“Jika suatu hari kau merindukanku, maka ingatlah bahwa: aku pernah mencintaimu sedalam itu... sebelum akhirnya aku belajar untuk berhenti.”
***
Hey, kamu tahu apa yang paling menyakitkan saat kita mencintai seseorang terlalu dalam?
Ya, melihat seseorang yang selama ini kita harapkan dan cintai dengan tulus tanpa syarat, justru menjadi orang yang paling tega mengkhianati kita.
Padahal kita sudah berjuang sekuat tenaga, tapi ia tak menghargai nya. Padahal kita sudah bertahan dari banyak nya luka yang sudah terbuka demi terus bersamanya. Namun, apa hasilnya? Itu semua hanya sia-sia. Sekuat apapun kita mencintai nya, ia tak akan pernah menjadi milik kita.
"𝑆𝑒𝑡𝑖𝑑𝑎𝑘𝑛𝑦𝑎 𝑑𝑖𝑟𝑖𝑘𝑢 𝑝𝑒𝑟𝑛𝑎ℎ 𝑏𝑒𝑟𝑗𝑢𝑎𝑛𝑔, 𝑚𝑒𝑠𝑘𝑖 𝑡𝑎𝑘 𝑝𝑒𝑟𝑛𝑎ℎ 𝑡𝑒𝑟𝑛𝑖𝑙𝑎𝑖 𝑑𝑖 𝑚𝑎𝑡𝑎𝑚𝑢." ~𝐿𝑎𝑠𝑡 𝐶ℎ𝑖𝑙𝑑.
Dan dari situlah kita semua belajar bahwa : "Cinta tak selalu tentang 𝑚𝑒𝑚𝑖𝑙𝑖𝑘𝑖, tapi tentang cara kita belajar untuk mulai 𝑚𝑒𝑙𝑒𝑝𝑎𝑠𝑘𝑎𝑛. Terkadang cinta tahu kapan harus berhenti berjuang untuk orang yang tak akan pernah benar-benar tinggal."
Kisah ini terinspirasi dari lagu berjudul '𝑆𝑒𝑙𝑎𝑚𝑎𝑡 𝑇𝑖𝑛𝑔𝑔𝑎𝑙' yang di tulis oleh 𝑉𝑖𝑟𝑔𝑜𝑢𝑛.
***
"Ila, nanti mau pulang bareng lagi gak?" Ucap seorang lelaki.
"Bolehh! Nanti sekalian aku mampir ke warung bu Ettie yaa!" Jawab seorang gadis dengan girang.
"Siappp! Laksanakan perintah!" Ucap lelaki itu sambil terkekeh.
...
Aku Ila, atau nama panjang nya Camilla Kastarilie. Gadis remaja yang sudah kelas 2 SMA, lelaki tadi adalah pacar ku yang bernama Mahessa Jayakrisna, sering ku panggil Hessa. Kami sudah berpacaran selama 1 tahun, cukup lama ya?.
Banyak orang yang bilang hubungan kami mirip seperti cerita drama yang manis dan sempurna. Hessa juga adalah tipe cowok idaman di sekolah, ia pintar, kalem, jago main basket, dan asik!. Sedangkan aku? Yaa, bisa dibilang hanya gadis biasa namun beruntung karna bisa mendapatkan seorang lelaki populer seperti Hessa.
Tapi... siapa bilang hubungan romantis kami akan berjalan begitu lama?.
Akhir-akhir ini ia selalu sibuk. Katanya latihan ekstra untuk turnamen basket antar sekolah, aku percaya tentunya. Namun, rasa sepi dan harapan terus menjalar di sekitarku. Ya, aku merindukan kebersamaannya disisi ku.
Aku masih ingat betul, 2 minggu lalu adalah hari anniversary yang ke 2 tahun kami, namun ia lupa akan hal itu. Padahal sudah susah payah aku membuat scrapbook yang berisi foto dan kenangan kami selama 1 tahun ini. Tapi, dia malah membalas pesanku dengan singkat. "Maaf, lagi latihan".
