siapa sebenarnya kau…?” tanyaku lagi, nyaris berbisik.
Ia tersenyum samar, matanya memantulkan cahaya dari permukaan danau.
“Aku bukan Dira,” katanya.
“Tapi dia tidak ingin kau menyusulnya. Dan… mungkin dia ingin seseorang menemanimu kembali pulang."
---
Aku menatap lelaki itu lebih dekat. Sorot matanya, cara ia berdiri, caranya menahan dingin tanpa gelisah—semua terasa aneh. Terlalu akrab. Terlalu mirip sesuatu yang sudah lama hilang dalam ingatanku.
“Apa maksudmu… Dira ingin seseorang menemani aku pulang?” tanyaku, suaraku seperti retakan di kaca.
Ia menghela napas pelan, lalu menatap danau, seolah mencari kata-kata di permukaan air.
“Aku tidak di sini karena kebetulan,” katanya.
“Dan aku tidak menarikmu dari air hanya karena aku ingin menolongmu.”
Aku merasakan jantungku mengetuk dada. Ada sesuatu yang merayap dari punggungku menuju tengkuk—campuran takut dan harap yang tidak seharusnya ada bersamaan.
“Aku ada di sini… karena Dira memintaku.”
Dunia seakan berhenti bergerak.
“Apa…?” suaraku nyaris tidak terdengar.
Ia menatapku lagi. Kali ini tanpa senyum, tanpa keraguan—hanya kejujuran yang terasa berat.
“Aku orang terakhir yang bersama Dira sebelum ia pergi.”
Langit tiba-tiba terasa jauh. Danau terasa makin dalam. Suara malam berubah menjadi bisikan yang tak bisa kupahami.
“Aku orang yang duduk di sampingnya di rumah sakit.”
“Aku orang yang mendengar kata-kata terakhirnya.”
“Aku orang yang ia titipi namamu.”
Jantungku mencengkeram dirinya sendiri. Tubuhku seperti kehilangan dasar.
“Nama… aku?”
Ia mengangguk perlahan.
“Dia bilang, ‘kalau suatu hari ia kembali ke danau itu… jangan biarkan dia hilang. Aku tidak ingin dia menyusulku.’
Aku memejamkan mata, menahan air mata yang tiba-tiba memenuhi kelopak.
“Aku mengenal Dira,” lanjutnya, “bukan sebaik kau. Bukan sedekat itu. Tapi cukup untuk tahu bahwa dia mencintaimu dengan cara yang membuatku iri.”
Ia tersenyum kecil—pahit, patah, dan jujur.
“Namaku Rayan… adik sepupunya.”
Dan tiba-tiba semuanya masuk akal.
Tatapan yang terasa akrab. Cara ia memanggilku seperti sudah lama mengenal. Kehangatan di tangannya—bukan Dira, tapi seseorang yang membawa serpihan dirinya.
“Aku tiba di desa ini tiga hari lalu,” katanya lagi.
“Mencarimu. Karena aku tahu kau akan datang ke danau ini… cepat atau lambat.”
Aku diam. Dunia terasa tegang . Namun ada sesuatu yang mulai berubah:
Untuk pertama kalinya sejak kepergian Dira… aku tidak merasa sendirian.
Rayan mengulurkan jaketnya kepadaku.
“Pulanglah,”
katanya.“Setidaknya malam ini. Untuk Dira. Untuk dirimu.
Untuk pesan yang ia titipkan padaku.”
Aku menatapnya lama, lalu akhirnya—untuk pertama kalinya setelah sekian waktu—aku mengangguk.
Dalam anggukan itu, ada sesuatu yang tidak kumengerti sepenuhnya:
bukan sekadar menerima uluran tangan seseorang…
tapi menerima bahwa mungkin, aku masih punya tempat di dunia.
