Langit mulai berganti rupa. Semburat jingga dan ungu perlahan mengambil alih singgasana biru yang berkuasa sepanjang hari. Bagi Lia, senja adalah jeda. Sebuah momen di mana dunia seakan berhenti sejenak, mengizinkannya menarik napas panjang sebelum malam merenggut semua cahaya. Di kursi taman yang sama, di bawah pohon beringin tua yang menjadi saksi bisu ribuan senja, Lia duduk. Buku sketsa di pangkuannya terbuka pada halaman yang masih kosong, dan pensil grafit menari-nari tanpa tujuan, hanya coretan abstrak yang mewakili gejolak dalam hatinya.
Setiap sore, tempat ini adalah pelariannya. Dari hiruk pikuk kota, dari tuntutan pekerjaan, dan terutama dari kenangan tentang Riko. Sudah tiga tahun sejak kali terakhir mereka menikmati senja bersama di tempat ini. Tiga tahun penuh dengan "mungkin" dan "seandainya".
Lia menghela napas, debu halus terangkat dari halaman buku. Dia merindukan tawa Riko yang renyah, cara matanya berbinar saat berbicara tentang mimpi-mimpinya, dan sentuhan hangat tangannya saat mereka berpegangan tangan menatap cakrawala.
Mereka berdua adalah dua kutub yang berbeda. Lia, si pemimpi yang melankolis, melihat senja sebagai akhir yang indah, sebuah refleksi dari kerapuhan momen. Riko, si pragmatis yang penuh semangat, melihat senja sebagai janji akan fajar yang baru, sebuah awal dari kemungkinan tak terbatas. Perbedaan itulah yang dulu menyatukan mereka, melengkapi satu sama lain. Namun, perbedaan pula yang akhirnya memisahkan mereka. Riko memilih mengejar mimpinya di kota metropolitan yang jauh, sementara Lia tetap di sini, memeluk erat senja dan kenangan.
Sebuah bayangan tiba-tiba menutupi sketsanya. Lia mendongak, matanya sedikit menyipit karena cahaya matahari yang mulai condong. Jantungnya serasa berhenti berdetak.
"Masih suka melamun saat senja, Lia?"
Suara itu. Suara yang familiar, yang selama ini hanya bisa ia dengar dalam mimpinya. Di depannya, berdiri Riko, dengan senyum tipis yang sama persis seperti yang ia ingat. Waktu seakan berhenti berputar.
"Riko?" Suara Lia tercekat. Dia tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Pria di depannya ini nyata, bukan fatamorgana yang sering muncul di benaknya.
Riko mengangguk, lalu duduk di sebelah Lia, di kursi yang sama, seolah waktu tiga tahun tidak pernah terjadi. "Aku kembali."
"Kenapa?" tanya Lia, suaranya terdengar lebih dingin dari yang ia inginkan. Ada amarah tersembunyi di balik kerinduan yang membuncah. "Kenapa sekarang?"
Riko menatap lurus ke arah matahari terbenam. "Aku butuh waktu untuk mengerti sesuatu. Tentang mimpi, tentang prioritas, dan tentang senja."
"Dan sekarang kamu sudah mengerti?"
"Aku mengerti bahwa senja tidak pernah lengkap tanpa seseorang untuk berbagi keindahannya," ucap Riko, tatapannya beralih ke Lia. "Dan bagiku, orang itu selalu kamu, Li."
Hening sejenak. Angin sore berdesir pelan, memainkan beberapa helai rambut Lia. Warna langit semakin pekat, perpaduan merah, oranye, dan sedikit sapuan ungu yang dramatis.
"Aku merindukanmu," bisik Lia, kali ini air mata mulai menggenang di pelupuk matanya. Benteng pertahanan yang ia bangun selama tiga tahun runtuh seketika.
Riko tersenyum, senyum tulus yang menenangkan. Dia meraih tangan Lia, sentuhan yang sama hangatnya dengan yang ia ingat. "Aku tahu aku salah. Meninggalkanmu di sini sendirian dengan senja-senja ini. Tapi percayalah, setiap senja di sana, di kota yang penuh gedung pencakar langit itu, tidak pernah terasa seindah ini."
Lia menghapus air matanya dengan tangan yang bebas. "Kamu benar-benar kembali?"
"Ya. Untuk senja ini, dan senja-senja berikutnya. Kalau kamu masih mau menerimaku, tentu saja."
Lia tidak menjawab dengan kata-kata. Dia hanya menyandarkan kepalanya di bahu Riko Aroma maskulin yang khas dari tubuh Riko memenuhi indra penciumannya, membawa rasa nyaman yang sudah lama hilang. Mereka berdua duduk di sana, di kursi taman di bawah pohon beringin tua, menyaksikan matahari menghilang sepenuhnya di balik cakrawala.
Senja kali ini berbeda. Bukan lagi jeda yang melankolis, bukan lagi refleksi dari kerapuhan momen. Senja kali ini adalah sebuah awal. Awal dari babak baru kisah mereka, di mana senja bukan lagi tentang perpisahan, melainkan tentang pertemuan kembali. Riko benar, senja adalah janji akan fajar yang baru. Dan bagi Lia, fajar itu adalah Riko.