Entah bagaimana, hatiku rasanya tidak tenang. Banyak pertanyaan yang terus mengisi otakku, tapi aku hiraukan semua itu. Wajar, ia sedang fokus untuk memenangkan turnamen itu dan membawa nama baik bagi sekolah kita.
Aku takut jika 2 hari kemarin aku salah dengar dari teman ku Zila. Katanya Hessa sedang duduk di kantin bersama dengan seorang cewek dari ekskul dance. Duduknya terlalu dekat, senyuman yang selama ini dia berikan hanya untuk ku, di berikan lagi pada cewek lain.
Benar kah aku salah dengar? Atau memang itu kenyataan nya...?
Jawaban dari pertanyaan ku adalah... NYATA, semuanya nyata.. aku tak sedang berhalusinasi. Karna saat itu ia datang untuk pertama kali, dan terakhir kalinya.
...
Disaat itu, aku sedang berada di perpustakaan untuk mengembalikan buku pembelajaran yang telah aku pinjam dalam 1 minggu ini, saat seorang lelaki memanggil ku dengan suara yang serak dan pelan namun lembut. Dan yap, itu Hessa.
"Ila..."
"Iya? Kenapa Hes?" Jawab ku sambil mengembalikan buku ke tempat nya.
"Maaf, maaf buat 2 minggu lalu.."
"Gapapa kok, kamu juga lagi fokus, wajar...kan?" Saat aku mencoba menjawab pernyataan itu, tiba-tiba suara ku seperti tertelan oleh udara. Sangat susah untuk mengeluarkan jawaban itu, namun aku paksa agar ia tak khawatir.
"Bukan itu doang Ila... ada yang lain"
Ya, pernyataan kedua itu yang membuat ku seketika bungkam tak bersuara. Seperti kali ini, sangat susah untuk menjawab itu semua. Banyak hal yang ingin ku tanyakan padanya, namun semua itu ku simpan jauh-jauh di dalam hati.
Mungkin pertanyaan yang selama ini aku buat tak akan menghasilkan apa-apa. Jadi, ku simpan untuk sementara. Jika suasana nya mulai membaik, akan kutanyakan pertanyaan yang mengganjal di hatiku ini padanya.
"Gue... gue udah suka sama yang lain Ila"
Aku benar-benar terdiam akan hal itu, kupikir semua itu hanyalah imajinasi ku karna kecapean, ternyata benar semua itu nyata. Aku sudah bicara, tapi seperti nya tak terdengar olehnya.
Sakit.. ini adalah pernyataan yang tak pernah ingin aku dengar darinya maupun dari orang lain secara langsung. Tapi bagaimana mungkin untuk menolaknya? Karna itu sudah takdir, memang ya... jodohku, bukan dia. Padahal aku sudah sangat mencintai nya, tapi kenapa harus gini akhirnya..?
"Oh, iya.. cewek dance itu kan? Kalau gak salah namanya... Talia ya?"
DEG-
Talia, akhir-akhir ini nama itu sangat populer di kalangan sekolah. Mereka bilang bahwa Hessa dan Talia adalah pasangan yang cocok di bandingkan aku. Semua gosipan yang sudah beredar itu seperti menghantam dadaku dengan keras. Kini, semua yang ia perlakukan padaku menjadi sia-sia.. dari awal seharusnya yang ia perlakukan dengan lembut itu adalah Talia bukan aku. Kenapa harus aku? Ia tak boleh memperlakukan aku dengan sangat lembut, karna jodohnya adalah Talia. Sedangkan aku apa? Hanya gadis biasa yang tak populer.
"Kalau memang begitu, mari kita akhirin semua luka ini Hes"
"Ila.. bukan itu maksudnya!" Ucapnya sambil menggenggam erat tangan ku.