Kami berjalan meninggalkan tepi danau, menyusuri jalan setapak yang basah oleh embun malam. Jaket Rayan menempel di tubuhku, hangat dengan cara yang membuatku merasa aneh… seperti ada dua dunia yang saling bersentuhan di dalam kain itu: dunia Dira, dan dunia yang masih tersisa untukku.
Tidak ada yang bicara beberapa menit pertama. Hanya suara langkah kami dan desis dedaunan yang digoyang angin.
Akhirnya Rayan memecah sunyi.
“Dira sering bercerita tentangmu,” katanya pelan.
“Sampai-sampai aku merasa mengenalmu sebelum kita bertemu."
Aku menunduk. Nama itu selalu memukul dada dengan dua rasa sekaligus—pedih dan hangat.
“Apa yang dia bilang?” tanyaku pelan.
Rayan tersenyum kecil, tapi tidak menoleh. Seakan kenangan itu terlalu rapuh untuk dipandang langsung.
“Katanya… kau adalah rumah yang tidak pernah berhasil ia temukan kembali.”
Ia menghela napas. “Dan dia menyesal—bukan karena pergi, tapi karena tidak sempat mengucapkan selamat tinggal.”
Aku menghentikan langkah. Udara malam menusuk, menahan napas di tenggorokan.
“Aku… juga menyesal,” kataku. “Aku tidak ada di sana. Tidak sampai akhir.”
Rayan menatapku, namun tidak dengan simpati kosong—melainkan pemahaman seseorang yang pernah berdiri tepat di tempatku.
“Tidak ada yang benar-benar sampai di akhir bersama orang yang mereka cintai,” katanya.
“Kita hanya… menjaga apa yang tersisa.”
Ada keheningan lagi. Tapi kini bukan sunyi yang menyesakkan, melainkan sunyi yang mempersilakan luka berbicara perlahan.
Setelah beberapa langkah, Rayan melanjutkan, lebih hati-hati:
“Ada sesuatu yang belum kukatakan.”
Aku menoleh. “Apa?”
Rayan berhenti berjalan. Cahaya bulan jatuh di wajahnya, memecah ekspresi yang sulit dibaca—antara ragu dan keberanian.
“Sebelum ia pergi… Dira memintaku menyampaikan sesuatu padamu.”
Ia menatapku dalam-dalam, seolah memastikan aku siap.
“Pesan yang sebenarnya.”
Dadaku berdegup. “Pesan… apa?”
Ia menelan ludah, lalu mengucapkannya perlahan—kata demi kata yang terasa seperti membuka kembali pintu masa lalu yang sengaja kututup rapat.
“Dira bilang… ‘beritahu dia bahwa aku tidak menunggu di akhir. Aku menunggu di hidupnya.’”
Suara Rayan bergetar sedikit saat mengulangnya.
“Dan kalau dia memilih
menghilang karenaku… maka semua cinta yang kuberikan padanya akan sia-sia.’”
Aku memejam mata. Air mata turun tanpa sempat kutahan.
“Dia… bilang begitu?”
Rayan mengangguk. “Dan dia menangis saat mengatakannya. Itu satu-satunya waktu aku melihatnya takut.”
Ia menatapku lembut.
“Takut kau ikut hilang.”
Aku tidak bisa menjawab. Tenggorokanku terasa tersumbat oleh sesuatu yang selama ini kutahan—bukan hanya duka, tapi rasa bersalah yang selama ini kupikir hanya milikku.
Rayan mendekat. Suaranya merendah, hampir seperti bisikan.
“Kau tidak perlu melupakannya,” katanya.
“Tapi jangan ikut menghilang bersamanya.”
Untuk pertama kalinya… kata-kata itu masuk. Tidak sempurna. Tidak utuh. Tapi cukup untuk membuatku merasa dunia ini tidak lagi hanya ruang kosong.
Aku menarik napas panjang—napas yang terasa seperti napas pertama setelah sekian lama terperangkap dalam air gelap.
