> “Sometimes, love doesn’t end — it just changes form.
From words, into silence.
From presence, into memory.” 🌧️
________
Prologue🧚♀️
Senja di kota kecil bernama Hallstatt, Austria, begitu tenang. Danau memantulkan warna langit jingga pucat, seakan waktu berhenti hanya untuk memberi ruang pada satu perasaan yang belum selesai. Di antara kabut tipis dan aroma bunga Forget Me Not yang tumbuh liar di tepi air, dua remaja berdiri berhadapan—tidak saling mengenal, tapi matanya seperti mengingat sesuatu yang dulu pernah ada.
_____
Liora, gadis berambut cokelat keemasan dengan mata hijau pudar, baru pindah dari London bersama keluarganya. Ia sering berjalan sendirian ke tepi danau setiap sore, membawa sketsa dan kuas kecil. Bagi Liora, warna adalah cara bicara yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Tapi entah kenapa, setiap kali ia mencoba melukis bunga biru kecil di tepi danau, hatinya terasa sesak—seperti ada seseorang yang menatap dari masa lalu.
Hari itu, ia melihat seorang cowok duduk di kursi kayu dekat jembatan tua. Dia mengenakan sweater abu-abu dan earphone, matanya menatap kosong ke arah langit.
Namanya Adrien. Remaja asal Prancis yang pindah ke Austria untuk belajar musik klasik. Wajahnya tenang, tapi pandangannya seperti memendam sesuatu yang berat.
Ketika pandangan mereka bertemu, waktu seolah berhenti.
“Have we… met before?” tanya Liora pelan, setengah tidak percaya pada dirinya sendiri.
Adrien tersenyum samar. “I was about to ask the same thing.”
Mereka tertawa kecil, tapi ada getaran aneh di dada masing-masing—bukan karena jatuh cinta pada pandangan pertama, melainkan karena rasa déjà vu yang begitu nyata.
______
Seiring hari berlalu, Liora dan Adrien sering bertemu di danau yang sama. Mereka berbagi cerita—tentang musik, lukisan, dan mimpi aneh yang terus berulang. Adrien bermimpi berjalan di padang bunga biru, sementara Liora bermimpi seseorang melempar karangan bunga kecil ke arahnya dan berteriak “Forget me not!” sebelum menghilang dalam cahaya air.
“Lucu ya, kita mimpi hal yang sama,” kata Adrien suatu sore.
Liora menatap danau, senyumnya redup. “Mungkin mimpi itu bukan sekadar mimpi.”
Adrien menatapnya lekat, seperti berusaha membaca kenangan yang tidak tertulis di matanya.
“Kalau begitu… mungkin langit sedang mencoba mengingatkan kita.”
______
Epilog
Musim semi datang, dan tepi danau kembali dipenuhi bunga Forget Me Not. Adrien harus kembali ke Paris untuk konser besarnya, sementara Liora tetap di Hallstatt. Mereka berdiri di jembatan yang sama, di bawah langit yang mulai kelabu.
“Kalau kita memang pernah bertemu sebelumnya,” ucap Liora pelan, “aku harap dunia tidak lupa tentang kita.”
Adrien tersenyum, mengambil satu tangkai Forget Me Not dan menyelipkannya di buku sketsa Liora.
“Then let the sky remember us… just like this flower.”
Ketika Liora membuka bukunya beberapa minggu kemudian, bunga itu sudah mengering—tapi warnanya tetap biru lembut, seperti langit yang tidak pernah benar-benar melupakan.
"TO BE COUNTED"
_______
✨ Makna Cerita:
Bunga Forget Me Not di sini menjadi simbol bahwa cinta, kenangan, dan jiwa manusia tidak pernah benar-benar hilang—mereka hanya berubah bentuk, tersimpan di antara warna langit, mimpi, dan bunga kecil yang abadi.
______________________
🌙 The Letters We Never Sent
(A continuation of “Where the Sky Remembers Us”)
> Two hearts, two cities, one memory that never fades.
