Kafe Retro dan Kotak Kenangan
Pekatnya aroma kopi bubuk halus dan musik jazz instrumental 80-an selalu berhasil menyamarkan keanehan Kafe "Nostalgia Abadi." Di tengah hiruk pikuk kota modern, kafe ini terasa seperti kapsul waktu.
Elara, seorang desainer grafis berusia dua puluh lima tahun, selalu mencari tempat sunyi untuk merenung. Sore ini, ia duduk di sudut favoritnya, memandangi bingkai-bingkai foto usang yang terpajang. Matanya tertuju pada lelaki tua di belakang konter, Pak Jendra, yang selalu tampak tenang, seolah tahu rahasia terdalam setiap pelanggan.
"Kopi biasa, Pak Jendra," pesan Elara.
Pak Jendra tersenyum misterius. "Kali ini, saya rasa kamu butuh sesuatu yang lebih. Sesuatu yang bisa memberimu sedikit petunjuk."
Ia meletakkan kopi Elara, lalu menyodorkan sebuah kotak kayu kecil yang diukir dengan simbol kuno. Kotak itu tidak ada di sana semenit yang lalu.
"Apa ini, Pak?" tanya Elara, merasa penasaran sekaligus waspada.
"Ini adalah 'Kotak Kenangan,' Nona Elara," bisik Pak Jendra. "Setiap orang punya satu. Kotak ini menyimpan semua keputusan 'seharusnya' dalam hidupmu. Keputusan yang kau sesali, atau keputusan yang kau ambil karena terpaksa, dan kau ingin tahu bagaimana jika sebaliknya."
Elara baru saja menghadapi titik balik yang menyakitkan. Ia menolak beasiswa seni bergengsi lima tahun lalu demi tetap di kota ini merawat ayahnya. Sekarang, ayahnya sudah tiada, dan ia terjebak dalam pekerjaan yang ia benci, sering bertanya-tanya: Bagaimana jika aku pergi saat itu?
"Jadi, kalau aku membukanya, aku bisa lihat masa depanku yang lain?" tanya Elara skeptis.
"Tidak. Kamu hanya akan melihat satu adegan. Satu potongan kenangan dari masa depan 'seharusnya' yang paling sering kamu pikirkan," jelas Pak Jendra. "Tapi ingat, sekali kau lihat, kenangan itu akan melebur dengan memorimu yang asli. Kau harus hidup dengan kedua versi itu."
Elara ragu-ragu. Melihat hasil dari jalan yang ia tinggalkan bisa jadi sebuah penyesalan terbesar, atau justru menjadi kedamaian.
"Apa ada biayanya?"
"Hanya kejujuran, Nona. Jika kamu membukanya, kamu harus berjanji untuk jujur pada pilihanmu saat ini."
Dengan tangan gemetar, Elara menerima kotak itu. Kotak itu terasa hangat. Ia menarik napas dalam-dalam, memikirkan satu momen kunci: menolak beasiswa ke Paris. Ia ingin tahu, apakah ia akan bahagia di sana?
Ia membuka kotak kayu itu.
Tidak ada cahaya menyilaukan atau asap. Hanya keheningan. Lalu, dalam benaknya, sebuah visi muncul, sejelas dan sehidup kenangan masa lalunya.
Ia berdiri di sebuah studio yang dipenuhi cahaya alami, di jantung Montmartre, Paris. Cat warna-warni berceceran di lantai kayu. Udara berbau cat minyak dan roti panggang. Elara yang ini, mengenakan celemek belepotan cat, tersenyum lebar. Ia baru saja menyelesaikan lukisan besar yang terpampang di kanvas—lukisan abstrak yang penuh semangat. Di sisinya, seorang pria berkulit gelap dengan mata ramah memeluknya dari belakang. "Sudah selesai, ma chérie?" bisik pria itu, mencium rambutnya. Elara tertawa, senyumnya bebas dan penuh gairah. "Sudah, hari ini kita rayakan!"
Adegan itu berakhir.
Elara terkesiap, dadanya sesak. Visi itu begitu nyata. Di Paris, ia bahagia, sukses, dan mencintai seorang pria yang mencintainya. Itu adalah kehidupan yang penuh kebebasan, yang selalu ia impikan.
Air mata mulai menetes. Ia menatap kopi di hadapannya, lalu pada jari-jarinya yang sekarang hanya menggenggam pena dan mouse komputer, bukan kuas cat. Sebuah penyesalan yang tajam menusuknya.
"Aku... aku seharusnya pergi," bisik Elara, menyeka air mata. "Aku seharusnya tidak mengorbankan mimpiku."
