Dulu, dunia dikuasai para dewa yang menganggap manusia hanyalah alat permainan. Ribuan tahun manusia hidup di bawah ketakutan, sampai akhirnya lahirlah seorang gadis manusia dengan kekuatan di luar nalar. Ia tumbuh menjadi simbol perlawanan, memimpin manusia dalam perang melawan langit.
Ia bukan manusia biasa — keteguhan dan amarahnya membuat para dewa gentar. Ia menolak tunduk, menolak diselamatkan, dan bersumpah akan menebas seluruh dewa hingga dunia benar-benar bebas.
Namun, perang itu berakhir dengan kehancuran. Dua belas dewa tertinggi bersatu untuk menghabisinya. Ia gugur, tubuhnya hancur di medan perang, tapi jiwanya tak bisa lenyap begitu saja. Dan dari seluruh dewa yang menatapnya mati, hanya Ares, sang Dewa Perang, yang tidak bersorak.
Ia berdiri diam di tengah darah dan api, menatap mayat yang tergeletak itu bukan dengan kebencian, tapi dengan sesuatu yang jauh lebih berbahaya — obsesi.
---
Berabad-abad kemudian, gadis itu terlahir kembali di tubuh seorang bangsawan kerajaan. Ia hidup dalam dunia damai, tapi setiap malam mimpinya dipenuhi bayangan perang, api, dan mata merah yang selalu mengawasinya. Ia tidak tahu siapa dirinya dulu, tapi instingnya terus menolak ketenangan dunia ini.
Saat kekuatan lamanya mulai bangkit, ia mulai bertemu dengan orang-orang yang terasa akrab, wajah-wajah dari masa lalu yang tak seharusnya ia ingat. Perlahan, kenangan kehidupannya yang lama mulai kembali. Ia sadar: dirinya adalah manusia yang dulu menentang para dewa. Dan perang itu belum berakhir.
Ia kembali membentuk pasukan manusia, bersama para reinkarnasi rekan lamanya, bertekad menuntaskan peperangan yang dulu belum selesai. Tapi setiap kali ia menang, sesuatu terasa janggal — seolah langkahnya selalu berada di jalur yang sudah ditentukan.
Dan tanpa ia sadari, di setiap bayangan kemenangannya, selalu ada Ares yang menatap dari jauh, membiarkan ia hidup, memelihara kebenciannya, menyiapkan sesuatu yang lebih besar daripada sekadar perang.
---
Perang kembali meledak. Manusia melawan langit sekali lagi. Ia memimpin semuanya, dan seperti dulu, ia kehilangan orang-orang yang disayanginya satu per satu. Saat akhirnya peperangan mencapai puncak, ia menantang Ares di medan terakhir.
Pertempuran itu mengguncang dunia. Ia berhasil melukai Ares — tapi di saat yang sama, jebakan yang telah disiapkan selama ribuan tahun menelannya.
Ia kalah langkah. Dalam sekejap, seluruh kekuatannya terserap, dan kegelapan menutup penglihatannya.
---
Ketika ia terbangun, ia bukan lagi dirinya yang sekarang. Ia berada di dalam tubuh lamanya — tubuh sang Pembantai Dewa dari kehidupan pertama. Tubuh itu ternyata tidak pernah hancur. Ares menyimpannya, menjaganya selama berabad-abad, menahannya dalam waktu.
Kini ia tinggal di kastil milik sang Dewa Perang — tempat yang hidup dari sihirnya sendiri, tempat di mana setiap sudutnya bernafas dengan kekuatan Ares.
Ia tidak bisa pergi. Kontrak kuno yang mengikat tubuh itu membuatnya tak bisa keluar lebih dari jarak tertentu. Jika ia mencoba melarikan diri atau melanggar aturan, ia harus memilih satu pelayan untuk dikorbankan.
Pelayan-pelayan itu semua memiliki wajah yang mirip dengannya. Ares telah mencari dan mengumpulkan manusia yang menyerupainya dari seluruh dunia, menjadikan mereka pelayan dan hiasan kastil. Jika ia melanggar perintah, salah satu dari mereka akan dimasukkan ke Galeri Ares — deretan mayat yang ia awetkan, dipajang, karena wajahnya mengingatkan pada “dia”.
Ia mencoba bunuh diri, berkali-kali. Tapi sihir Ares menolak kematian. Luka-lukanya sembuh, tubuhnya menolak mati. Kastil itu sendiri seolah menolak melepaskannya. Hari demi hari berlalu, dan perlahan, semangatnya hancur.
Ia berhenti berteriak. Berhenti berjuang. Ares tidak lagi berperang, tidak lagi memaksa. Ia hanya menemaninya dalam diam — di ruang makan, di taman tanpa matahari, di bawah langit yang tidak pernah berubah.
Kebencian berubah menjadi lelah. Lelah berubah menjadi kosong.
---
Hingga suatu malam, ia menemukan ruang tersembunyi di bawah kastil — tempat Ares menyimpan semua yang seharusnya tak boleh ia lihat. Di sana, ia melihat masa lalunya yang sebenarnya.
Ia melihat Ares di kehidupan pertamanya, bukan sebagai musuh, tapi sebagai bayangan yang selalu di balik semua tragedinya. Dialah yang membunuh anak-anak murid gurunya, agar gadis itu tumbuh tanpa kelemahan. Dialah yang menyebarkan peperangan di antara dewa, agar ia semakin kuat.
Setiap penderitaan, setiap kehilangan, setiap luka — semuanya adalah bagian dari rencana Ares untuk menciptakan “versi sempurna” dari dirinya.
Bagi Ares, ia bukan sekadar musuh. Ia adalah ciptaannya. Karya tertingginya. Miliknya yang paling sempurna.
---
Ia tertawa dalam tangis. Seluruh perjuangannya, seluruh hidupnya, hanyalah kepingan dalam permainan satu dewa gila. Ia mencoba membencinya lagi — tapi sudah terlambat. Ia sudah kehilangan segalanya, bahkan dirinya sendiri.
Dan saat Ares datang, ia hanya menatapnya tanpa amarah. Ia berkata pelan, “Kau menang.”
Tapi Ares menjawab, “Tidak. Aku hanya membentuk apa yang sudah seharusnya menjadi milikku.”
Malam itu, kastil menjadi sunyi. Dunia tak lagi berperang. Tak ada kemenangan, tak ada kekalahan. Hanya dua jiwa — satu yang kehilangan maknanya, satu yang kehilangan batas warasnya.
Dan di tengah diam itu, cinta dan kebencian menjadi satu hal yang sama.