Pagi itu, Budi bangun dengan semangat 200%. Ia baru saja bertekad untuk menyatakan cinta kepada Sinta, gadis penjaga warung pecel lele langganannya.
Masalahnya cuma satu: setiap kali melihat Sinta tersenyum, Budi langsung gagap kronis seperti radio rusak.
“Pokoknya hari ini harus berani!” kata Budi pada kaca sambil menepuk pipinya sendiri.
Kaca tidak menjawab, tapi kelihatan sudah lelah melihat aksi motivasi setiap pagi itu.
Siang harinya, Budi datang ke warung dengan langkah penuh keyakinan.
Warung Sinta sederhana: ada kipas yang sudah menyerah berputar, dan ayam goreng yang aromanya bisa membuat orang amnesia sementara.
“Mas Budi kayaknya semangat banget hari ini,” sapa Sinta sambil tersenyum.
Dan boom! otak Budi langsung blank.
“H-hehe… iya, saya… eh… saya mau pesan… cinta… eh… maksudnya lele goreng!” katanya gugup.
Sinta menatap aneh. “Cinta goreng, Mas? Baru denger menu itu.”
Budi panik. “Eh enggak! Lele, lele! Tapi kalau ada cinta bonus, saya ambil dua!”
Sinta tertawa sampai hampir menjatuhkan piring.
Budi mencoba menenangkan diri sambil pura-pura baca menu—padahal cuma ada dua pilihan: lele atau ayam.
Setelah makan (dan menumpahkan sambal tiga kali), Budi memberanikan diri mengeluarkan selembar kertas kecil.
“Ini… surat kecil buat Mbak Sinta,” katanya dengan wajah seperti tomat rebus.
Sinta membuka surat itu perlahan. Isinya:
> “Aku suka kamu dari pertama kali kamu bilang ‘sambalnya mau pedes nggak, Mas?’.”
Sinta tertawa lagi. “Mas Budi, ini surat cinta paling absurd yang pernah saya terima.”
“Tapi… diterima nggak?” tanya Budi deg-degan.
Sinta tersenyum nakal. “Kalau mau saya terima, syaratnya satu.”
“Apa itu?”
“Bantuin saya goreng lele dulu. Baru ngomong cinta!”
Sejak hari itu, Budi resmi jadi asisten goreng dadakan sekaligus calon pacar penjaga warung.
Dan setiap pelanggan baru datang, Sinta suka memperkenalkan:
“Ini Mas Budi, spesialis cinta setengah matang.”