Hari itu Rafael berkunjung ke rumah ayahnya, melihat ayahnya 𝙅𝙤𝙣𝙖𝙩𝙝𝙖𝙣 (51thn) yang sudah tua dan hanya tinggal seorang diri.
Lalu dari arah luar rumah yang hujan, seorang gadis datang sambil menangis, Rafael mempersilahkannya untuk masuk.
Ternyata gadis remaja bernama 𝙑𝙞𝙫𝙞 (17thn) itu sudah sering datang dan bermain di halaman rumah Jonathan.
"Kau kenapa? apa ibumu menyiksamu lagi?" tanya Jonathan yang menatap Vivi sedang memegang gelas berisi tes panas.
"Iya, ibuku menyiksaku lagi. Dan ku kabur dari rumah. Aku tidak sanggup kalau harus tinggal dengan wanita iblis itu." jawab Vivi dengan wajah sedihnya.
"Kakek Jonathan aku gak tau harus kemana lagi, aku bingung, tolong aku." ucap Vivi yang menatap melas ke arah Jonathan.
"Kamu bisa beres-beres rumah sama memasak?" tanya Rafael.
"Bisa, aku bisa om. Di rumah memang aku yang mengerjakan semua pekerjaan rumah." Vivi terlihat sangat antusis menjawab pertanyaan Rafael.
"Kebetulan, saya sedang cari art untuk membantu papah saya di sini. Kalau kamu mau, mau bisa bekerja di sini." Ucap Rafael.
"Serius? apa gak masalah kalau aku tinggal di sini?" tanya Vivi menatap bergantian ke arah Rafael dan Jonathan.
"Tidak masalah, kebetulan rumah ini juga memiliki tiga kamar, satu kamarku, satu kamar Rafael dan satunya lagi kamar anakku yang sudah meninggal saat masih kecil. Apa kamu tidak keberatan untuk tidur di kamar itu?" Ucap Jonathan menatap ke arah baju oversize Vivi yang terlihat transparan karena basah.
Setelah kesepakatan dan pembicaraan yang membosankan, akhirnya Vivi tinggal satu rumah dengan Jonathan.
Gadis itu tidak bersekolah karena tidak ada yang membiayai, dan memiliki kepribadian yang sangat ceria. Bahkan kinerjanya juga sangat bagus, walaupun harus mengepel lantai dengan tangannya.
Hari-hari Jonathan yang sebelumnya kesepian dan hampa, menjadi cukup menyenangkan ketika Vivi hadir di hidupnya.
Saat siang hari, Jonathan keluar rumah sambil membawa teh dan camilan untuk dirinya bersantai, tetapi di bangku yang biasa dirinya duduki sambil melamun sudah ditempati oleh Vivi yang tertidur pulas.
Mata Jonathan memperhatikan wajah cantik milik Vivi, gadis itu masih sangat muda, bibirnya tipis dengan bagian bawah yang cukup tebal, hidungnya mancung dan berbulu mata lentik.
Perlahan, mata itu turun ke arah leher Vivi yang bersih dan putih, lalau turun kembali ke bagian dada Vivi, dapat Jonathan lihat kalau gunung kembar Vivi yang sepertinya tidak memakai bra.
Dan tatapan itu turun kembali ke arah paha Vivi yang sangat mulus, siang itu Vivi hanya mengenakan kaos oversize putih polos dipadu dengan celana dalam.
Jantung Jonathan berdetak dengan sangat cepat, dirinya merasa tergoda oleh tubuh Vivi yang sedang tertidur, entah mengapa dirinya merasa kalau Vivi sengaja melakukan hal itu.
🪼
Keesokan harinya ketika Jonathan sedang di ruang kerjanya, Vivi datang membawakan teh untuk dirinya.
Lagi-lagi gadis itu hanya mengenakan kaos oblong dan celana dalam saja, tetapi kali ini dia memakai bra di dadanya.
"Kakek Jonathan ini aku bawakan teh hangat." ujar Vivi.
"Ya, makasih."
Vivi lalu menatap ke sekitar ruang kerja Jonathan, dulunya Jonathan adalah seorang penulis yang cukup terkenal di kota.
Buku yang di ciptakan Jonathan cukup banyak dan semuanya menjadi buku yang bestseller, jadi jangan heran kalau Jonathan adalah kakek-kakek yang kaya.
"Buku ini terlihat berantakan." ujar Vivi.
"Ya, aku tidak sanggup membereskannya seorang diri."
"kalau gitu, biar aku saja yang bereskannya. Apa boleh?" tanya Vivi tersenyum sangat manis ke arah Jonathan.
Dengan tubuh yang membeku melihat senyum di bibir Vivi, Jonathan mengangguk setuju.
