London, sore yang basah. Langit berwarna abu-abu, dan jalanan dipenuhi pantulan cahaya lampu toko.
Lira berdiri di depan toko bunga kecil di sudut Notting Hill. Tangannya gemetar saat melihat seikat Forget Me Not biru pucat di etalase.
“Aneh…” gumamnya pelan. “Kenapa bunga itu terasa begitu familiar?”
Di sisi lain kota, seorang pemuda bernama Elior sedang menatap kanvas kosong di studionya. Setiap kali ia menutup mata, wajah seorang gadis muncul — rambut cokelat keemasan, mata kehijauan, dan senyum samar di tepi sungai yang tak pernah ada di hidupnya.
Namun, ia tahu tempat itu nyata. Ia pernah melihatnya… di dalam mimpi.
Suatu sore, Lira masuk ke toko itu, dan Elior—yang sedang mengantarkan lukisan bunga pesanan—menatapnya untuk pertama kali. Dunia seakan berhenti.
Keduanya saling terpaku. Tidak ada sapaan. Tidak ada kata.
Hanya tatapan aneh yang terasa seperti déjà vu.
Seolah semesta berbisik, “Kalian pernah bertemu, hanya saja bukan di dunia ini.”
“Bunga itu…” ujar Lira pelan, menunjuk pada Forget Me Not di tangannya, “...aku seperti pernah menerimanya dari seseorang.”
Elior tersenyum tipis. “Mungkin, di mimpi yang sama dengan aku.”
Lira menatapnya.
Hujan turun pelan, memecah kesunyian.
Dalam benaknya, bayangan masa lalu muncul — sebuah taman luas, di bawah langit biru, seorang pemuda menyerahkan bunga yang sama sambil berkata,
“Kalau aku pergi, jangan lupakan aku.”
Dan sekarang, di dunia nyata, Lira menatap Elior — orang asing yang entah bagaimana mengembalikan warna pada dunianya yang kelabu.
Warna yang dulu hilang karena kenangan.
Warna yang ia benci… tapi juga rindukan.