Pak Jendra hanya mengelap konter, matanya yang tua penuh kebijaksanaan. "Benarkah, Nona Elara?"
"Tentu saja! Lihat, aku bahagia di sana! Aku sukses!" seru Elara.
"Tapi, apakah kamu pernah berpikir mengapa visi itu hanya menunjukkan kamu di Paris, bukan di sini? Mengapa kamu hanya bisa melihat masa depan yang kamu tinggalkan, dan bukan yang kamu hadapi sekarang?"
Elara terdiam.
"Kamu datang ke kafe ini setiap hari, mencari ketenangan. Kenanganmu saat ini, di kota ini, adalah kamu merawat ayahmu, bukan?" tanya Pak Jendra lembut. "Di Paris, mungkin kamu sukses dan bebas. Tapi di sana, kamu tidak berada di sisi ayahmu di hari-hari terakhirnya. Kamu tidak tahu apa yang terjadi pada dirimu yang di sini, tanpa pengorbanan itu."
"Tapi pengorbanan itu membuatku menderita sekarang," gumam Elara.
"Menderita, atau hanya sedang tersesat?" Pak Jendra menyodorkan sebuah buku sketsa tua dari bawah konter, buku yang tidak Elara kenali. "Kamu tidak sepenuhnya meninggalkan seni, Nona. Kamu hanya mengubah kanvasnya."
Elara mengambil buku sketsa itu. Itu bukan buku miliknya. Ia membukanya. Di dalamnya, terdapat sketsa-sketsa yang luar biasa detail, bukan abstrak seperti yang ia lihat di Paris, melainkan sketsa tentang orang-orang yang Elara temui di kafe ini, termasuk dirinya sendiri. Dan di halaman terakhir, ada tulisan tangan yang ia kenali.
"Ini... tulisan Ayah," bisik Elara.
Ayahnya telah meninggalkan catatan.
Lara-ku. Ayah tahu kau mengorbankan mimpimu untuk Ayah. Tapi ketahuilah, Ayah tidak pernah menginginkan itu. Ayah tahu kau memiliki gairah, tapi Paris tidak akan pernah memberimu kehangatan yang kau cari. Kau punya seni, tapi kau juga punya hati. Pilihanmu untuk tinggal adalah bukti bahwa hatimu lebih besar dari pada egomu. Jangan pernah sesali pilihan yang dibuat atas dasar cinta. Sekarang Ayah sudah pergi. Ambil semua cintamu, dan gunakan untuk menemukan kanvas barumu. Karena di mana pun kau berada, kau akan selalu menjadi artis terbaik.
Elara menangis lagi, tapi kali ini air matanya hangat. Bukan karena penyesalan, melainkan karena pemahaman. Ayahnya telah melihat jauh ke depan.
Ia kembali menatap Pak Jendra. "Jadi, buku ini...?"
"Aku melihatmu datang kemari dengan pandangan mata yang kosong, Nona. Itu adalah buku yang ditinggalkan Ayahmu enam bulan lalu, saat terakhir ia berkunjung bersamamu. Dia memintaku memberikannya saat kamu benar-benar butuh petunjuk," kata Pak Jendra, tersenyum.
Elara memegang buku sketsa ayahnya, lalu menatap kotak kayu di tangannya.
"Kotak ini tidak pernah dimaksudkan untuk membuatmu memilih, Nona Elara. Kotak ini dimaksudkan untuk menunjukkan padamu bahwa kamu sudah memiliki semua yang kamu butuhkan untuk bahagia, bahkan setelah mengambil jalan yang sulit. Masa depanmu tidak pernah ditentukan oleh satu pintu yang tertutup, melainkan oleh caramu mendesain ulang ruanganmu saat ini."
Elara tersenyum. Ia menyeruput kopi yang sudah dingin, kini terasa manis. Ia tidak harus menjadi 'Elara dari Paris' untuk bahagia. Ia hanya harus menjadi 'Elara di sini', yang kini tahu bahwa keputusannya, meskipun sulit, didasari oleh cinta yang tak lekang.
Ia meletakkan kotak itu di konter. "Terima kasih, Pak Jendra. Saya sudah menemukan petunjuknya."
Kafe Nostalgia Abadi masih dipenuhi aroma kopi dan musik jazz. Namun, bagi Elara, kafe itu kini terasa berbeda. Itu bukan lagi tempat pelarian, melainkan tempat permulaan. Ia kini memiliki kenangan ganda: kesuksesan di Paris, dan kekuatan cinta yang ia temukan di rumah. Dan dengan kekuatan itu, Elara yakin, ia bisa melukis masa depannya sendiri, jauh lebih indah dari visi mana pun.