Riki dan Lala saling pandang ketika ada adegan ciuman di drama. Mereka tersenyum. Tidak tahu kenapa begitu, seperti anak kecil saja yang baru pertama melihat orang ciuman, yang terkadang mereka suka tutup mata padahal ingin melihat. Akan tetapi, wajah Riki seakan ketarik mendekati wajah Lala. Lala menutup matanya dan kedua bibir itu bertemu.
"Bisa-bisanya ikutan ciuman," ucap Riki di kamarnya. Dia sudah kembali sekitar sepuluh menit lalu karena dramanya sudah selesai.
Badannya butuh disegarkan dengan air. Mandi. Air membasahi tubuh Riki yang kuning langsat, terasa segar setelah keringetan tadi. Dia menggosok badannya dengan sabun sampai ke sela-sela tubuhnya. Tidak terasa miliknya mengembang akibat diusap pake tangan. Pikirannya menampilkan wajah Lala yang bermain di atas badannya. Beberapa detik kemudian berubah menjadi Maya seperti di mimpinya, lalu wajah itu berubah lagi menjadi Nurul.
Riki menghentikan tangannya. Dia teringat Nurul, di mana dia sekarang? Rasa itu perlahan menghilang bersamaan dengan miliknya yang kembali tertidur.
"Apa aku melakukan kesalahan sampai kamu pergi tanpa pamit, Nur?"
Sambil menghela napas, Riki membasuh badannya, menghilangkan busa sabun yang menempel sampai bersih.
***
"Apa!? Gua gak salah dengar?" Rima terlihat tidak percaya di seberang telepon dengan cerita Lala yang tadi berciuman dengan Riki.
"Kenapa gak langsung aja, buka baju." Kata Gina.
Mereka bertiga sedang melakukan video call. Kejadian tadi sungguh tidak disengaja dan tidak terpikirkan oleh Lala maupun Riki sebelumnya. Awalnya mereka hanya saling pandang sambil tersenyum ketika ada adegan ciuman di dramanya, akan tetapi Riki seperti ketarik mendekati wajah Lala lalu mencium bibirnya dengan lembut. Setelah ciuman itu selesai, mereka menjadi canggung. Riki memutuskan untuk kembali ke kamarnya untuk mandi, ditambah miliknya sudah mau bangun.
"Gila! Tadi juga gak sengaja. Tiba-tiba aja langsung refleks." Kata Lala.
"Berarti nanti nontonnya film dewasa atau drakor yang ada adegan ranjangnya."
"Setuju, Gin." Tambah Rima.
"Mana mau dia."
"Ya, tidak salahnya untuk mencoba."
"Oke. Nanti aku coba."
"Jangan lupa videonya." Mereka tertawa.
Tidak lama setelah itu panggilan diputus. Lala melepaskan pakaiannya tanpa kecuali, dia akan mandi. Setelah itu mencari makan di aplikasi. Perutnya sudah mulai berbunyi tanda harus diisi. Air membasahi seluruh badan Lala bersamaan dengan pikiran liarnya tentang Riki yang memeluknya dari belakang. Dia sering melakukan itu, berimajinasi mandi bareng.
Lala mendesah ketika dia meremas kedua miliknya yang sudah mengembang. Memainkan choco chips perlahan. Dia membayangkan bukanlah tangannya yang bermain melainkan tangan Riki sambil menciuminya.
"Terus, Sayang. Buat aku menjerit dengan tanganmu."
***
Riki sedang berdiri di depan kamarnya ketika motor ninja berwarna hijau masuk. Suara pintu dibuka terdengar, Lala keluar, ikut berdiri di samping Riki.
"Liatin siapa? Oh," katanya ketika melihat Maya dan seorang lelaki. "Sepertinya mereka pacaran."
Riki tidak berkomentar, masih menatap ke arah Maya. Mereka sedang mengobrol, hanya saja tidak terdengar jelas. Maya melihat sekilas ke lantai dua, kemudian memeluk lelaki di depannya sambil berbisik.
"Mereka memperhatikan kita, buat seromantis mungkin."
Maya melepaskan pelukannya, lalu memberikan kode supaya dia dikecup kening dan kedua pipinya.
"Kalau punya pasangan sepertinya enak, ada yang merhatiin, ada yang ajak jalan, ada yang meluk, kecup, dan...."
Riki tiba-tiba memeluk Lala yang membuat perempuan itu tidak melanjutkan perkataannya. Lala sedikit terkejut, akan tetapi dia menikmatinya. Riki melihat ke arah Maya. Di bawah, Maya melihat ke arah Riki.
Pintu kamar nomor lima dibuka. Satu lelaki keluar.
"Bro, kalau mau mesra-mesra'an di kamar lah. Kasian para jomblo," katanya yang kemudian temannya dari dalam bertanya. "Ini tetangga kita, membuat aku iri saja. Untungnya tidak aku lempar sendal. Hargailah kami para jomblo." Dia kembali masuk, menutup pintu.
"Kenapa itu orang?" tanya Lala yang masih dipeluk Riki. Dia nyaman. Tidak mau melepaskan pelukannya. Akan tetapi, Riki melepaskan pelukannya ketika motor ninja melaju keluar dan Maya berjalan masuk rumah.
Lala tersenyum manis, tanda bahagia.
"Eh, maaf." Kata Riki sambil garuk-garuk kepala.
"Tidak apa-apa, Kak. Mau peluk lagi juga boleh."