"Apasih? Kan kita udah jadi asing, kenapa harus nyentuh-nyentuh? Nanti Talia marah lho ke aku!" Jawabku sambil menghempaskan tangan Hessa dengan paksa.
Seketika bibirku bicara akan hal yang tak pernah aku duga bisa tersebut. Jangan.. jika dilanjut, maka kalimat ku ini akan menusuk hati Hessa.. jangan di lanjutin! Bawalah kalimat yang menyakitkan itu padaku, biarkanlah aku yang merasakan itu semua untuk selamanya.
Namun sebelum itu, mataku untuk pertama kalinya setelah aku berjanji, mengeluarkan air mata lagi. Padahal aku sudah berjanji untuk tidak menangis, jika aku menangis maka semua orang akan mengganggap ku lemah. Jangan, kumohon! Jangan ingkar janji ini..!
"Maaf Ila, maaf aku belum bisa membahagiakan mu. Padahal aku sudah berjanji akan menjadikan mu wanita paling bahagia di dunia ini" Ucapnya dengan bibir yang mulai bergetar.
Hah? Belum bisa membahagiakan ku? Jangan bercanda Hessa! Dengan hadirnya dirimu di hidup ku itu sudah menjadi kebahagiaan ku. Mau kau buat aku sebahagia apa Hessa? Aku ini sudah bahagia karna kamu. Kamu membuatku bahagia dengan cara yang tak pernah kuduga akan terjadi.
Tapi itu semua membuat hatiku tersenyum dan tertawa. Apa maksud mu dari bahagia untuk ku Hessa? Atau ini semua hanya kalimat manis yang kau sertakan agar aku tak bersedih?.
"Gapapa, kamu udah cukup berjuang untuk membahagiakan aku. Aku hargai itu semua Hes.. gapapa juga, itu pilihan terbaik mu untuk saat ini kan? Jadi pilih lah.. aku tak akan sedih kok"
"Enggak Ila, bukan itu-"
"Hessa, kamu tau? Gak semua penjelasan harus di dengar, kadang saat kita bungkam, semua jawaban atas pertanyaan ini terlintas begitu saja di benak kita. Dan pada akhirnya kita tahu semua jawaban yang tak perlu dengan penjelasan"
"Jangan gitu Ila! Dengerin dulu"
"Hessa... udah ya? Gue udah capek berjuang.. jangan kau sakiti hatiku lagi. Cukup sudah selama ini gue menyimpan semua luka, jangan buat semua luka ku terbuka lebar-lebar lagi.. memangnya kamu mau bertanggung jawab atas itu semua?" Ucapku dengan air mata yang terus berlinang di pipi pink ku.
Siapa? Siapa! Ini bukan diriku! Aku tak akan pernah berani mengatakan ini padanya.. jangan! Berhenti!
Seketika Hessa terdiam, namun ia mengeluarkan kalimat lagi. Mungkin untuk yang ke terakhir atau pertamanya.
"Ila, maaf.. gue gak pernah berniat buat nyakitin hati lo, gue gak tau cara yang benar buat bertahan dengan lo tanpa harus saling menyakiti"
Ia terdiam sejenak dan menghela nafas dengan berat.
"Ila, kadang cinta itu gak sanggup buat kita gak saling menyakiti"
Hm? Apa maksud semua ini Hessa? Apakah anggapan ku akan kalimat manis itu benar? Bertahan ya? Apa ini yang kamu sebut bertahan? Bertahan apa yang bisa membuat semua janji yang kau ucapkan itu, terlanggar dengan keberadaan mu sendiri? Hessa, beginikah kau meladeni kata 'cinta' di hidup mu? Apakah ini versi mu yang belum selama ini aku lihat?
Aku tertawa miris di sela tangisku yang berlinang tanpa suara. "Kalau memang benar cinta kita tak cukup, kenapa kamu hadir dalam hidup ku? Kenapa kamu buat aku jatuh sedalam ini? Kenapa kamu membuka semua luka yang sudah ku sembuhkan kembali terbuka? Kenapa? Kenapa Hessa? Kenapa harus aku yang menjadi korban akan hal ini?