“Terima kasih, Rayan,” bisikku.
“Untuk datang. Untuk menemukan aku.”
Rayan tersenyum—senyum kecil, tidak memaksa, tapi cukup hangat untuk membuat malam terasa tidak sekelam tadi.
“Dira yang memintaku,” katanya. “Aku hanya menjalankan bagianku.”
Dan kami kembali melangkah.
Namun saat kami hampir mencapai jalan utama, Rayan menambahkan sesuatu yang membuat langkahku terhenti lagi.
“Dan… mungkin mulai malam ini… aku ingin menjalankan bagianku juga untuk diriku sendiri."
Aku menoleh. “Maksudmu?”
Ia menatapku—lebih lama, lebih jujur, dan jauh lebih dalam.
“Aku ingin memastikan kau benar-benar pulang. Bukan hanya ke rumah… tapi ke hidup.”
Malam itu kami tiba di depan rumah penginapan kecil tempatku menetap.
Lampu teras berpendar redup, seolah tahu bahwa tamunya baru kembali dari kegelapan yang lebih pekat dari malam mana pun.
Rayan berhenti di depan tangga.
“Kalau kau butuh sesuatu—apa saja—aku di rumah sepupu Dira, dekat persimpangan,” katanya.
“Jangan menahan semuanya sendirian.”
Aku mengangguk.
Untuk pertama kalinya dalam waktu yang terasa seperti bertahun-tahun, anggukan itu tidak terasa kosong.
Sebelum masuk, aku menatap kembali ke danau yang jauh di belakang. Angin malam membawa aromanya—kering, dingin, tapi tak lagi menakutkan.
Seolah danau itu telah menyampaikan apa yang perlu kusadari:
Aku belum selesai.
Rayan pergi setelah memastikan aku baik-baik saja. Namun sebelum ia melangkah menjauh, ia berkata lirih—hampir seperti ucapan yang tidak ingin ia dengar sendiri:
“Aku senang kau kembali.”
Aku menutup pintu pelan, membiarkan kata-katanya menetap di relung yang paling sunyi di dalam diriku.
Keesokan pagi
Aku terbangun oleh sinar matahari pertama yang menembus jendela.
Aneh—biasanya cahaya itu terasa mengganggu, tapi pagi itu… tidak.
Mungkin karena untuk pertama kalinya, aku tidak terbangun dengan keinginan untuk hilang.
Di meja kecil dekat jendela, tergeletak surat basah yang diselamatkan Rayan tadi malam.
Tintanya meleleh, membuat sebagian kata nyaris tak terbaca.
Tetapi ada satu kalimat yang masih bertahan:
“Dir… aku lelah…”
Aku menatapnya lama. Sebuah rasa mengalir—bukan sedih, bukan marah, bukan hancur.
Melainkan rasa ingin hidup yang kecil, rapuh, tapi ada.
Aku mengambil kertas itu, melipatnya perlahan, dan memasukkannya ke dalam laci.
Biarlah ia menjadi bagian dari masa lalu yang tidak kubuang… tapi juga tidak lagi menarikku ke dasar.
Beberapa hari berlalu
Rayan sering datang. Kadang hanya membawa makanan. Kadang membawa cerita tentang masa kecil Dira yang bahkan tidak pernah kudengar. Kadang hanya duduk bersamaku di tepi danau tanpa banyak bicara.
Tidak ada yang dipaksakan.
Tidak ada yang dipercepat.
Kami hanya dua orang yang pernah kehilangan, belajar bernapas sekali lagi.
Suatu sore, ketika langit berubah jingga—jingga yang pernah membuatku ingin hilang, kini entah mengapa tampak lebih lembut—Rayan berkata:
“Aku tahu aku bukan bagian dari kisahmu bersama Dira.”
Ia tersenyum tipis.
“Tapi kalau kau mengizinkan… aku ingin menjadi bagian dari kisah yang kau buat setelahnya.”