Dengan semangatnya, Vivi lalu mulai membereskan dari yang di bawah dahulu, tubunya yang banyak sekali gerak membuat dalemannya sering terlihat.
Dan Jonathan yang memperhatikan Vivi dari meja kerjanya hanya bisa terdiam tidak bisa melihat ke arah lain.
Malam harinya ketika Jonathan yang berada dikamarnya terlihat sedang memijat kakinya sendiri, Vivi datang ingin memanggil Jonathan untuk makan malam.
"Kakek kenapa? Kenapa tidak bilang padaku kalau ingin di pijat." ucap Vivi yang wajahnya terlihat merajuk.
"Bukan seperti itu, aku semenjak tinggal sendiri di rumah ini, sudah terbiasa memijit diriku sendiri." jawab Jonathan.
Vivi lalu memegang tangan Jonathan dan menggenggam jari-jemari Jonathan dengan lembut "Sekarangkan ada aku, jadi kakek tidak sendiri lagi. Kalau butuh apa-apa jangan sungkan untuk meminta tolong padaku." ujar Vivi.
Jonathan tersenyum "Iya terimakasih."
Vivi lalu memijat kaki Jonathan, mereka mengobrol dan bercerita tentang pengalaman Jonathan ketika masih menjadi seorang penulis.
Malam semakin larut, terlalu asik mengobrol hingga terbawa suasana membuat keduanya melupakan makan malam.
Vivi sudah tertidur pulas di atas kasur Jonathan, baju kaus oversizenya tersingkap hingga memperlihatkan tubuh Vivi yang putih mulus.
Dengan gerakan yang perlahan, Jonathan mengambil selimutnya dan lalu menyelimuti tubuh Vivi, dia pun keluar dari dalam kamar dan tertidur di kamar Rafael.
Pagi harinya vivi sudah terbangun, melihat ke arah samping kiri dan kanan kosong tidak ada orang, hingga hidungnya mencium aroma sesuatu yang lezat.
"Kakek sedang apa?" tanya Vivi yang baru keluar dari kamar Jonathan.
"Membuat sarapan untuk kita, tadi saat ingin membangunkan mu, aku tidak tega dan memutuskan untuk membuatnya seorang diri." jawab Jonathan yang sedang menyusun piring di meja makan.
Vivi pun berlari kecil dengan senang ke arah Jonathan, dia memegang kedua pipi Jonathan dan mencium pipi Jonathan sambil tersenyum senang.
"Kakek baik banget sih....seumur hidup aku belum pernah di buatkan makanan oleh orang lain." Ucap Vivi. Bagi Vivi Jonathan adalah manusia paling baik di muka bumi ini.
Ketika dirinya tinggal bersama ibunya yang telah bercerai dengan ayahnya, Vivi tidak pernah di perlakukan sebaik ini, kasih sayang yang di berikan Jonathan dan perhatian Jonathan kepadanya, membuat hatinya begitu merasa bahagia, dan Vivi merasa sangat di sayangi ketika tinggal dengan Jonathan.
Jonathan agak tersipu malu di buatnya, dirinya sudah lama sekali tidak merasakan ciuman dari seorah wanita.
Istrinya sudah meninggal puluhan tahun yang lalu, dan dia hidup seorang diri di rumah ini hingga pensiun. Sedangkan anaknya ketika sudah besar, hidup di kota dan berkerja di sana.
"Terimakasih ya kek. Aku sayang sama kakek." Vivi lalu memeluk tubuh Jonathan yang sudah tidak bugar lagi. Dia tersenyum haru dengan wajah yang didekatkan ke dada Jonathan.
Jonathan yang masih syok hanya bisa terdiam kaku, kedua tangannya sedang memegang sepiring lauk yang dibuatnya.
Ketika selesai sarapan, Jonathan pergi ke ruang kerjanya, dia menulis sesuatu menggunakan mesin ketik. Tangannya terus mengetik sedangkan bibirnya tersenyum lembut.
Tak lama Vivi masuk kedalam ruang kerjanya dan dengan buru-buru Jonathan menyembunyikan kertas-kertas yang ada di atas mejanya.
"Lagi ngapain kek? ini aku bawakan teh hangat dengan sedikit gula untuk kakek." ucap Vivi tersenyum menatap Jonathan.
Jonathan yang berpura-pura membaca buku melirik ke arah Vivi yang berjalan menghampiri dirinya.
"Lagi baca buku, taruh saja tehnya di atas meja." Ujar Jonathan.
Setelah menaruh teh di atas meja, Vivi juga mendudukkan bokongnya di atas meja, tubunya menghadap ke arah Jonathan dan matanya menatap Jonathan sambil tersenyum.
"Kek beberapa hari yang lalu aku baca buku kakek yang judulnya —𝙏𝙝𝙚 𝙇𝙞𝙩𝙩𝙡𝙚 𝙋𝙖𝙧𝙞𝙨 𝘽𝙤𝙤𝙠𝙨𝙝𝙤𝙥 — kenapa ceritanya sedih sekali?" tanya Vivi.
