Leona "Si Alarm Hidup" adalah mahasiswi akhir semester dengan energi setara tiga kaleng minuman penambah stamina dan tingkat posesif yang bisa membuat satpam kampus iri. Targetnya? Dion "Si Beruang Kutub", cowok paling irit senyum, irit bicara, dan irit ekspresi di jurusan Teknik.
Pagi itu, di koridor kampus yang sepi, Leona sedang menjalankan "Misi Pantau Pagi Hari". Ia mengintai Dion yang sedang membaca jurnal dengan wajah sedatar tembok.
"Dion! My dearest, my sun, my only source of vitamin D!" seru Leona sambil berlari kecil menghampiri.
Dion hanya menggeser badannya sedikit, seolah Leona adalah nyamuk yang mengganggu konsentrasi. "Hm."
Leona tidak gentar. Ia langsung menyodorkan sebuah kotak bekal berwarna merah muda cerah. "Aku bawakan bekal! Isinya nasi goreng spesial! Aku yakin kamu lapar karena tadi malam aku cek story IG-mu dan kamu cuma like foto kucing, yang berarti kamu kurang asupan gizi!"
Dion melirik bekal itu sekilas. "Saya sudah sarapan."
"Sarapan apa? Seteguk air putih dan sebatang kesunyian?" Leona cemberut. "Ini nasi goreng! Ada irisan sosis bentuk love! Aku bahkan menambahkan bumbu rahasia: kecemburuan kecil karena kamu lebih sering menatap laptopmu daripada aku!"
Dion menghela napas, menutup jurnalnya dengan sangat pelan, yang bagi Leona terasa seperti adegan menegangkan di film thriller. "Leona, kamu tahu kita tidak pacaran."
"Kata siapa tidak?" Leona berkacak pinggang. "Aku sudah mengklaim hatimu sejak tiga bulan lalu, tepatnya saat kamu meminjamkan pulpenmu yang berujung tumpul padaku. Itu adalah ikatan sakral!"
"Itu hanya pulpen," balas Dion tanpa nada.
"Pulpen itu sekarang kubingkai! Dan setiap malam aku menyanyikan lagu nina bobo untuknya agar dia tidak rindu padamu!" Leona drama. "Pokoknya, buka bekal ini! Jika kamu tidak makan, aku akan menganggap kamu sedang selingkuh dengan ayam krispi di kantin sebelah!"
Di sore hari, Leona menemukan Dion sedang mengerjakan tugas di perpustakaan. Leona mendekat dengan langkah pelan dan senyum misterius.
"Permisi, apakah saya boleh duduk di sini?" bisik Leona dengan suara seolah ia sedang membocorkan rahasia negara.
Dion hanya mengangguk tanpa melihat.
Leona duduk, mengeluarkan buku, dan mulai membaca. Lima detik kemudian, ia berseru, "Dion!"
Dion nyaris melompat. Ia menatap Leona dengan tatapan 'apa-lagi-kali-ini'.
"Aku baru ingat!" Leona menjentikkan jari. "Kita harus membuat 'Perjanjian Kontrak Pacaran'.
Pasal 1: Dilarang menatap objek lain selain Leona lebih dari 3 detik, kecuali lampu merah.
Pasal 2: Wajib melaporkan kegiatan pernapasan setiap jam.
Pasal 3..."
"Leona," potong Dion, suaranya sedingin AC 2PK.
"Pasal 1: Kita tidak pacaran.
Pasal 2: Dilarang mengganggu ketenangan publik.
Pasal 3: Jaga jarak 1 meter dari saya saat saya sedang fokus."
Leona memasang wajah sedih yang sangat meyakinkan. "Jaga jarak? Kamu tega? Padahal aku sudah memakai parfum spesial yang aromanya akan membuatmu merasa seperti dipeluk oleh 100 boneka beruang. Parfumnya namanya: 'Rindu Leona Seberat Skripsi'!"