Aku menatapnya. Ada sesuatu yang hangat, tapi juga perih.
Perih karena aku takut menggantikan Dira.
Hangat karena… mungkin cinta yang hilang bukan untuk diganti. Hanya untuk dibawa bersama ketika kita melangkah lagi.
“Rayan…” suaraku bergetar. “Aku belum siap.”
Ia mengangguk pelan. “Aku tahu.”
“Tapi aku mencoba,” lanjutku.
“Untuk kembali. Untuk hidup.”
Rayan menatapku lama, dan untuk pertama kalinya sejak kami bertemu, ia tersenyum dengan lega—senyum yang bukan untuk Dira, bukan untuk luka, tapi untuk kami yang sedang belajar menjadi utuh kembali.
“Kalau begitu,” katanya, “biarkan aku berjalan di sampingmu. Tidak lebih dulu, tidak terlalu dekat… cukup agar kau tahu kau tidak sendirian.”
Musim berganti
Danau tidak lagi menjadi tempat aku ingin hilang.
Ia menjadi tempat aku mengenang, bukan tempat aku tenggelam.
Rumah kecil yang kutempati berubah menjadi rumah sungguhan—bukan lagi persinggahan untuk menunggu akhir.
Rayan menjadi seseorang yang hadir bukan karena janji pada Dira, tapi karena pilihannya sendiri.
Dan aku…
Aku mulai memahami pesan terakhir Dira.
Ia tidak menungguku di akhir.
Ia menungguku di hidupku—di tempat yang kutinggalkan terlalu lama.
Kini, setiap kali senja jatuh dan warna langit berubah menjadi merah tua, aku tidak lagi merasa ditarik ke dalam gelap.
Justru sebaliknya—warna itu mengingatkanku bahwa cinta tidak berhenti ketika seseorang pergi.
Ia hanya berubah bentuk.
Akhirnya…
Pada suatu sore, aku berdiri kembali tepat di tempat aku pernah hampir hilang. Air danau memantulkan wajahku—masih ada luka, masih ada bayangan masa lalu. Tapi ada juga sesuatu yang baru:
Aku.
Versi diriku yang kembali.
Tidak sempurna, tidak bebas dari duka, tapi hidup.
“Aku sudah pulang, Dir,” bisikku.
“Bukan untuk menyusulmu… tapi untuk menjaga cinta yang kau tinggalkan.”
Angin senja bergerak pelan.
Seolah setuju.
Seolah merestui.
Aku menutup mata, membiarkan keheningan memelukku—bukan sebagai akhir… tetapi sebagai awal.
Dan di kejauhan, langkah kaki Rayan mendekat.
Tidak tergesa.
Tidak menuntut.
Hanya memastikan bahwa aku tidak berjalan seorang diri menuju masa depan yang akhirnya berani kupilih.
EPILOG — Surat yang Tidak Pernah Terkirim
Beberapa minggu setelah hari itu, ketika daun-daun mulai menguning dan angin membawa aroma tanah basah, aku menemukan sebuah kotak kecil di kamar penginapan tempatku tinggal.
Kotak itu milik pemilik penginapan—seorang nenek yang baru saja merapikan gudang lamanya.
Ia mengetuk pintu kamarku sore itu.
“Ini… kupikir milikmu,” katanya sambil menyerahkan kotak kayu yang sudah mulai usang.
“Ditinggalkan seseorang beberapa bulan lalu. Katanya, suatu hari pemiliknya akan datang sendiri.”
Aku menatap kotak itu lama. Tutupnya diukir dengan pola sederhana, tapi aku mengenali ukiran itu dengan sekali pandang.
Ukiran kesukaan Dira.
Tanganku bergetar ketika membukanya.
Di dalamnya, hanya ada satu surat—dilipat dengan rapi, seolah Dira tahu siapa yang akan membukanya suatu hari nanti.