Jonathan terdiam, dia melepas kacamatanya lalu terlihatlah matanya dengan sorot mata yang sedih.
"Itu....kisah tentang seseorang yang kehilangan cintanya dan kesepian selama bertahun-tahun, aku menulis buku itu setelah istriku meninggal. Saat itu aku merasa sangat kehilangannya, dia meninggalkan diriku dan Rafael yang masih berusia 9thn."
Mendengar itu Vivi memasang wajah sedihnya, dia lalu memajukan tubuhnya dan menggenggam kedua tangan Jonathan.
"Kakek pasti sangat sedih dan kesepian waktu itu. Tapi sekarang, kakek punya aku, aku akan selalu ada di sisi kakek, karena aku juga hanya punya kakek seorang." Ujar Vivi menatap kedua mata Jonathan yang sudah keriput.
Tubuh Vivi yang dimajukan membuat dadanya terlihat tepat didepan mata Jonathan, bajunya yang tipis dengan kerah yang lebar menciptakan bolongan yang cukup besar.
Hingga beberapa menitnya ketika Vivi sedang mencari-cari buku untuk dibacanya, dia terlihat kesusahan menggapai buku di rak yang lumayan tinggi.
Jonathan yang memang sejak tadi terus memperhatikan tubuh Vivi langsung beranjak dari duduknya.
Dia berjalan ke arah Vivi dan berdiri tepat di belakang gadis itu, tubuh mereka tidak berjarak dan Vivi diam membeku.
Dengan nafsu yang terus di tahannya dari kemarin-kemarin, hari ini Jonathan memberanikan diri untuk menyentuh tubuh Vivi yang selalu menggodanya.
Dia meraba paha Vivi yang tidak tertutup apapun dan naik ke atas hingga sampai ke perut. Vivi terdiam, tidak berbicara atau melawan.
"Apa kau...mengizinkannya?" tanya Jonathan tepat dikuping Vivi.
Karena Vivi tidak menjawab, Jonathan menganggapnya itu sebagai YA, dia mulai bergerak lebih berani lagi, tangannya menggenggam dada Vivi yang selalu menggoda dirinya, membuat gadis itu mendesah pelan.
Dia menciumi leher Vivi yang aromanya selalu dia cium setiap hari, ketika Vivi berada didekatnya.
Hingga ketika Jonathan memutar tubuh Vivi agar menghadapnya, mata tua Jonathan menatapa mata sipit milik Vivi.
Dan tangannya mulai membuka kaos oversize oblong yang selalu di kenakan oleh gadis itu. Terlihat sudah tubuh Vivi yang putih dan mulus.
Perlahan tadi pasti, Jonathan dan Vivi mulai melakukan hal itu di sana, keduanya terlihat sangat santai dan menikmati setiap sentuhan yang di rasakan.
Rasa rindu akan se*k, membuat Jonathan berada di puncaknya, perasaan ini yang telah lama terkubur di dalam tubuhnya, kini mulai tumbuh kembali seiring kehadiran Vivi.
Dan Vivi yang selama ini merasa seperti sampah, menjadi merasa seperti barang yang berguna dan pantas mendapat kasih sayang, Jonathan lah yang membuat dirinya percaya diri dan hanya karena Jonathan lah dia mempunyai semangat hidup.
𝐕𝐢𝐯𝐢—𝟏𝟗𝟗𝟏
𝓓𝓲𝓪 𝓼𝓮𝓹𝓮𝓻𝓽𝓲 𝓮𝓶𝓫𝓾𝓶 𝓭𝓲 𝓹𝓪𝓰𝓲 𝓫𝓪𝓻𝓲, 𝓴𝓮𝓱𝓪𝓭𝓲𝓻𝓪𝓷𝓷𝔂𝓪 𝓶𝓮𝓶𝓫𝓾𝓪𝓽 𝓽𝓮𝓶𝓹𝓪𝓽 𝔂𝓪𝓷𝓰 𝓭𝓲𝓽𝓲𝓷𝓰𝓰𝓪𝓵𝓲𝓷𝔂𝓪 𝓶𝓮𝓷𝓳𝓪𝓭𝓲 𝓼𝓮𝓳𝓾𝓴 𝓭𝓪𝓷 𝓽𝓮𝓻𝓪𝓼𝓪 𝓱𝓲𝓭𝓾𝓹. 𝓢𝓮𝓷𝔂𝓾𝓶𝓷𝔂𝓪 𝔂𝓪𝓷𝓰 𝓼𝓪𝓷𝓰𝓪𝓽 𝓬𝓮𝓻𝓲𝓪 𝓶𝓮𝓷𝓾𝓽𝓾𝓹𝓲 𝓵𝓾𝓴𝓪 𝓭𝓲 𝓱𝓪𝓽𝓲𝓷𝔂𝓪 𝔂𝓪𝓷𝓰 𝓫𝓮𝓰𝓲𝓽𝓾 𝓫𝓪𝓷𝔂𝓪𝓴, 𝓶𝓮𝓶𝓫𝓾𝓪𝓽𝓴𝓾 𝓼𝓮𝓶𝓪𝓴𝓲𝓷 𝓴𝓪𝓰𝓾𝓶 𝓭𝓲𝓫𝓾𝓪𝓽𝓷𝔂𝓪.
