Raihan selalu menyukai hujan. Bukan karena dinginnya atau karena bau tanah yang basah, tapi karena hujan selalu membuatnya merasa hidup, meski kadang hidup itu sendiri terasa terlalu berat. Hari itu, hujan turun dengan derasnya. Rintik-rintik kecil menembus jendela kamarnya, menandai pagi yang seharusnya cerah. Tapi hatinya suram, seperti langit di luar sana.
Sejak pagi, Raihan tidak mengangkat teleponnya. Ibunya, yang biasanya selalu mengingatkan untuk sarapan, hanya menghela napas panjang. Ia tahu anaknya sedang larut dalam dunianya sendiri, dunia yang sulit dimengerti oleh orang yang mencintainya. Dunia itu penuh sepi, rasa bersalah, dan penyesalan yang terus menumpuk seperti awan gelap.
Raihan duduk di tepi tempat tidurnya, menatap foto lama yang sudah kusam di meja nakalnya. Foto itu menampilkan dua orang yang tersenyum, dengan mata yang berkilau karena kebahagiaan yang tulus. Gadis itu, Livia, adalah bagian dari hidupnya yang tak pernah ia sadari akan begitu cepat pergi. Kini, senyum itu hanya tersimpan di kertas, di kenangan, dan di hati yang hampa.
Livia… ia selalu ingin mengatakan hal-hal yang terlalu berat untuk diucapkan. “Rai, jangan menyesal nanti,” katanya suatu hari, sebelum pergi jauh. Tapi Raihan tidak pernah mendengarnya dengan baik. Ia terlalu sibuk menegakkan egonya sendiri, terlalu keras kepala untuk menyadari bahwa Livia membutuhkan lebih dari sekadar janji kosong.
Hari itu, hujan tidak berhenti. Ia terus memukul kaca jendela, seperti memaksa dunia di luar untuk masuk ke dalam hidupnya yang terkurung. Raihan menatap jam, menyadari bahwa hari ini adalah hari ulang tahun Livia. Ia selalu ingat, karena Livia menekankan tanggal itu dengan serius, seolah tanggal itu memiliki arti lebih dari sekadar angka di kalender.
Raihan menyesal. Setiap kata yang terlambat diucapkan, setiap telepon yang tidak dijawab, setiap senyum yang tidak dibalas… semua itu kini terasa seperti duri yang menusuk hatinya tanpa ampun. Livia pergi tanpa peringatan, meninggalkan dunia ini beberapa bulan yang lalu karena kecelakaan yang tak terduga. Dan sekarang, di hari ulang tahunnya, Raihan hanya bisa duduk di kamar sendirian, menatap foto itu, mencoba menelan rasa bersalah yang membakar.
Ia ingat hari terakhir mereka bersama. Livia tersenyum, menggenggam tangannya, dan berkata, “Aku percaya kamu akan selalu ada untukku, Rai.” Tapi Raihan, sombong dan percaya diri, membalas dengan kata-kata kasar karena ia terlalu marah dengan masalah kecil yang mereka hadapi saat itu. Kata-kata yang seharusnya tidak pernah keluar, kata-kata yang kini membuat hatinya hancur berkeping-keping.
Sejak hari itu, Raihan berubah. Ia menjadi pendiam, menutup diri dari dunia. Teman-teman yang dulu selalu dekat dengannya mulai menjauh karena ia tidak lagi menanggapi pesan atau ajakan untuk keluar. Ia menolak semua bentuk hiburan atau kebahagiaan. Semua itu terasa kosong tanpa Livia di sisinya.
Malam mulai merayap masuk. Hujan semakin deras, dan angin membawa dingin yang menusuk tulang. Raihan menyalakan lilin di meja, menatap cahaya kecil yang bergetar. Cahaya itu seperti hidupnya sendiri—rapuh, singkat, dan mudah padam. Ia berbicara pada foto itu, meski tahu tak ada yang bisa mendengar.