"Bahaya, nanti ada yang bangun." Bisik Riki sambil masuk ke kamarnya. Lala tahu persis apa yang dimaksud.
"Udah mesra-mesraannya?" tanya lelaki tadi, yang kembali masuk kamar nomor lima.
"Udah." Kata Lala sambil berjalan menuju tangga, dia akan ke swalayan untuk membeli keperluannya.
Di dalam kamarnya, Riki mengirimkan pesan ke Maya, bertanya dari mana dan siapa lelaki itu sebenarnya? Tanpa butuh waktu lama, pesan balasan mendarat di ponselnya.
"Kalau kamu mau tau siapa dia, ke rumahku sekarang."
Riki langsung berdiri tanpa membalas pesan dari Maya. Meletakkan ponselnya di kasur. Mengambil kunci motor, lalu keluar kamar. Dia melihat ke dalam kamar Lala dari jendela yang tertutup gorden, tidak ada siapa-siapa, musiknya pun tidak terdengar. Melewati kamar nomor lima yang penghuninya sedang merokok, asapnya keluar lewat pintu yang terbuka sedikit. Menuruni tangga.
"Kamu di mana, Nur?" ucap Riki ketika dia melewati kamar Nurul yang sudah tidak berpenghuni lagi, lampunya pun padam. Tidak dinyalakan.
Tok. Tok Tok.
Riki mengetuk pintu rumah Maya. Perlahan terbuka, dan Maya di baliknya, hanya mengenakan celana pendek dan tangtop berwarna biru.
"Bahaya," ucap Riki dalam hatinya, matanya tidak melihat wajah Maya melainkan ke dadanya.
"Kenapa bengong?" Maya membuyarkan lamunan Riki.
"Eh, enggak."
"Ayo masuk."
Pintu ditutup. Dikunci. Riki duduk di sofa.
"Kamu mau tahu siapa lelaki itu, kan?" Riki mengangguk. "Apa kamu cemburu?"
"Tidak," jawabnya sambil menggeleng.
"Oh begitu." Maya duduk di samping Riki, tangannya diletakkan di paha lelaki itu. "Lantas kenapa kamu ke sini?"
"Aku hanya penasaran."
"Oh, begitu."
Tangan Maya meraba paha Riki, membuatnya ada rasa geli meskipun memakai celana bahan selutut.
"Apa kamu sebegitu pasrahnya?"
"Eh, maksudnya?" Riki balik bertanya.
"Kamu diam aja, aku yang bekerja. Boleh?"
"Eh."
Belum Riki menjawab apapun, tangan Maya sudah membuka resleting karena dia sudah tidak tahan sejak lama. Perlahan milik Riki terbangun dari tidurnya, mengeras, akibat diusap oleh Maya.
"Waw. Akhirnya aku bisa mengelusnya. Ternyata besar juga, ya."
"Eh, mau apa?"
Maya mengeluarkan milik Riki yang sudah berdiri, ukurannya tidak terlalu besar dan tidak terlalu kecil, sedang. Berurat dan berwarna coklat. Ada rasa malu di diri Riki karena dipandang oleh Maya. Miliknya. Dia belum pernah dilihat oleh orang lain, apalagi dipegang, hanya tangannya yang menikmatinya ketika hasrat tidak bisa dibenarkan lagi.
Namun, sekarang ada yang menggantikan posisi tangannya, yaitu tangan Maya. Jari lentik, putih, dan halus mengusap milik Riki. Naik turun.
"Geli," ucap Riki sambil menahan supaya tidak mendesah.
"Nikmati aja,"
"Em."
"Bagaimana, enak?" Riki mengangguk. Maya mengikat rambutnya. Mendekatkan mulutnya ke milik Riki yang sudah berdiri tegak.
"Eh, mau apa?"
"Mau ngulum."
"Emang gak jijik?"
"Jijik?" Maya tertawa. "Disaat seperti ini rasa jijik itu hilang. Kamu juga boleh menjilat punya aku kalau mau."
"Eh, tapi, itu, kan. Ah....." Maya keburu memasukan milik Riki ke mulutnya. Pertama kepalanya, lalu ke bawah, sampai pangkalnya.
Refleks Riki memegang kepala Maya yang sedang maju mundur. Menekannya. Rasa geli dicampur rasa nikmat sekarang dia rasakan. Tetapi, kenikmatan itu harus terjeda ketika suara pintu diketuk.
"May?" panggil seseorang di balik pintu, suara perempuan.
"Siapa yang mengetuk?" bisik Riki.
"Kamu masuk kamar,"
Riki langsung berjalan masuk ke kamar Maya sambil menaikkan resletingnya, tidak sengaja menjepit miliknya karena terburu-buru. Dia mengaduh kesakitan. Pintu kamar ditutup.
"Eh, kok tiba-tiba ke sini?" suara Maya terdengar.
"Aku barusan lewat, terus ke sini aja."
"Kenapa tidak chat dulu?"
"Aku udah chat kamu, loh. Tetapi, belum dibaca, ditelepon juga cuma berdering aja. Lagi ngapain?"
"Ponsel aku di kamar, lagi dicas. Gak lagi ngapa-ngapain, diem aja."
"Aku boleh nginep di sini, kan?"
"Nginep?"
"Iya. Di sini sama kamu."
"Boleh, kenapa tidak."
Riki menepuk jidatnya, di balik pintu kamar Maya.