Aku tak pernah menginginkan ini semua! Yang kuinginkan adalah kebahagiaan. Sudah cukup kehadiran mu dalam hidupku membuat ku bahagia walau sederhana. Dan sekarang, apa maksud mu dengan semua hal yang sudah terjadi Hessa? Kau mau membuat ku terluka lagi?" Ucapku dengan air mata yang menjadi-jadi.
CUKUP!! INI BUKAN AKU YANG SEBENARNYA! SIAPA?! Siapa yang mengendalikan ku untuk berkata semua ini padanya?! Cukup aku simpan ini dalam diriku jauh-jauh! Jangan kau bagikan hal ini padanya Ila!.
Hessa hanya terdiam. Membeku di tempat, ia ingin mengatakan sesuatu tapi suara itu tak sampai di telingaku dengan benar.
"Kau dengar saja ya Hessa.. gue bukan mainan mu, kamu tak pantas memainkan perasaan ku seperti ini. Selama ini aku telah salah untuk menerima mu. Ternyata semua ini adalah trick kamu agar aku bisa terluka sedalam ini. Aku tanya, kenapa kau membuat hal itu padaku? Kenapa kamu menjatuhkan ku lebih dalam lalu meninggalkan ku begitu saja?
Sudahlah, semua ini hanya sia-sia. Kau membuang waktu ku saja Hessa" Ucapku sambil berlalu pergi, namun sebelum itu aku dihadapkan dengan kehadiran Talia yang begitu tiba-tiba.
"Eh? Ila? Hai!" Ucapnya sambil melambaikan tangan padaku.
"Iya" Jawabku singkat, namun aku tak ingin berada di situ lebih lama lagi, jadi aku pergi tanpa menyapanya.
Talia, teman ku dulu sampai sekarang yang sudah menemaniku selama ini. Jika aku terluka, pasti aku akan mengeluarkan isi hatiku padanya setiap saat. Namun ini beda, luka ini terjadi karna keputusan Hessa yang salah. Ia sempat mengkhawatirkan ku saat gosipan tentang dia dan Hessa beredar. Ia berjuta kali meminta maaf padaku karena itu adalah keputusan Hessa, bukan dia. Aku memaafkan semua itu, namun luka yang selama ini terbalut rapih agar tak terbuka lagi. Menjadi terbuka karena Hessa.
Kenangan kita di sini sudah berlalu, jadi. Aku putuskan bahwa aku.. Camilla Kastarilie dan Mahessa Jayakrisna resmi putus.
***
Entah luka yang sudah terbuka ini bisa disembuhkan dan dijahit kembali atau tidak. Bagaimana pun hasil nya aku tak akan pernah tahu, karena ini semua takdir dan Tuhan yang menentukan. Semoga saja bisa disembuhkan, karena inilah realita dari kehidupan.
Aku tak tahu, memang aku yang menginginkan kata-kata itu keluar dari mulut ku, atau memang itu adalah ketidaksengajaan yang kubuat.
Sebenarnya aku tak ingin kebersamaan kita berakhir begitu saja, namun mau bagaimana lagi... ini memang sudah alur dari cerita kita, kita tak bisa ubah lagi. Ya, walau begitu.. aku masih berharap dia menyesal akan keputusan yang ia lakukan.
Jika memang semua ini harus berakhir, aku berharap setidaknya luka ini tak akan bertambah dalam. Karna aku adalah korban luka tanpa darah, meski tak seorang pun bisa melihat bekasnya.
Kali ini, aku hanya terdiam... berharap Tuhan akan menulis ulang sebagian kisah cerita ku dan menunggu takdir bekerja.
...
Hidup ku sekarang berjalan seperti biasa, tanpa seseorang yang kucintai lagi. Aku yang sekarang... sudah berjanji tak akan jatuh cinta pada lelaki yang tak setia lagi, walau begitu aku akan mencari seorang lelaki yang setia dan tak akan pernah mengkhianati.
