Langit sore masih menyisakan cahaya lembut ketika Carolyn menatap layar ponselnya yang gelap. Pesan-pesan lama, foto-foto buram, dan percakapan yang tak pernah selesai masih tersimpan di sana—jejak hari-hari yang seharusnya biasa, tapi berakhir jadi luka kecil yang membekas dalam.
Hari itu, 20 Oktober 2025.
Tanggal yang mungkin terlihat biasa bagi semua orang… tapi tidak untuknya.
“I hate this day,” gumamnya lirih. Hari itu terlalu penuh rasa kecewa, rasa “tidak dilihat,” dan rasa tertinggal sendirian di tengah keramaian yang pura-pura ramah.
Di sekolah, semua orang tampak akrab. Tertawa. Foto bareng. Tapi tidak dengannya.
Padahal cuma minta satu hal kecil: tolong fotoin aku, cuma sebentar aja.
Namun setiap kali ia mencoba, selalu saja ada yang menyela, ada yang nimbrung, dan akhirnya—tak ada satu pun foto dirinya yang layak disimpan.
Sementara yang lain memenuhi galeri mereka dengan senyum dan pose estetik, Carolyn hanya punya satu-dua foto kabur dengan wajah yang bahkan tak sempat tersenyum.
“Kayaknya emang gue jelek deh,” katanya pada diri sendiri.
Kalimat yang awalnya cuma candaan itu lama-lama berubah jadi keyakinan.
Guru pernah bilang, “Kalau ada masalah, cerita ke teman, jangan dipendam.”
Tapi bagaimana kalau teman justru sumber masalahnya?
Bagaimana kalau setiap kali mencoba terbuka, dunia malah menertawakan kelemahanmu?
Di pikirannya, kata-kata itu terus berputar:
> The beautiful one always wins.
Ia benci kalimat itu. Tapi juga tahu itu benar.
Di dunia ini, yang cantik akan lebih dulu dilihat, lebih dulu didengar, lebih dulu dianggap penting.
Dan ia… hanya latar belakang dalam foto orang lain.
Namun, saat malam turun dan dunia jadi lebih tenang, Carolyn membuka jendela kamarnya. Angin dingin masuk, membawa aroma hujan dan sedikit rasa lega.
Ia sadar—mungkin hari ini bukan tentang kalah atau menang. Mungkin, ini cuma tentang belajar bertahan.
“Suatu hari nanti,” pikirnya, “gue gak akan ngeluh lagi soal siapa yang lebih cantik. Gue cuma bakal jadi versi terbaik dari diri gue sendiri.”
Lalu, ia menulis satu kalimat di buku catatannya:
> Even if beauty always wins, I’ll still shine in my own way. 🌙
Dan untuk pertama kalinya, Carolyn tersenyum—bukan di depan kamera, bukan untuk orang lain, tapi untuk dirinya sendiri.