Mentari pagi merayap malu di antara hijaunya pepohonan lereng Gunung Salak, menyinari sebuah gubuk reyot yang menjadi saksi bisu bisikan mimpi seorang gadis kecil bernama Sekar. Debu jalanan yang setiap hari menempel di kakinya adalah teman setia, sementara kanvas usang dan cat air murah adalah jendela menuju dunia yang lebih luas.
Sekar bukan lahir dari keluarga berada. Ayahnya, seorang petani kopi, dan ibunya, pembuat kerajinan anyaman, berjuang keras menghidupi keluarga. Namun, di tengah keterbatasan, Sekar menemukan keindahan. Ia melihatnya dalam setiap lekuk daun, setiap warna bunga, dan setiap senyum yang terukir di wajah orang-orang desa. Keindahan itu kemudian ia tuangkan ke dalam lukisan-lukisan sederhana namun penuh makna.
Setiap hari, setelah membantu orang tuanya di ladang, Sekar menyempatkan diri melukis di beranda gubuknya. Kanvasnya adalah lembaran triplek bekas, catnya adalah campuran pewarna alami dari tumbuhan di sekitar rumahnya. Namun, di tangan Sekar, semua itu menjelma menjadi karya seni yang memukau.
Suatu hari, seorang wisatawan asing yang sedang berkunjung ke desa itu tak sengaja melihat lukisan Sekar. Terpesona oleh bakat alami gadis itu, ia membelikannya seperangkat alat lukis yang lebih layak dan menyarankan Sekar untuk mengembangkan kemampuannya di Jakarta.
Awalnya, Sekar ragu. Jakarta adalah dunia yang asing baginya. Ia takut mimpinya akan hilang ditelan gemerlap kota. Namun, dengan dukungan penuh dari kedua orang tuanya, Sekar memberanikan diri. Ia meninggalkan lereng Salak, membawa serta debu dan kenangan masa kecilnya sebagai bekal.
Jakarta menyambut Sekar dengan segala hiruk pikuknya. Ia mengikuti berbagai kursus seni, bertemu dengan seniman-seniman hebat, dan belajar banyak hal baru. Namun, ia tak pernah melupakan akarnya. Lukisan-lukisannya selalu terinspirasi dari kehidupan di desa, dari keindahan alam Salak, dan dari orang-orang yang ia cintai.
Perlahan tapi pasti, nama Sekar mulai dikenal di dunia seni Jakarta. Lukisan-lukisannya dipamerkan di galeri-galeri ternama, dibeli oleh kolektor-kolektor kaya, dan mendapat pujian dari para kritikus seni. Sekar berhasil meraih mimpinya. Ia menjadi seorang pelukis terkenal.
Namun, di balik kesuksesannya, Sekar tak pernah lupa dari mana ia berasal. Ia selalu menyempatkan diri pulang ke desa, mengunjungi orang tuanya, dan berbagi ilmu dengan anak-anak desa yang memiliki minat yang sama dengannya. Ia mendirikan sebuah sanggar seni di desanya, memberikan pelatihan gratis bagi anak-anak yang ingin belajar melukis.
Sekar percaya, setiap anak memiliki potensi untuk meraih mimpinya, asalkan mereka berani bermimpi dan bekerja keras untuk mewujudkannya. Dan kisah Sekar, dari seorang gadis desa berdebu hingga menjadi seorang pelukis terkenal, adalah bukti nyata dari keyakinan itu. Debu dan kanvas telah mengantarkannya pada sebuah perjalanan yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya.