Tatkala, sebuah sel saraf mendadak menyuntikan kesadaran saya akan sebuah pertanyaan paling konyol!
Pernahkah kamu membaca halaman penuh mawar putih? Yang sekiranya, roman tersebut perlu di tiban dengan irisan kehidupan. Lalu, dengan imaji fana berdasar intuisi dangkal, yang terus membalik kertas penuh gairah, harapan, padahal kita masih tertancap kuat di prolog?
Misteri!
Sebuah gadaian konyol seorang gadis yang tidak mempunyai relevansi akan latar! Manusia dengan segala keanehan dan metaforanya itu, memelesat di antara rak-rak buku yang tertidur lelap, menikmati masa tua mereka. Langkah kakinya membahana, merentakkan kayu-kayu sepuh laksana prajurit berderap.
Annelise Arabelle, variabel yang agaknya orang tua saya labeli penuh cinta. Boleh jadi sangat dramatis, tapi saya pikir memang benar dramatis adanya!
Setidaknya, itulah yang saya serukan sontak, menghancurkan sekat antar kami. Bualan jenjang saya itu sungguh membuat saya jenggal, benar memang tidak bermoral. Kewarasan saya pastilah telah diambil oleh dedemit nan keji! Atau kemujuran sayalah dicuri lebih dulu?
Seorang lelaki waras bak ribuan rasionalitas itu, tercengang penuh sangsi akan deklarasi mendadak saya. Matanya membulat lebar penuh perdebatan, keningnya mengernyit. Boleh jadi, saya telah berulah dosa dengan mengaibkan sel sarafnya. Salah saya!
“Alexander Davis.” Jawabnya rata. Kepalan buku yang ia rangkul mengeras, menyorot saya penuh cangkriman. Ia menawarkan tangannya dengan manasuka, sebagai bentuk penghormatan seorang pakar analis!
Saya tertegun tak karuan. Dengan girang, saya meraihnya dengan suka cita, niscaya. Lengkungan bibir saya merekah penuh ria. Sungguh menyenangi.
Bersemayamlah seorang pujangga dan analis yang acap berkunjung. Sebuah tempat ibadah, perpustakaan penuh buku tua, serta aroma parfum bersahaja, terus menjejali kertas kosong ketentuan. Kini telah melewati ribuan bab. Sebuah kelaziman yang akhirnya mewujudkan tali penuh kepongahan.
Saya berseru, berbaring di sofa panjang, dengan buku filsafat di dekapan, “ketika dimensi insan mengecil, dan manifesto menghinakan itu keluar, buku itu kembali berdebu setelah menimpa tendas saya! Sangat disayangkan, ia mendapatkan ganjarannya. Walau berbakat akan menghembuskan nafas, kecerobohan saya tidak ada kausalitasnya dengan nasibnya. Ini isu sosial!”
Alexander menganga dengan tatapan kosong. Hal ini sering timbul setiap saya melontarkan pernyataan. “Terlalu berbelit,” katanya, “sangat membingungkan,” lontaran cemooh monokrom yang selalu ia pekikan lewat bahasa gelagat ekspresinya. Sangat terbaca! Sungguh. Walau begitu, ia selalu berbaik hati memproses. Dan beradaptasi tiap harinya. Sungguh kemurahhatian yang mukhlis.
Diam telah menggerogoti pikirannya akan sebuah ‘misteri’ selama beberapa saat, hingga getaran dengusan tertangkap. “Maksudmu, saat buku itu menimpa kepalamu? Itu memang sudah beberapa tahun sejak pertama kali kita bertemu. Yah, memang, buku itu kurang menarik dan relevan untuk dibaca masyarakat umum. Termasuk saya.” Ia mengalihkan pandangannya segera setelah melontarkan ketidakpantasan lidahnya. Sementara saya membelalak tak percaya, memelototinya. Jelas Dewi telah memberkatinya dengan ketidak terjadinya timpukan buku yang saya rangkul.
Sebuah dengusan kecil luput. Saya sangat menangkap bahwa ia merupakan manusia paling menjemukan dan monoton. Sebuah entitas yang paling inkonsistensi dengan esensi saya. Sesama anomali dalam kacamata tiap-tiap.
Di dunia yang penuh keindahan dan keajaiban nya tersendiri, saya selalu bersemayam dalam kegaduhannya dan kekacauannya. Lalu meromantisasikanya. Alexander, agaknya meninggalkan gen bahasa alien ini dalam tubuhnya. Atau barangkali saya adalah alien dan ia manusia? Setidaknya itulah caranya mendefinisikan bahasa saya. Tentunya kita berdua menggunakan bahasa yang sama. Bahasa Indonesia.
Setiap getaran yang saya lontarkan, barangkali memilih memutar jalan untuk meromantisasi lewat kaca jendela yang basah akan hujan. Alexander selalu berusaha merangkul saraf saya, dan boleh jadi terbang ke arah yang kontradiksi bersama sarafnya yang ia bawa. Cukup sering terjadi.
Agaknya, berbicara bagai magis dan keanehan memuaskan elegi hidup saya yang memilih buta walau sehat. Sekiranya, meromantisasi hidup tidaklah terdefinisi suci. melainkan sia. karena saya bukan alien.
‘Mengeja bahasa normal indonesia’, judul sandiaga yang ia buat suatu malam, atas apa yang saya ajukan. keabnormalan diksi saya barangkali membuat Alexander tambah semangat mencoba menjadi dokter gigi yang cakap. Dan niscaya berampung nihil. kegilaan otak besar saya, tempat dimana dunia partikel bahasa alien saya bersemayam, boleh jadi telah bertaut permanen dengan esensi saya sendiri.
Apakah ada jalan memutar?
Barangkali tidak ada. Seorang pujangga yang ingin bermetafora menjadi hitam yaitu mimpi buruk rasa berdosa. Walau tentunya, saya harus mencoba agar tau. Sebuah rasa penasaran yang menggugah gairah. Mungkin lebih. Saya mengaku berdosa. Tetapi, saya ingin disentil oleh telinga yang tidak perlu menerjemahkan dan mata yang ingin melihat. Cinta bukanlah dosa.
Seseorang telah berkoalisi erat dengan kalbuku. Melebihi lintasan jembatan si bodoh tapi jenius. Yang mana, hal tersebut berhubungan kukuh dengan alasan pelepasan profesi pujangga saya. Yang barangkali, merupakan salah satu kelainan lain menurutnya. Atau agaknya, yang ini lebih parah.
Alexander menghina setengah mati sekaligus sepenuh hati pujaan hati saya itu. Walau ia hanya memaparkannya lewat gestur, terutama ekspresi mukanya, saya berikrar tempelaknya benar nyatanya. Entitas tersebut memang tidak punya hati nurani bak setan amblas dari neraka. Manusia monokrom tersebut mana tahu menahu persoalan cinta! Barangkali, matanya terlalu buram hingga membeli kacamata photochromic. Perawakannya pun kian berangsur congkak.
Saya yakin, sayalah yang kasmaran!
Salah satu kepongahannya merupakan ironi nya yang penuh klandestin satu ini. “Annelise. Apakah kamu bahkan tau perbedaan antara kasihan dan cinta?” Sebuah pertanyaan yang pastinya bertujuan untuk membuat pusat saraf sadar menjustifikasi logika nurani saya, di suatu hari. Lidahnya barangkali memang pandai akan berdansa dengan kata-kata.
Agaknya, kepongahan barangkali berotasi menghampiri saya. Dan bisa jadi, mulanya telah mengelabui kacamata saya, yang menaksir tujuannya yang merupakan Alexander.
Yang katanya pujaan hati itu, telah memutihkan mata saya. Boleh jadi, apa yang ia katakan memang benar adanya. Saya terlalu congkak dan tak bermartabat. Sebuah virus yang terus mengkonsumsi setiap partikel, memetaforakan saya menjadi manusia bak alien. Keanomalian yang merupa aib, padahal ialah hakikat saya.
Barangkali, definisi janggal itulah memang saya sendiri.
Saya telah dikunyah. Pikiran ini pun menyantap saya dengan hasrat, yang berakibat kegiatan literasi ini menjadi tangan kosong. Sementara waktu terus berpacu, mengangkut keranjang bak kewarasan saya. Kegilaan mencintai saya.
Sebuah bulir bening mendadak membasahi bulu mata, berkelana hingga membentur rataan. Seketika, kesadaran saya terinfus, melewati tiap sel-sel. Tangan saya melepas kolom-kolom penyangga yang menjulang dari altar personalnya itu seketika, tercengang bukan main. Saya mengedip-ngedipkan mata, bersemuka tak karuan denganya.
Lebih-lebih Alexander yang membelalak morat-marit.. Ia membalas tatapan saya tergemap-gemap. Buku yang ia kepal luput, mengikuti hukum gravitasi, melontarkan dengung yang bergema rindang di telinga saya. Agaknya, gelagat nya menjelma kaku, kalang kabut karena ketiba-tibaan saya. Barangkali?
“Ingat saya?” Ia menembakan busur dengan matanya, menembus lapisan retina saya. Menelanjangi esensi saya, meniti tiap neuron. Presisi dan tajam. Melembut namun tertegun. Mengiris namun rindu.
Bak kefanaan dan fiktif. Saya masih di sini. Saya memang di sini. Bukan saya yang berkelana. Tetapi, boleh jadi memang tidak sepatutnya imajinasi dan intuisi dikawinkan hingga mengembara, bertinggasan dengan tuhan. Lalu menyapa waktu yang terdilatasi dengan keindahan yang memualkan. Walau mereka bilang tidak ada terdahulu dan terdepan, saya beriman. Karena saya di sini. Bukan di sana. Hanya saya, Dan memang hanya saya.
Saya memang masih tertancap.