Prologue
Di tanah Jerman abad ke-15, cinta selalu diiringi dengan doa dan pengorbanan. Ada satu kisah yang tak pernah pudar oleh waktu—kisah sepasang suami istri yang cintanya abadi seperti bunga kecil berwarna biru di tepian sungai Rhine. Bunga itu kini dikenal dengan nama Forget Me Not, simbol kesetiaan dan cinta sejati yang tak pernah terlupakan.
Kala itu, angin musim semi bertiup lembut di antara pepohonan. Langit berwarna keemasan, dan matahari sore memantulkan cahaya hangat di permukaan air sungai. Seorang kesatria muda bernama Leonhardt berjalan menyusuri tepian sungai bersama istrinya, Elisabeth, wanita lembut berwajah teduh yang sangat ia cintai.
Mereka baru menikah beberapa bulan yang lalu. Hari itu, Leonhardt ingin mengajak Elisabeth menikmati keindahan alam sebelum ia berangkat berperang. “Aku ingin kamu mengingat setiap sore yang kita lewati bersama,” katanya sambil menggenggam tangan istrinya erat.
Elisabeth tersenyum, “Selama kau ada di hatiku, tak akan ada yang kulupakan.”
Mereka berjalan perlahan di tepi sungai yang airnya berkilauan. Di sela-sela bebatuan, tumbuh bunga-bunga kecil berwarna biru lembut dengan pusat berwarna kuning. Elisabeth berhenti dan berjongkok, menatap bunga itu dengan kagum.
“Cantik sekali, Leon. Seperti langit yang berubah jadi bunga,” katanya.
Leonhardt ikut berlutut dan tersenyum. “Bunga sekecil ini, tapi tumbuh dengan berani di antara bebatuan. Mungkin bunga ini melambangkan cinta yang tak tergoyahkan, seperti cinta kita.”
Elisabeth mengangguk pelan. “Bisa kau petik satu untukku?”
Tanpa pikir panjang, Leonhardt menuruni tepian sungai yang licin. Ia berusaha menggapai bunga itu, tapi batu pijakannya goyah. Dalam sekejap, tubuhnya terjatuh ke dalam sungai yang berarus deras. Elisabeth menjerit panik, berlari ke tepi sungai, mencoba meraih tangannya.
Namun arus terlalu kuat. Dalam usahanya yang terakhir, Leonhardt berhasil meraih seikat bunga kecil yang tadi ingin ia berikan. Dengan sisa tenaganya, ia melemparkannya ke arah Elisabeth sambil berteriak keras,
“Forget me not, Elisabeth!”
Suara itu bergema, lalu hilang bersama arus yang membawa tubuhnya pergi. Elisabeth jatuh berlutut, menggenggam bunga itu erat-erat sambil menangis memanggil namanya.
Hari berganti minggu, minggu berganti tahun. Elisabeth tak pernah menikah lagi. Setiap musim semi, ia datang ke tepi sungai tempat suaminya pergi, menabur bunga biru kecil yang sama di sana.
Orang-orang desa yang melihatnya mulai menyebut bunga itu dengan nama yang selalu ia bisikkan di tepi sungai — Forget Me Not. Mereka percaya bunga itu melambangkan cinta yang tak akan pernah pudar, kesetiaan yang tak akan tergantikan, dan kenangan yang abadi meski raga telah tiada.
Epilogue
Bertahun-tahun kemudian, ketika Elisabeth telah menua, ia ditemukan tertidur damai di tepi sungai itu, dengan setangkai bunga biru di tangannya. Di sampingnya, bunga-bunga Forget Me Not bermekaran indah seolah menyambut keabadian cinta mereka.
Sejak hari itu, bunga kecil berwarna biru itu menjadi lambang cinta sejati—cinta yang tak akan pernah terlupakan, sebagaimana pesan terakhir Leonhardt kepada istrinya:
“Forget me not.”