Aku sudah muak akan diriku yang dulu, terlena oleh ketampanan dan kebaikannya... ternyata di balik itu semua, dia adalah ular yang menempati sarangnya (alias aku) dan jika ada apa-apa ia pergi berganti tempat dan sarang.
Begitulah alurnya, namun aku sudah kukuh akan aku yang sekarang.. tak akan terlena oleh kebaikan nya lagi, dan begitu seterusnya.
***
3 tahun kemudian...
"Laa!"
"Eh Dina"
"Pulang bareng yukkk, sekalian nanti aku traktirin makanan di kafe biasa deh!"
"Yeii! Ok"
Yang baru saja ingin mentraktir aku itu adalah Dina, teman kuliahan ku. Yap, sekarang aku sudah di masa kuliah.. aku memasuki jurusan desain baju. Yaaa banyak sih pesenan baju aku.. karna saat sudah memasuki jurusan desain, aku langsung diajarkan membuat baju step by step dan akhirnya aku berinisiatif untuk menjual baju pada teman-teman ataupun keluarga ku.
Aku lumayan bekerja keras akan hal itu, agar aku mendapatkan uang dan membayar spp dan hal lain untuk kuliah ku. Aku tak ingin membebani orang tua.. maka dari itu aku bekerja untuk mendapatkan penghasilan kecil-kecilan, saat aku sudah sangat mahir aku akan membuat toko baju sendiri.
"Eh? Bukannya itu Leo ya? Cieee~!"
"Iya" Ucapku tersipu malu.
"Samperin gih.. aku mau pesen minuman sama makanan dulu, nanti kalau udah jadi aku panggil yaa!" Ucapnya sambil pergi berlari kecil ke arah counter untuk pesan dan membayar makanan/minuman.
"Hai Ila.."
Aku pun seketika menoleh dan mendapatkan Leo yang tengah berdiri sambil melambaikan tangan kanannya padaku. Tak lupa juga untuk membeberkan senyuman khasnya yang selalu berhasil membuat ku salah tingkah.
"H-Hai Leo.." Ucapku gugup.
"Kamu sendirian?" Tanyanya sambil melirik ke sekeliling kafe mencari sosok lain.
"Enggak kok, aku sama Dina ke sini. Btw dia juga lagi mesen makanan" Jawabku sambil tersenyum simpul.
Leo pun mengangguk, dan tanpa basa-basi lagi dia duduk berhadapan dengan ku. Mungkin ia ingin menjaga sedikit jarak denganku agar aku merasa nyaman. Walau duduknya tak di sebelah ku, aku masih bisa mencium wangi parfume nya yang beraroma Woody dan Vanilla.
"Kalau kamu ke sini ada janji sama orang, atau cuma sendirian aja?"
"Hmm... lebih tepatnya bukan janjian sih" Leo tersenyum kecil, "tapi aku mau dipertemukan sama seseorang. Katanya penting, soalnya kemarin Dina chat aku. Dia bilang ada orang yang pengen ketemu sama aku. Entahlah siapa sampai sepenting itu"
"Hmmm, seseorang ya?" Aku pun bingung, siapa yang Dina maksud sebagai orang penting itu. Curiga itu aku.
Leo pun tersenyum kembali dan dengan tatapan jahil ia berkata, "Iya.. aku juga gak tau itu siapa, tapi anehnya waktu aku sampai di sini, yang pertama kali aku liat itu kamu Ila.."
Langsung seketika jantung ku hampir ingin lepas, wajahku memanas tak karuan, seakan-akan semua kebetulan ini sudah diatur jauh hari. Aku masih diam, mencoba menenangkan jantungku yang rasanya berdebar terlalu cepat. Leo juga tak banyak bicara setelah itu.
“Dingin, ya?” katanya pelan. Sebelum aku sempat menjawab, ia sudah melepas jaketnya dan menaruhnya di bahuku.