Kertasnya sedikit menguning, tinta hitamnya rapi, huruf-hurufnya adalah huruf yang sangat kukenal: huruf milik seseorang yang dulu menghabiskan malam-malamnya menulis puisi kecil di punggung tanganku.
Aku membuka surat itu perlahan, seperti membuka kembali seluruh kenangan yang pernah kutunda.
Surat itu berbunyi:
“Untuk kamu,
Jika surat ini sampai ke tanganmu… berarti aku tidak ada di sana untuk mengatakannya langsung.
Aku tidak tahu kapan kamu akan kembali ke danau—atau apakah kamu akan kembali sama sekali.
Tapi jika kamu membaca ini, berarti kamu tetap hidup.
Dan itu sudah cukup membuatku tenang.
Jangan cari aku di akhir, sayang.
Aku tidak menunggu di sana.
Aku menunggumu di setiap langkah yang kau ambil,
Di setiap pagi yang masih kau buka matamu,
Di setiap tawa kecil yang suatu hari mungkin kau temukan lagi.
Jika suatu hari kamu bertemu seseorang yang membuatmu tertawa,
Tersenyumlah untukku.
Karena itu artinya kamu kembali.
Aku tidak pernah ingin kau hilang.
Cinta kita… bukan kisah tentang kehilangan.
Cinta kita adalah kisah tentang menemukan jalan pulang.
Hiduplah.
Itu satu-satunya cara kau bisa membalas cintaku.
—Dira”
Huruf terakhirnya tampak goyah, seperti ditulis dengan sisa tenaga terakhir.
Tapi setiap katanya terasa kuat, seperti tangan Dira sendiri masih menggenggam tanganku melalui jarak dan waktu.
Aku tak tahu berapa lama aku menangis.
Tidak keras, tidak pecah—hanya tangis lembut yang jatuh seperti hujan pertama setelah kemarau panjang.
Namun anehnya… tidak ada rasa ingin hilang.
Tidak ada gelap yang menarikku kembali.
Yang ada hanya rindu—rindu yang tidak lagi menyakitkan.
Rindu yang mengizinkan aku hidup bersamanya, bukan mati mengikutinya.
Rayan muncul di pintu.
Diam. Tidak bertanya. Tidak menekan.
Ia hanya duduk di sampingku, membiarkan aku memegang surat itu seperti memegang sesuatu yang harus dilepas perlahan.
“Aku mengenali tulisan itu,” katanya pelan.
“Aku ada di sampingnya saat ia menulis sebagian.”
Aku tersenyum dengan mata masih basah.
“Dia selalu keras kepala.”
“Ya,” jawab Rayan. “Tapi keras kepalanya yang membuatmu tetap hidup.”
Kami tertawa kecil—tawa yang pelan, samar, tapi untuk pertama kalinya… terasa benar.
Aku melipat surat itu kembali, meletakkannya di dalam kotak, lalu menutupnya dengan lembut.
Dan saat aku menatap Rayan, aku tahu sesuatu telah bergeser—bukan menggantikan Dira, bukan menutup luka, tapi memberi ruang untuk masa depan yang pelan-pelan tumbuh.
“Aku sudah pulang,” kataku.
Rayan tersenyum, hangat dan tulus.
“Dan aku akan berada di sini,” jawabnya,
“jika kau siap melangkah ke mana pun setelah ini.”
Kami berdiri, menatap senja yang turun pelan di balik pepohonan.
Senja itu tidak lagi terasa seperti akhir…
…melainkan jembatan menuju bab yang belum ditulis.
Beberapa hari setelah surat itu kutemukan, aku kembali ke danau.
Tidak untuk tenggelam, tidak untuk menghilang—hanya untuk duduk.
Untuk mendengarkan riak air yang dulu memanggilku ke dalam gelap, tetapi kini hanya berbisik lembut seperti teman lama yang akhirnya mengerti.
