Hujan selalu datang dengan cara yang sama: diam-diam, lalu tiba-tiba saja merayap masuk ke setiap celah kenangan yang ingin kuhindari. Malam itu, tepat dua tahun sejak kepergian seseorang yang tak pernah benar-benar siap kulepas, hujan turun lagi. Rintiknya mengetuk genteng seperti mengetuk-ngetuk sesuatu yang sudah retak di dalam diriku.
Aku duduk di beranda rumah, memeluk lutut, menatap jalan kampung yang becek dan sepi. Lampu-lampu kuning di sepanjang jalan memantul pada genangan air, berpendar seperti lampu-lampu kota yang kau suka foto. Kau selalu bilang, “Cahaya paling indah justru yang memantul di tempat paling kotor. Persis kayak manusia.”
Aku tersenyum getir mengingatnya. Hari ini seharusnya menjadi hari keduapuluh lima ulang tahunmu. Tapi setiap tahun, yang datang hanya hujan dan rasa sesak yang sama.
Dira..
Aku masih tinggal di tempat yang sama, mengulang-ulang hari yang sama, seolah dunia berhenti pada detik kau pergi.
---
Aku bertemu Dira di perpustakaan kecil dekat sekolah. Dia perempuan yang suka menyampirkan rambut di belakang telinga ketika membaca, dan selalu membawa pulang buku lebih banyak daripada yang sanggup ia baca. Ia sibuk dengan hal-hal kecil yang orang lain anggap tak penting, seperti menghitung jumlah daun jatuh dari pohon angsana atau memotret bayangan awan di aspal panas. Tapi justru hal-hal kecil itu yang membuatku jatuh cinta padanya.
Kami tumbuh bersama. Dari remaja, kuliah, hingga awal bekerja, semua rencana tentang masa depan selalu memakai kata “kita”. Hingga suatu hari, dunia mengambilnya tanpa permisi.
Kecelakaan.
Kata itu cukup untuk menghancurkan dua puluh tiga tahun hidupku.
Dan hari itu adalah hari pertama aku mengetahui bahwa hening bisa lebih memekakkan daripada teriakan mana pun.
---
Dua tahun berlalu, tapi kepergian Dira bukan sesuatu yang mudah dilupakan. Orang bilang, waktu akan menyembuhkan. Tapi waktu hanya mengajari bagaimana hidup dengan luka, bukan bagaimana menyembuhkannya.
Aku menjalani hari-hari seperti robot: bangun, bekerja, pulang, duduk di beranda, menunggu sesuatu yang tak akan kembali. Rumah ini terlalu besar untuk satu orang, terlalu penuh kenangan untuk hati yang sedang rapuh.
“Mas Rehan?”
Aku menoleh. Di ujung pagar, berdiri seorang gadis kecil berpayung kuning. Rambutnya basah di ujung, pipinya merah karena udara dingin. Aku tahu siapa dia, Naya, anak dari tetangga baru yang pindah dua bulan lalu.
“Ada apa, Naya? Malam-malam kesini,” kataku.
Dia menunduk, memainkan jari-jarinya. “Boleh numpang? Hujannya kenceng banget…”
Aku mempersilakannya naik ke beranda. Ia duduk di kursi kayu, memperhatikan air hujan menetes dari ujung payungnya. Lalu, tiba-tiba ia membuka tas kecilnya dan mengeluarkan sesuatu.
Sebuah poto, ia berikan kepada ku. Aku mengambilnya dan melihat potret seseorang yang sangat kukenal. Aku membeku.
“Ini… Mas Rehan ya?” Naya memiringkan kepala, polos.
“Dari mana kamu dapat ini?”
Naya mengusap hidungnya. “Tadi sore, aku nemu di bawah pohon angsana belakang rumah. Kayaknya kepunyaan Mbak yang sering duduk di situ.”
Jantungku serasa berhenti berdetak. “Mbak?” ulangku. “Maksudnya?”
“Iya.” Mata kecil itu menatapku dengan kejujuran yang menusuk.
“Aku sering lihat Mbaknya. Duduk di bawah pohon, suka senyum kalau aku lewat. Rambutnya panjang, pakai baju putih. Dia keliatan baik.”
Aku merasakan rambut di tengkukku berdiri. Aku mengenal deskripsi itu. Terlalu mengenal. Tapi itu tidak mungkin.
Dira…?
“Mas kenapa?” tanya Naya ketika melihatku pucat.
Aku menarik napas panjang, berusaha tenang. “Naya… selama dua bulan kamu tinggal di sini, kamu sering lihat Mbaknya itu?”
Ia mengangguk bersemangat. “Iya! Hampir tiap sore. Dia kadang nulis di buku juga. Tapi aku nggak bisa lihat mukanya jelas, soalnya suka tertutup rambut.”
Hujan di luar semakin deras. Angin menggoyangkan tirai kusam di pintu. Ada perasaan aneh merayap di dadaku—campuran antara rindu, takut, dan harapan yang tidak seharusnya dimiliki seseorang yang tahu tentang kehilangan.
“Ayo aku antar pulang,” kataku akhirnya. “Sudah malam.”
Naya menggeleng cepat. “Nggak usah. Ibu juga belum pulang kerja.”
Aku terdiam. “Kalau gitu, boleh tunggu di sini dulu.”
Ia tersenyum lega. “Makasih, Mas.”
Aku memandangi foto yang digenggamku erat. Foto itu kuambil tiga minggu sebelum kecelakaan. Dira berdiri mematung di bawah pohon angsana, wajahnya setenang sore hari. Aku ingat ia bilang, “Kalau aku nggak ada nanti, kamu harus janji buat tetap hidup ya, Han.”