“Aku minta maaf, Livia… aku tidak seharusnya marah padamu. Aku tidak seharusnya membuatmu merasa sendirian,” suaranya bergetar. Ia menundukkan kepala, air mata jatuh menetes, membasahi tangan yang gemetar.
Ia memejamkan mata dan membayangkan wajah Livia tersenyum. Bayangan itu begitu jelas hingga ia bisa merasakan hangatnya genggaman tangan itu lagi. “Aku ingin kembali… aku ingin memperbaiki segalanya,” gumamnya, tapi ia tahu itu mustahil.
Tiba-tiba, ponselnya bergetar. Ia menatap layar, berharap itu Livia mengirim pesan, tapi yang muncul hanyalah notifikasi dari rumah sakit tempat Livia dirawat sebelum meninggal. Hatinya serasa disayat. Pesan itu memberitahu bahwa ada arsip video terakhir Livia yang merekam sebelum kecelakaan. Dengan tangan gemetar, Raihan membuka video itu.
Di layar, wajah Livia terlihat pucat, tapi matanya masih bercahaya. “Rai… kalau kamu menonton ini, mungkin aku sudah pergi. Aku ingin kamu tahu… aku tidak marah padamu. Aku hanya ingin kamu hidup dengan baik, meski aku tidak bisa di sana lagi. Jangan biarkan dirimu tenggelam dalam penyesalan… tapi… aku ingin kau tahu… aku selalu mencintaimu,” suaranya lirih, penuh ketulusan dan kesedihan.
Raihan menutup wajahnya dengan kedua tangan. Air matanya jatuh deras, tidak peduli dengan hujan yang masih menetes di luar. Ia merasakan sakit yang begitu dalam, sakit yang tidak bisa diobati. Rasa bersalah itu membakar setiap sudut hatinya. Ia ingin berlari, ingin memutar waktu, ingin memeluk Livia sekali lagi, tapi ia tahu itu mustahil.
Hari-hari berikutnya menjadi kosong dan panjang. Raihan mulai menulis surat untuk Livia setiap malam. Surat-surat itu tidak pernah dikirim, hanya tersimpan di laci meja. Ia menulis tentang penyesalannya, tentang rindu yang tak tertahankan, dan tentang setiap kenangan manis yang kini berubah menjadi pil pahit.
Satu bulan kemudian, hujan turun lagi. Tepat seperti hari Livia meninggal. Raihan berdiri di depan makamnya, membawa setangkai mawar putih yang sudah layu karena perjalanan panjang. Ia menunduk, meneteskan air mata tanpa suara.
“Livia… aku masih mencintaimu. Aku masih menyesal, dan aku… aku berharap kau bisa memaafkanku,” ucapnya pelan. Angin meniup, seolah membawa bisikan Livia menembus telinganya, tapi itu hanya ilusi.
Raihan duduk di samping makam, menundukkan kepala, membiarkan hujan mencuci wajahnya. Ia tahu, hidupnya tidak akan sama lagi. Kehilangan Livia bukan sekadar kehilangan orang yang dicintai, tapi juga kehilangan bagian dari dirinya sendiri.
Hari itu, hujan tidak berhenti. Ia duduk di sana hingga malam tiba, hanya ditemani suara hujan dan kenangan yang tak bisa ia lepaskan. Dan di tengah rintik yang terus jatuh, Raihan berjanji pada dirinya sendiri, meski terlambat, ia akan hidup lebih baik—untuk Livia, dan untuk dirinya sendiri.
Namun, meski janji itu terucap, ia tahu tidak ada yang bisa menggantikan kekosongan yang ditinggalkan. Livia telah pergi, dan dunia akan selalu terasa sepi tanpa senyumnya. Raihan mengerti bahwa penyesalan kadang datang terlalu terlambat, dan cinta yang hilang tidak pernah bisa kembali—hanya tersisa dalam kenangan, dalam air mata, dan dalam hujan yang tak pernah berhenti.