“Aku nggak apa-apa, Le—"
“Udah, pakai aja. Kamu kedinginan, lagian beberapa hari ini hawanya memang dingin.” potongnya lembut. Suaranya tidak memaksa, tapi hangat. Sehangat jaketnya yang masih menyimpan aroma khas dirinya.
Aku menggenggam ujung lengan jaket itu, menunduk malu. “Makasih ya Leo, kamu baik banget."
Leo tersenyum tipis, lalu memalingkan pandangannya pada jalanan yang mulai terang oleh lampu-lampu. “Aku cuma nggak mau lihat kamu nggak nyaman, Ila. Belakangan ini kamu selalu pakai pakaian yang tipis untuk hawa di bulan ini.”
Hening sejenak. Hanya suara orang berbincang dan lagu-lagu yang menemani isi kafe itu. Lalu Leo mengangkat tangan kanannya, dan secara cepat seorang pelayan menghampiri. Seperti nya Leo sedang memesan sesuatu. Beberapa menit kemudian, pelayan itu kembali membawa dua gelas cokelat panas.
“Cokelat?” tanyaku, sedikit heran.
Leo yang duduk bersebelahan denganku, menyerahkan satu gelas."Aku kurang tahu kamu suka apa, tapi untuk menghangatkan diri sepertinya ini cukup" Ucapnya penuh senyuman lembut.
"Gapapa kok, aku suka coklat panas. Makasih ya Leo"
"With my pleasure, Princess"
Dengan cepat ia bisa membuat aku tersedak minuman coklat panas itu dengan kalimat akhirnya 'Princess'.
***
2 minggu setelahnya
Malam dingin saat itu menjadi awal dari kisah baru antara aku dan Leo. Ya, aku dan Leo kini resmi berpacaran. Kami saling berbagi tawa, cerita sedih, juga kebahagiaan yang rasanya tak pernah habis. Malam itu kami sangat bahagia.
Sepulang dari kafe favorit kami, tempat pertama kali kami bertemu dan mengungkapkan perasaan aku diantar oleh Leo pulang, suasana di dalam mobil dipenuhi tawa kami berdua.
Namun beberapa saat kemudian, tawa itu mereda ketika aku tanpa sengaja melihat Hessa sedang berjalan dengan seorang gadis di Taman Kenanga. Mereka tersenyum satu sama lain, dan seketika luka lama di hatiku terasa terbuka kembali.
Tapi sebelum rasa itu sempat menguasai, suara lembut Leo kembali menenangkanku. Ia menggenggam tangan kananku dengan hangat, mengusapnya perlahan. Dia tahu persis apa yang sedang kurasakan.
“Ila…” ucapnya lirih, penuh empati.
Aku menoleh ke arahnya dan tersenyum kecil.
“Gak apa-apa kok, Leo. Sekarang gue udah nemuin orang yang paling spesial di hidup gue.”
Mendengar itu, wajah Leo yang tadinya sedih langsung berubah sumringah, seakan seluruh rasa cemasnya hilang begitu saja.
Ya, aku sudah mulai melupakannya malam itu dan berniat untuk menghapus memori-memori lama kami. Digantikan oleh memori-memori Leo.
22 Maret xxxx
"Mamah, papah!" panggil seorang gadis kecil.
"Ya sayang? Kenapa?" Jawab perempuan yang di panggil Mamah itu.
"Habis ini kita makan es krim di tempat biasa ya!" Ucapnya dengan girang.
"Iya sayang, nanti papah traktirin sama mamah juga ya".
"AWW, makasih Papah! Love you!" ucap sang Mamah sambil tertawa kecil.
"Makasih Papah!" si gadis kecil ikut menirukan, matanya berbinar.
"Sama-sama," balas Papah dengan senyum hangat.
Mereka berjalan bertiga menyusuri taman sore itu. Cahaya matahari yang redup menyinari rambut sang gadis kecil, membuatnya tampak seperti kilau emas yang berlari-lari kecil di depan mereka.
