sebuah bangunan tua dengan sejarah kelam, menyimpan rahasia di koridor lantai tiganya yang berdebu: Loker 13. Berkarat, usang, dan berangka merah pudar, loker itu konon menjebak arwah seorang siswi bernama Maya, korban bullying yang mengakhiri hidupnya di sana.
Mitosnya, siapa pun yang mengambil isinya akan diminta ganti rugi, bukan dengan harta, melainkan dengan jiwa.
Tantangan itu terlalu menggoda bagi Rafi, si ketua geng yang nekat; Dina, si pemegang kunci rahasia sekolah; dan Bima, si pengecut yang selalu terseret.
Mereka bersepakat membuktikan omong kosong mitos itu pada tengah malam.
Pukul 23.45, di bawah langit tanpa bintang, tiga remaja itu menyelinap masuk melalui gerbang belakang yang berderit ngeri. Udara di dalam sekolah terasa dingin dan pengap, membuat langkah sepatu mereka menggema tak wajar di lantai marmer yang sunyi.
Bima, pucat pasi, dipaksa naik ke lantai tiga, tempat keheningan berubah menjadi ancaman tak terlihat.
Di ujung koridor, Loker 13 menunggu, tampak seperti luka menganga dalam kegelapan. Rafi mengeluarkan obeng, jantungnya berdebar kencang, berusaha menyamarkan rasa takutnya dengan senyuman pongah. CKIIITT... Suara logam berkarat yang dicongkel terasa seperti teriakan di keheningan malam. Pintu loker terbuka dengan derit panjang.
Tidak ada hal mistis yang langsung menyambut mereka. Hanya bau apek dan tiga benda usang yang diterangi senter ponsel Rafi: sebuah buku harian bersampul beludru biru kusam, sebuah pita rambut merah pudar, dan sebuah boneka kertas.
Rafi hendak tertawa, menganggap mitos itu lelucon, sampai bohlam lampu koridor di atas kepala mereka mulai berkedip gila.
Tiba-tiba, suara bisikan dingin menyapu telinga mereka, bukan dari dalam loker, melainkan dari udara kosong di sekitar mereka.
"Siapa yang ambil pita merahku?"
Dina, yang tanpa sadar memegang pita merah itu, terkesiap dan buru-buru melemparnya kembali.
Rafi, yang kini panik, hanya sempat meraih buku harian biru itu sebagai "bukti" dan menutup loker.
"Kita pergi! Sekarang!" perintah Rafi.
Saat mereka berlari menuruni tangga, bisikan itu berubah menjadi senandung sedih seorang gadis, suara yang menusuk hingga ke tulang, terdengar memenuhi seluruh ruang sekolah.
“Ku tunggu, ku tunggu di bawah jendela, buku biru itu... adalah ganti jiwamu...”
Keesokan harinya, Rafi terbangun di tengah malam dengan rasa haus mencekik.
Saat ia melewati meja belajarnya, buku harian biru itu tampak terbuka sedikit. Ia mengambilnya, merasakan dinginnya buku itu, lalu membaca entri terakhir Maya, tertanggal 15 April 1989: Aku akan mengakhiri semuanya di koridor lantai tiga.
Tiba-tiba, Tok! Tok! Tok! Suara ketukan keras dari jendela kamarnya mengejutkan Rafi. Di balik kaca, samar-samar terlihat bayangan seorang gadis berambut panjang, menunduk.
Bayangan itu mengetuk dengan benda runcing, bukan jari.
Rafi menjatuhkan buku itu. Saat jatuh, halaman buku terbuka, menampilkan gambar sketsa kasar yang digambar dengan arang.
Gambar itu adalah kamar Rafi, dan di atas gambar kepalanya, tertulis: "Aku tahu kau sudah membawanya."
Jendela kamarnya terbuka keras, angin dingin menyerbu masuk, dan senandung itu kini terdengar begitu dekat, seolah tepat di belakangnya. Rafi berteriak, lari keluar kamar, meninggalkan buku itu. Ia tahu, ia telah membawa penghuni Loker 13 ke rumahnya.
Rafi demam tinggi, pucat pasi. Dina dan Bima menjenguknya. Rafi menceritakan kengerian yang ia alami, menunjukkan goresan-goresan halus di lengannya yang membentuk tiga kata: "PITA RAMBUTKU."
Tiba-tiba, ponsel Dina berdering dengan nomor tak dikenal. Ia mengangkatnya. Keheningan sesaat, lalu terdengar tangisan gadis yang memilukan.
"Kenapa kalian ambil milikku? Kenapa kalian mengambil hal terakhir yang aku punya?"
Dina menjatuhkan ponselnya, terkejut menyadari bahwa bukan hanya Maya yang marah.
Pita merah yang sempat ia sentuh adalah milik siswi lain yang juga menjadi korban di tempat itu.
Tiba-tiba, suara tangisan di ponsel itu berubah menjadi tawa melengking. "Buku biru itu untukku, Rafi.
Tapi pita itu... itu milik temanku. Kalian membagi beban itu.
Sekarang, giliran kalian membagi konsekuensinya."
Tawa itu memecah kegelapan yang menyelimuti kamar Rafi saat listrik padam. Angin kencang menghantam dinding rumah. Mereka bertiga terperangkap dalam teror, menyadari bahwa menguji mitos Loker 13 bukan hanya membuktikan keberanian, melainkan menandatangani perjanjian dengan arwah yang haus ganti rugi.
Senandung itu kini terdengar penuh kemenangan, mengiringi awal dari konsekuensi yang jauh lebih gelap.