Rayan menyusul dari belakang. Aku mendengar langkahnya bahkan sebelum ia muncul dari balik pepohonan.
“Kau selalu datang pagi-pagi begini?” tanyanya sambil duduk di sampingku.
Aku mengangguk. “Dulu aku datang untuk pergi. Sekarang aku datang untuk tinggal.”
Rayan tersenyum kecil. “Dira pasti suka mendengarnya.”
Kami diam beberapa saat. Angin menggoyang permukaan air, membawa bayangan langit yang terbentang seperti halaman kosong siap diisi.
Lalu tanpa melihatku, Rayan berkata pelan, seolah takut suaranya merusak ketenangan danau:
“Aku ingin bertanya sesuatu… tapi kalau kau belum siap menjawab, tidak apa.”
Aku mengangkat wajah, menatap profilnya yang diterangi cahaya lembut pagi.
“Tanyakan saja.”
Ia menarik napas dalam, lalu mengembuskannya perlahan.
“Setelah semua ini… apa kau berencana tinggal di kota ini lebih lama?”
Pertanyaan sederhana. Tapi untukku, rasanya seperti membuka pintu yang baru saja kututup rapat—pintu menuju hidup yang belum berani kubayangkan.
“Aku belum tahu,” jawabku jujur.
“Aku masih belajar berdiri. Belum tahu mau melangkah ke mana.”
Rayan mengangguk. Tidak memaksa. Tidak kecewa.
“Aku hanya ingin kau tahu,” katanya, “kalau kau memilih tetap tinggal… aku senang.”
Kalimat itu sederhana, tapi terasa seperti jembatan kecil yang menghubungkan hatinya ke hatiku—bukan untuk menggantikan siapa pun, hanya untuk hadir.
Aku tersenyum tipis.
“Rayan…”
“Hm?”
“Terima kasih… bukan Cuma untuk menyelamatkanku waktu itu. Tapi untuk bertahan di dekatku, bahkan saat aku belum tahu apa yang kurasakan.”
Rayan menatapku lama. Mata cokelatnya teduh, tidak menuntut, hanya memahami.
“Aku tidak menunggu jawaban apa pun,” katanya.
“Aku hanya ingin berjalan bersamamu. Kalau suatu hari kau berhenti, aku berhenti. Kalau kau maju, aku ikut. Kalau kau jatuh… aku akan ada di situ.”
Aku terdiam. Angin bergerak perlahan, membawa aroma tanah, halaman-halaman masa lalu, dan kemungkinan masa depan yang pelan-pelan terbentuk.
Untuk pertama kalinya, aku menatap danau itu tanpa rasa takut.
“Aku… mungkin akan tinggal,” kataku akhirnya.
Rayan menoleh cepat. “Benarkah?”
Aku tersenyum.
“Bukan karena kamu,” jawabku. “Tapi karena untuk pertama kalinya, aku ingin tinggal untuk diriku sendiri.”
Rayan terdiam. Senyumnya perlahan muncul—bukan senyum lega, tapi senyum yang menunjukkan rasa hormat atas sebuah keputusan yang tidak mudah.
“Kalau begitu,” katanya lembut, “selamat datang pulang. Kali ini… untuk benar-benar tinggal.”
Kami duduk lama di tepi danau itu.
Tidak ada kata-kata besar. Tidak ada janji. Tidak ada cinta yang memaksa tumbuh.
Yang ada hanya dua orang yang pernah kehilangan, duduk berdampingan, memandang air yang berkilau seperti lembar kosong.
Dan untuk pertama kalinya sejak kehilangan Dira…
Aku tidak lagi menunggu akhir.
Aku menunggu awal.
Awal yang tidak tergesa.
Awal yang tidak memaksa.
Awal yang mungkin akan tumbuh perlahan
…di antara tawa kecil, langkah ragu, pagi yang hangat—dan seseorang yang memilih untuk tinggal duluan sebelum aku memilih kembali hidup.