Tiba-tiba, mata Leona membulat. Ia mendekat ke wajah Dion dan menyipitkan mata.
"Tunggu sebentar," katanya curiga. "Kenapa kamu senyum-senyum tadi?"
"Saya tidak senyum," jawab Dion datar.
"JANGAN BOHONG!" Leona menuduh. "Aku melihat sudut bibirmu naik 0.001 milimeter! Siapa yang kamu pikirkan? Pasti cewek lain! Tadi kamu chatting sama siapa? Mana HP-mu! Aku harus mengecek apakah ada virus 'pelakor digital' di sana!" Leona mencoba merebut ponsel Dion.
Dion, dengan gerakan yang entah dari mana, berhasil menahan tangan Leona sambil memegang ponselnya dengan erat. Leona terkejut karena ini pertama kalinya Dion melakukan kontak fisik yang signifikan.
"Saya," kata Dion, suaranya sedikit serak, "baru saja membaca meme tentang cara menjadi cowok cool di tengah serangan cewek absurd."
Leona terdiam, matanya berkaca-kaca, bukan karena sedih, tapi karena baper. "Aww... jadi kamu melakukan riset tentang kita? Kamu benar-benar mencintaiku!"
"Itu adalah lelucon konyol yang saya temukan saat mencari referensi jurnal," ralat Dion cepat, menarik tangannya.
Leona menyandarkan kepala di bahu Dion tanpa izin. "Dion, kamu tahu? Sikap dinginmu itu seperti es krim di musim panas. Kelihatannya beku, tapi aku yakin di dalamnya ada rasa manis stroberi yang siap meleleh begitu aku jilat— maksudku, begitu aku dekati!"
Dion hanya bisa menghela napas panjang, sangat panjang, seolah ia sedang mengumpulkan tenaga untuk mendaki Gunung Everest. Ia menatap Leona, matanya yang biasa dingin kini memancarkan sedikit... kelelahan yang bercampur pasrah.
"Leona," kata Dion.
"Ya, honey?"
"Pulpen yang kamu bingkai itu... itu pulpen pinjaman dari Bu Dosen. Saya baru mengambilnya tadi pagi."
Leona membeku. Ia menegakkan tubuhnya, rahangnya turun. "APAAAA? JADI ITU BUKAN PULPEN CINTA KITA? PULPEN ITU ADALAH ALAT BUKTI PENGKHIANATAN? Aku akan menghancurkan bingkainya! Lalu aku akan membuat bingkai baru dengan sisa air mata cemburuku!"
Dion hanya memijat pelipisnya. Ia tahu, melawan Leona sama saja dengan mencoba mematikan matahari. Ia melihat ke ponselnya, lalu menghela napas lagi.
"Oke," kata Dion, dengan suara nyaris tak terdengar. "Besok malam, jam tujuh. Kita makan nasi goreng dengan sosis love itu. Di luar kampus. Kamu yang pilih tempatnya."
Leona langsung berdiri, matanya berbinar, ekspresinya berubah dari ratu drama menjadi pemenang lotre. Ia menjerit tertahan sambil memeluk tasnya.
"YEEEESSS! BERUANG KUTUB KITA SUDAH MULAI MELELEH! Ini kencan! Resmi! Aku akan memesan tempat di mana mereka menyajikan hidangan dengan porsi kecil, biar aku bisa mencuri makananmu dan kamu tidak sadar!"
Dion hanya menggelengkan kepala, di sudut bibirnya muncul senyum tipis, sangat tipis, nyaris tak terlihat, namun nyata. Tapi sebelum Leona sempat menyadarinya, Dion sudah kembali memasang wajah datarnya, meskipun kali ini, ada jejak lelah yang manis di sana.
"Dan Leona?"
"Ya, cintaku?"
"Jangan bawa bingkai pulpen itu ke kencan."
"Siap, Kapten!".