Babak 1:
Di Sudut Perpustakaan
Natasya adalah definisi modern dari siswi SMA yang "cupu." Kacamata bulat berlensa tebal, hoodie biru gelap yang selalu kebesaran, dan rambut dikuncir ekor kuda yang sederhana.
Tempat favoritnya? Sudut paling terpencil di perpustakaan, di antara rak-rak buku astrofisika dan mekanika kuantum.
Suatu sore yang tenang, ia sedang asyik menelusuri teori relativitas ketika suara keras mengagetkannya.
"Sial, maaf! Aku enggak lihat!"
Seonggok buku fisika modern mendarat tepat di samping kakinya.
Natasya mendongak, dan seketika udara di sekitarnya terasa berubah, dipenuhi aroma maskulin dan keringat.
Di hadapannya berdiri Yuda, kapten tim basket SMA Pelita Jaya, Raja Lapangan, most wanted yang selalu dikelilingi penggemar.
Kaus sleeveless timnya yang basah memperlihatkan otot lengan yang atletis, tanda ia baru saja menyelesaikan sesi latihan intens.
"Ini," kata Yuda, mengambil buku yang jatuh dan menyodorkannya. Matanya yang tajam dan gelap menatap langsung ke mata Natasya di balik lensa tebal. "Lagi baca apa? Kelihatan kayak lagi mau bikin penemuan besar."
Natasya meremas ujung hoodie-nya. "I-ini... tentang... lubang hitam."
Yuda tertawa kecil, suaranya rendah dan merdu. "Keren. Aku cuma ngerti cara 'melubangi' pertahanan lawan di lapangan."
Meskipun percakapan itu hanya berlangsung singkat sebelum Yuda harus bergegas pergi, bagi Natasya, momen itu seperti peristiwa kosmik langka, sebuah bintang jatuh yang mampir ke orbit dunianya.
Babak 2:
Sebuah Bola dan Koordinat Rahasia
Beberapa hari kemudian, di lapangan basket yang penuh sesak, Natasya tanpa sengaja melintas di pinggir saat Yuda dan timnya sedang melakukan drill cepat.
Tiba-tiba, sebuah bola melesat liar ke arah kepalanya. Natasya hanya bisa
memejamkan mata, menunggu benturan.
Puk! Bola itu tidak mengenainya.
Yuda dengan kecepatan kilat telah melompat dan menangkap bola itu dengan telapak tangan besarnya, hanya beberapa inci dari wajah Natasya. Ia menoleh, raut wajahnya berubah dari fokus menjadi khawatir.
"Hampir," desis Yuda. Ia mendekat, menyeka keringat dengan wristband, lalu merogoh saku jersey-nya.
"Eh, Natasya, tunggu. Aku mau balikin ini."
Yuda menyerahkan sebuah pena rollerball perak dengan ukiran koordinat bintang.
Natasya ingat itu adalah pena teknis kesayangannya yang hilang di perpustakaan.
"Terima kasih," kata Natasya, merasa panas menjalar ke pipinya.
"Sama-sama, jenius." Yuda menyelipkan selembar kertas yang dilipat kecil ke tangan Natasya. "Ada teka-teki Fisika yang enggak bisa aku pecahin.
Bisa tolong kasih petunjuk? Nanti kita ketemu lagi di 'titik nol' kita."
Sebelum Natasya sempat bereaksi, Yuda sudah kembali ke lapangan, melompat tinggi untuk mencetak dunk.
Natasya membuka kertas itu. Itu memang soal Fisika tentang momentum. Namun, di bawahnya, dengan tulisan tangan yang terkesan terburu-buru namun rapi,
tertera:
> Aku butuh kunci dari pemecah kode lubang hitam. Besok jam 4 di sudut favoritmu? Titik nol: perpustakaan.
Babak 3:
Momentum yang Tak Terhentikan
Sejak hari itu, sudut sunyi perpustakaan menjadi basecamp rahasia mereka. Yuda datang, bukan untuk pamer ketampanan, tetapi untuk belajar.
Ia serius mendengarkan setiap penjelasan Natasya tentang rumus dan hukum Newton.
Yang mengejutkan, Yuda tidak pernah menganggap Natasya yang canggung sebagai kelemahan. Ia justru memuji kecerdasannya.
"Kamu itu kayak teleskop," kata Yuda suatu kali, menatap Natasya dengan pandangan intens. "Semua orang lihat aku cuma sebagai kapten basket yang cuma bisa lempar bola, tapi kamu lihat jauh ke dalam, sampai ke inti masalah.
Kamu bisa melihat 'lubang hitam' di otakku."
Natasya menahan napas. "Kamu... terlalu melebih-lebihkan, Yuda."
"Kenapa? Aku jujur." Yuda mencondongkan tubuhnya ke depan, suaranya pelan dan menggetarkan. "Aku suka vibe yang kamu bawa, Natasya. Kamu itu tenang, tapi ada banyak energi tersembunyi. Bikin aku jadi ingin tahu."
Malam itu, setelah Yuda menguasai konsep momentum, mereka berjalan keluar, menuju gerbang sekolah yang sepi. Natasya berjalan menunduk, jantungnya berdebar kencang.
"Natasya," panggil Yuda.
Natasya mendongak.
Yuda tiba-tiba berhenti, meraih bahu Natasya, dan membalikkan tubuhnya.
Ia melepaskan kacamata bulat Natasya dengan gerakan yang sangat hati-hati, seolah sedang memegang artefak kuno.
"Aku cuma mau melihat kejeniusanmu tanpa lensa," katanya, suaranya nyaris berbisik.
Tanpa kacamata, pandangan Natasya sedikit kabur, tetapi ia bisa melihat tatapan Yuda yang penuh makna.
Yuda mendekat. Natasya bisa merasakan detak jantungnya sendiri berpacu cepat, seolah sedang mengalami percepatan gravitasi yang ekstrem.
"Aku enggak ngerti kenapa bola yang kulempar selalu kembali ke tanganku," bisik Yuda, suaranya serak. "Tapi aku yakin, momentum perasaanku ke kamu sudah mulai bergerak, dan dia tidak akan kembali ke titik nol."
Lalu, di bawah cahaya kuning lampu jalan, Yuda mencium Natasya. Ciuman itu adalah janji yang lembut, sebuah tumbukan dua dunia yang berbeda.
Saat Yuda menjauhkan diri, ia menyematkan kembali kacamata itu ke wajah Natasya.
"Jangan pernah sembunyikan siapa kamu, Jenius," kata Yuda, senyumnya kini menunjukkan rasa memiliki. "Karena yang orang lain sebut 'terlalu pintar' itu, buatku, adalah hal yang paling menarik di seluruh alam semesta."
Natasya, si ahli lubang hitam, kini tahu bahwa ia baru saja terhisap ke dalam galaksi baru yang jauh lebih menawan: cinta dari sang Raja Lapangan.