🌿 Forget Me Not — Bunga yang Tidak Pernah Dilupakan
Prolog
Sebelum dunia memiliki warna, sebelum waktu mengenal arah, alam semesta hanyalah bisikan lembut dalam kehendak Sang Pencipta. Lalu, dalam keheningan abadi itu, terciptalah cahaya, langit, dan bumi yang perlahan mulai bernafas.
Di hari ketika Tuhan menciptakan keindahan pertama di bumi, Dia menurunkan jutaan kelopak bunga yang jatuh seperti serpihan bintang dari tangan-Nya. Masing-masing bunga membawa warna, aroma, dan maknanya sendiri — hadiah kecil untuk dunia yang baru lahir.
Langit kala itu cerah tanpa matahari, hanya cahaya putih keemasan yang menyelimuti lembah dan bukit. Para bunga yang baru tumbuh memandangi Sang Pencipta yang berjalan di antara mereka. Tuhan memandang setiap bunga dengan penuh kasih, memberi nama satu per satu.
“Engkau akan kupanggil Rose,” suara-Nya bergema lembut ketika menyentuh kelopak merah yang anggun.
“Dan engkau, Lily — lambang kemurnian.”
“Engkau, Tulip, si anggun berwarna lembayung.”
Satu demi satu bunga bersinar bahagia mendengar nama yang diberikan oleh Sang Pencipta. Mereka membungkuk rendah, berterima kasih, dan menari dalam angin surgawi yang lembut.
Namun, di antara semak-semak kecil di bawah bunga mawar yang megah, tumbuhlah satu bunga mungil berwarna biru muda. Ia tidak mencolok, tidak tinggi, dan kelopaknya begitu sederhana. Ketika Tuhan telah selesai memberi nama kepada semua bunga, Ia hendak kembali ke langit.
Bunga kecil itu menatap ke arah-Nya, suaranya lirih terbawa angin, “My Lord… jangan lupakan aku.”
Para bunga lain terdiam, menoleh ke arahnya. Sang Pencipta berhenti, menatap si kecil itu dengan senyum penuh kasih. “Apa yang baru saja kau katakan, makhluk kecil?”
Dengan gemetar, bunga itu berkata lagi, “Aku takut tak punya nama… aku takut terlupakan.”
Hening sejenak. Lalu Tuhan berlutut, menyentuh kelopak biru lembut itu.
“Kalau begitu,” kata-Nya sambil tersenyum, “Forget Me Not akan menjadi namamu. Agar setiap kali manusia memandangmu, mereka mengingat bahwa Aku tak pernah melupakan satu pun ciptaan-Ku, sekecil apa pun.”
Cahaya lembut turun membasuh kelopak biru itu. Sejak saat itu, bunga kecil itu bersinar lebih indah daripada sebelumnya. Warnanya seperti potongan langit yang jatuh ke bumi — biru muda dengan pusat kuning keemasan, seolah matahari kecil bersembunyi di tengahnya.
Dan ketika angin berhembus, kelopaknya bergoyang lembut seolah terus berbisik:
> “Jangan lupakan aku.”
“Jangan lupakan cinta yang menciptakan segalanya.”
Epilog
Berabad-abad berlalu. Dunia berubah — gunung menjulang, laut meluas, manusia datang dan pergi. Tapi di setiap musim semi, bunga kecil itu selalu muncul di tepi sungai, di ladang, bahkan di antara bebatuan. Ia tumbuh diam, setia, tanpa keluhan.
Orang-orang menamainya Forget Me Not, dan percaya bunga itu melambangkan kasih sayang yang abadi, kenangan yang tak akan pudar, dan doa dari makhluk kecil kepada Penciptanya agar tak dilupakan.
Maka setiap kali matahari terbit dan sinarnya menyentuh kelopak biru mungil itu, bunga itu seakan berbisik lagi — kali ini bukan kepada Tuhan, tapi kepada setiap hati manusia:
> “Tak peduli seberapa kecil kau merasa dikucilkan, kau selalu akan diingat oleh langit.” 🌤️