They were separated by distance, but remembered by the same blue flower — Forget Me Not.
_______________
Diary of Liora – Paris, Spring Evening
15 April
Sudah dua bulan sejak Adrien pergi.
Dan setiap kali matahari terbenam, aku masih melihat bayangannya di pantulan air danau Hallstatt—atau mungkin hanya bayangan dari hatiku yang belum selesai belajar melupakan.
Aku kini berada di Paris. Kota ini penuh cahaya dan warna, tapi di mataku semuanya terasa pudar, seperti kanvas yang kehilangan warna birunya. Aku datang ke sini bukan untuk mencarinya, tapi… entah kenapa langkah kakiku selalu mengarah ke tempat yang mengingatkanku padanya.
Di taman dekat Seine River, ada bunga biru kecil yang tumbuh di antara rerumputan. Aku tahu namanya — Forget Me Not.
Dan untuk pertama kalinya, aku paham kenapa bunga itu disebut begitu. Karena ada kenangan yang tidak bisa hilang, bahkan jika kita memaksanya pergi.
__________
18 April
Hari ini aku melukis lagi. Kanvas putih, langit sore, dan sedikit biru di tengahnya—warna yang sama seperti di matanya. Tapi setiap kali kuusap kuas di kanvas, rasanya seperti menulis surat yang tak akan pernah kukirim.
Aku masih menyimpan bunga kering yang ia selipkan di bukuku dulu.
Warnanya memang mulai memudar, tapi bentuknya tetap sama. Kadang aku bertanya-tanya… apakah Adrien juga masih menyimpanku dalam ingatannya, atau aku hanya bagian dari musim semi yang sudah berlalu?
__________
20 April
Tadi sore aku pergi ke sebuah konser piano di gedung tua di pusat kota. Saat lampu meredup, dan melodi lembut mulai mengalun, aku tahu… itu dia. Adrien.
Tangannya menari di atas tuts, lembut tapi penuh emosi, seperti setiap nada adalah perasaan yang tak bisa diucapkan.
Dan di layar kecil di belakang panggung, muncul gambar bunga biru kecil — Forget Me Not.
Air mataku jatuh tanpa kusadari.
Ia masih mengingatku.
Tidak lewat kata-kata, tapi lewat musiknya...
____________
25 April
Kami bertemu lagi.
Bukan di tepi danau, tapi di jembatan Pont Alexandre III — langit malamnya dipenuhi cahaya dan angin hangat musim semi. Ia membawa seikat kecil bunga Forget Me Not yang baru dipetik.
“Kau datang jauh hanya untuk melihatku?” tanyanya lembut.
Aku tersenyum. “Atau mungkin langit yang membawaku ke sini.”
Kami tidak berbicara banyak setelah itu. Kami hanya berdiri diam, membiarkan waktu berhenti sekali lagi — seperti di Hallstatt dulu.
Adrien mengambil tanganku dan berkata,
“Maybe we were never meant to forget. Maybe that’s what love truly means.”
Aku tidak menjawab. Aku hanya menggenggam tangannya erat.
Dan di bawah langit Paris, dengan bunga biru kecil di antara kami, aku tahu:
kami akhirnya pulang — bukan ke tempat, tapi ke hati yang sama.
____________
Epilog – A Letter Never Sent
"Dear Adrien,
Thank you for remembering me — not with promises, but with music, colors, and the silence that spoke louder than any word. If the sky ever forgets us, let the flowers remind it again.
Love, always,
Liora." 🌸
_____________
> “In another time, in another life —
we would meet again under the same sky,
and call it destiny instead of memory.”
__________
✨ Makna akhir:
Cinta sejati bukan tentang memiliki selamanya, tapi tentang saling mengingat dalam setiap bentuk kehidupan — dalam musik, warna, dan bunga yang tidak pernah benar-benar layu.
AND THIS IS THE END