Waktu itu aku cuma tertawa. Mana mungkin ia pergi lebih dulu, pikirku. Betapa sombongnya manusia di hadapan takdir.
---
Hujan perlahan mereda. Naya yang semula bercerita tentang sekolah dan kucing-kucing di gang, kini tertidur di sudut kursi. Aku mengambil selimut tipis dari dalam dan menyelimutinya.
Lalu aku berjalan ke belakang rumah. Ke arah pohon angsana. Hanya diterangi lampu teras yang redup. Aku berdiri di bawah pohon itu, memandangi tanah yang basah. Menunggu sesuatu yang bahkan aku sendiri tak tahu.
“Dira…” bisikku. “Apa kamu benar ada di sini?”
Hanya suara tetesan hujan dari dedaunan. Atau bukan Ada sentuhan angin lembut di pipi, seolah seseorang mengusapnya. Dadaku sesak.
“Kalau kamu benar di sini,” suaraku bergetar, “aku… aku minta maaf. Aku nggak bisa melupakan kamu. Aku berhenti hidup sejak kamu pergi. Apa itu salah?”
Tak ada jawaban.Air mataku jatuh begitu saja. Untuk pertama kalinya setelah dua tahun.
“Aku kangen…”
“Dira, aku kangen…”
Aku mengurung wajah dengan kedua tangan, bahuku bergetar hebat. Semua perasaan yang aku tekan selama dua tahun akhirnya pecah seperti bendungan jebol.
Ketika aku membuka mata, ada sesuatu di tanah.
Sebuah buku kecil. Buku jurnal milik Dira, yang kukira hilang hari itu.
Tanganku gemetar saat mengambilnya. Halaman pertamanya basah, tapi aku masih bisa membaca tulisan tangan itu.
Untuk Rehan.
Kalau hidup membuatmu berhenti, aku ingin kamu tahu… aku selalu ada. Mungkin bukan di dunia yang sama, tapi aku akan tinggal di apa pun yang kamu percayai. Di angin. Di cahaya. Di hujan. Di hal-hal kecil yang dulu selalu kamu anggap remeh.”
Kalau suatu hari kamu menemukan buku ini, berarti kamu sudah siap.
Dira.
Dadaku bergetar. Siap untuk apa?
Ada satu halaman terakhir, hanya berisi satu kalimat, tulisan yang tergesa-gesa, seperti ditulis beberapa hari sebelum kecelakaan.
“Rehan, tolong… teruskan hidupmu.”
Lututku melemah. Aku merosot ke tanah basah, memeluk buku itu sambil menangis seperti anak kecil. Hujan turun lagi, tapi aku tidak bergerak. Aku membiarkannya menyatu dengan air mataku.
---
Ketika aku kembali ke beranda, langit sudah cerah, menyisakan aroma tanah yang khas. Naya terbangun dan mengucek mata.
“Mas Rehan?” gumamnya. “Kok basah semua?”
Aku tersenyum samar. Untuk pertama kalinya setelah dua tahun, senyum itu tidak terasa seperti kepalsuan.
“Tidak apa-apa,” jawabku. “Ayo, aku antar kamu pulang sekarang. Ibu kamu pasti khawatir.”
Dia mengangguk dan mengambil payungnya. Saat kami berjalan melewati pohon angsana, aku menoleh sekali lagi. Tidak ada bayangan apa pun. Tidak ada perempuan berambut panjang.
Hanya kosong. Tapi anehnya, aku merasa… tidak sendiri.
---
Hari-hari setelah itu berjalan berbeda. Tidak tiba-tiba lebih cerah, tidak tiba-tiba lebih mudah, justru tetap sama beratnya. Tapi aku mulai berani keluar dari rumah. Aku mulai bekerja dengan benar. Aku mulai makan dengan teratur.
Aku tidak lagi duduk di beranda setiap malam menunggu sesuatu yang tak mungkin kembali.
Aku duduk karena ingin menikmati angin sore.
Karena ingin merasakan hidup.
Kadang hujan datang, membawa ingatan yang masih menyesakkan. Tapi aku belajar membiarkannya.
Aku masih merindukan Dira.
Dan mungkin akan selalu.
Tapi kini aku mengerti: Kehilangan bukan soal melupakan. Kehilangan adalah tentang menerima bahwa beberapa orang hanya bisa kita cintai melalui ingatan.
Dan itu tidak apa-apa. Karena beberapa cinta tetap hidup, bahkan ketika orangnya tidak.
---
Suatu sore, ketika aku sedang menyiram tanaman, Naya berlari menghampiriku. “Mas Rehan!” serunya. “Aku lihat Mbaknya lagi!”
Aku membeku. “Di mana?”
“Di bawah pohon angsana! Dia senyum ke aku terus jalan ke arah sungai. Tadi Mas nggak lihat?”
Aku menatap pohon itu dari jauh. Daunnya bergerak perlahan, diterpa angin sore yang hangat. Tak ada siapa pun di sana.
Tapi entah mengapa, dadaku terasa hangat. “Mas?” panggil Naya lagi. “Mau aku tunjukin?”
Aku menggeleng pelan. “Tidak usah, Naya.”
“Kenapa?”
Aku tersenyum, kali ini tanpa ada rasa perih yang menusuk. “Soalnya… Mas sudah melihatnya.”
Dan untuk pertama kalinya sejak kehilangan itu, aku menatap langit. Aku memejamkan mata.
“Makasih, Dira,” bisikku.
Untuk cinta yang tinggal dalam hujan.
Untuk kehilangan yang akhirnya mengajariku hidup.
Untuk semua yang pernah ada dan tetap ada dengan caranya sendiri.