Beberapa hari setelah menemukan surat itu, aku kembali ke tepi danau. Bukan untuk mengulang luka… tapi untuk menutupnya dengan cara yang Dira inginkan.
Air danau tenang hari itu. Langit jernih, tanpa warna kelam. Dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama, aku tidak merasa hampa berdiri di sana.
Aku membuka kotak kayu itu, mengeluarkan surat Dira, lalu membacanya sekali lagi—perlahan, namun tanpa rasa ingin kembali ke masa lalu. Setelah itu, aku merapikannya kembali dan menutup kotaknya.
“Aku tidak akan menyusulmu, Dir,” ucapku pelan. “Tapi aku akan membawamu dalam setiap langkahku.”
Angin mengusap wajahku, bukan mencegah, bukan menahan, tapi menyetujui.
Dan aku merasa… Dira mendengarnya.
Rayan berdiri beberapa langkah di belakang, tidak ingin mengganggu. Ketika aku menoleh, ia tersenyum—senyum kecil yang menguatkan, bukan memaksa.
“Apa kau siap pulang?” tanyanya.
Aku mengangguk. “Ya. Kali ini benar-benar pulang.”
Kami berjalan berdua meninggalkan danau itu. Langkahku ringan. Tidak ada bayangan gelap yang mengikutiku. Yang ada hanya harapan kecil yang belum sempat kuberi nama.
Beberapa Bulan Kemudian
Hidup tidak langsung menjadi mudah. Ada hari ketika rindu menyeruak tiba-tiba, ada malam ketika mimpi buruk datang lagi, ada detik ketika aku ingin kembali ke danau itu hanya untuk diam.
Tapi aku tidak tenggelam lagi.
Rayan sering menemaniku—kadang dengan obrolan ringan, kadang hanya dengan diam. Ia tidak pernah mencoba menggantikan Dira. Ia tahu batasnya, tahu caranya hadir tanpa mengambil ruang yang bukan miliknya.
Suatu sore, saat kami duduk di warung kecil dekat pasar, Rayan bertanya pelan, hampir seperti takut mengganggu:
“Menurutmu… Dira akan marah kalau kamu bahagia?”
Aku terdiam cukup lama untuk membuatnya menunduk.
Lalu aku tersenyum kecil. “Dira yang kutahu… akan menamparku kalau aku tetap terpuruk.”
Rayan tertawa. “Aku rasa dia akan menamparku juga.”
“Kenapa?”
“Karena aku sudah mulai jatuh hati pada seseorang yang masih belajar sembuh.”
Aku tertegun. Bukan tersentak, bukan gelisah—hanya terkejut oleh kejujuran yang tidak memaksa apa-apa.
“Rayan… aku belum siap,” kataku akhirnya.
“Aku tahu,” jawabnya cepat. “Aku tidak sedang meminta apa pun. Aku hanya memberitahumu. Agar kau tahu bahwa dunia belum selesai mencintaimu.”
Dan entah kenapa, kata-kata itu tidak membuatku lari.
Satu Tahun Kemudian
Tepat setahun setelah aku hampir menyerah pada hidup, aku kembali ke danau—kali ini bersama Rayan. Bukan untuk mengulang luka, tapi untuk menaruh bunga kecil di permukaan air.
Bunga itu mengapung, membawa pesan sederhana.
“Aku masih merindumu. Tapi aku juga hidup. Seperti yang kau minta.”
Rayan menggenggam tanganku. Hangat. Tidak menggantikan apa pun. Hanya menambah ruang yang dulu kosong.
Aku memandang langit.
Senja turun— tapi tidak lagi menjadi akhir cerita.
Ia menjadi pembuka jalan, menuju bab yang belum selesai, menuju hidup yang akhirnya kembali kupilih.
Dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang sangat lama…
…aku bersyukur karena masih ada esok.
TAMAT