Perempuan itu menggenggam tangan lelakinya sambil tersenyum.
Segala terlihat sempurna.
Hidupnya terasa utuh.
Namun langkahnya tiba-tiba terhenti.
Di sisi lain taman, berdiri seseorang yang dulu pernah ia cintai.
Seseorang yang dulu pernah ia perjuangkan mati-matian.
Hessa.
Dan di sampingnya, seorang gadis mungkin kekasih barunya tertawa lembut sambil merapikan syal di leher Hessa.
Tawa mereka… terlalu familiar.
Terlalu mirip dengan masa lalunya yang dulu.
Dadanya serasa sesak.
Bukan karena ia masih mencintai Hessa…
tapi karena momen itu terasa seperti pintu masa lalu yang tiba-tiba dibuka paksa.
"Mamah!"
Suara putrinya memecah lamunannya.
Sang anak kecil berlari memeluk pinggangnya, tiba-tiba penuh semangat seperti biasa.
"Kita jadi makan es krim, kan?" tanyanya polos.
Ia tersenyum rapuh, tapi nyata.
Lalu membungkuk, mengusap kepala kecil itu.
"Iya, sayang. Kita tetap makan es krim."
Saat ia berdiri kembali, Hessa menoleh.
Tatapan mereka bertemu.
Hessa sempat tersenyum kecil…
senyum lama yang dulu pernah membuatnya bahagia.
Tapi kini…
hanya terasa seperti ucapan:
"Terima kasih untuk dulu.
Dan selamat tinggal."
Lelaki itu meraih tangannya, menggenggamnya erat, seolah berkata,
"Aku di sini. Kamu nggak sendiri."
Ia menarik napas pelan, membalas genggaman itu.
Meninggalkan Hessa di belakangnya,
ia melangkah lagi menuju masa depan yang sudah menunggunya sejak lama.
Sore itu, untuk pertama kalinya…
Ia benar-benar mengerti:
"𝑩𝒆𝒃𝒆𝒓𝒂𝒑𝒂 𝒑𝒆𝒓𝒕𝒆𝒎𝒖𝒂𝒏 𝒅𝒊𝒄𝒊𝒑𝒕𝒂𝒌𝒂𝒏 𝒖𝒏𝒕𝒖𝒌 𝒅𝒊𝒔𝒚𝒖𝒌𝒖𝒓𝒊. 𝑫𝒂𝒏 𝒃𝒆𝒃𝒆𝒓𝒂𝒑𝒂 𝒑𝒆𝒓𝒑𝒊𝒔𝒂𝒉𝒂𝒏 𝒅𝒊𝒄𝒊𝒑𝒕𝒂𝒌𝒂𝒏 𝒖𝒏𝒕𝒖𝒌 𝒅𝒊𝒔𝒂𝒅𝒂𝒓𝒊... 𝒔𝒖𝒅𝒂𝒉 𝒔𝒆𝒎𝒆𝒔𝒕𝒊𝒏𝒚𝒂 𝒕𝒆𝒓𝒋𝒂𝒅𝒊."
Ada seseorang yang pernah berkata seperti ini :
"𝑨𝒅𝒂 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒉𝒂𝒓𝒖𝒔 𝒎𝒆𝒏𝒆𝒓𝒊𝒎𝒂,
𝑨𝒅𝒂 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒉𝒂𝒓𝒖𝒔 𝒎𝒆𝒍𝒆𝒑𝒂𝒔𝒌𝒂𝒏.
𝑯𝒊𝒏𝒈𝒈𝒂 𝒂𝒌𝒉𝒊𝒓𝒏𝒚𝒂 𝒅𝒊𝒂 𝒕𝒂𝒉𝒖,
𝑨𝒑𝒂 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒕𝒆𝒓𝒃𝒂𝒊𝒌 𝒖𝒏𝒕𝒖𝒌𝒏𝒚𝒂."