𝓚𝓮𝓱𝓪𝓭𝓲𝓻𝓪𝓷𝓷𝔂𝓪 𝓫𝓪𝓰𝓲𝓴𝓪𝓷 𝓫𝓾𝓴𝓾 𝓾𝓷𝓽𝓾𝓴 𝓼𝓲 𝓲𝓷𝓽𝓻𝓸𝓿𝓮𝓻𝓽, 𝓶𝓮𝓷𝓮𝓶𝓪𝓷𝓲 𝓱𝓪𝓻𝓲-𝓱𝓪𝓻𝓲𝓷𝔂𝓪 𝔂𝓪𝓷𝓰 𝓽𝓪𝓶𝓹𝓪𝓴 𝓶𝓮𝓶𝓫𝓸𝓼𝓪𝓷𝓴𝓪𝓷 𝓶𝓮𝓷𝓳𝓪𝓭𝓲 𝓵𝓮𝓫𝓲𝓱 𝓫𝓮𝓻𝓪𝓻𝓽𝓲 𝓭𝓪𝓷 𝓶𝓮𝓷𝔂𝓮𝓷𝓪𝓷𝓰𝓴𝓪𝓷. 𝓚𝓮𝓽𝓲𝓴𝓪 𝓽𝓪𝓷𝓰𝓪𝓷𝓷𝔂𝓪 𝔂𝓪𝓷𝓰 𝓵𝓮𝓶𝓫𝓾𝓽 𝓶𝓮𝓷𝔂𝓮𝓷𝓽𝓾𝓱 𝓴𝓾𝓵𝓲𝓽𝓴𝓾, 𝓽𝓾𝓫𝓾𝓱𝓴𝓾 𝓽𝓮𝓻𝓪𝓼𝓪 𝓽𝓮𝓻𝓼𝓮𝓷𝓰𝓪𝓽 𝓵𝓲𝓼𝓽𝓻𝓲𝓴 𝓱𝓲𝓷𝓰𝓰𝓪 𝓽𝓪𝓴 𝓫𝓲𝓼𝓪 𝓫𝓮𝓻𝓰𝓮𝓻𝓪𝓴.
𝓦𝓪𝓳𝓪𝓱𝓷𝔂𝓪 𝔂𝓪𝓷𝓰 𝓼𝓪𝓷𝓰𝓪𝓽 𝓬𝓪𝓷𝓽𝓲𝓴, 𝓴𝓾𝓵𝓲𝓽𝓷𝔂𝓪 𝔂𝓪𝓷𝓰 𝓹𝓾𝓽𝓲𝓱, 𝓭𝓪𝓷 𝓹𝓲𝓷𝓰𝓰𝓪𝓷𝓰𝓷𝔂𝓪 𝔂𝓪𝓷𝓰 𝓻𝓪𝓶𝓹𝓲𝓷𝓰, 𝓶𝓮𝓶𝓫𝓾𝓪𝓽 𝓱𝓪𝓼𝓻𝓪𝓽 𝓭𝓲 𝓭𝓪𝓵𝓪𝓶 𝓭𝓲𝓻𝓲𝓴𝓾 𝓫𝓮𝓻𝓰𝓮𝓳𝓸𝓵𝓪𝓴 𝓱𝓮𝓫𝓪𝓽. 𝓓𝓲𝓪 𝓪𝓭𝓪𝓵𝓪𝓱 𝔀𝓪𝓷𝓲𝓽𝓪 𝔂𝓪𝓷𝓰 𝓼𝓪𝓷𝓰𝓪𝓽 𝓫𝓪𝓲𝓴 𝓱𝓪𝓽𝓲 𝓭𝓪𝓷 𝓹𝓸𝓵𝓸𝓼, 𝓽𝓮𝓽𝓪𝓹𝓲 𝓱𝓲𝓭𝓾𝓹𝓷𝔂𝓪 𝓹𝓮𝓷𝓾𝓱 𝓭𝓮𝓷𝓰𝓪𝓷 𝓴𝓮𝓴𝓮𝓻𝓪𝓼𝓪𝓷 𝓭𝓪𝓻𝓲 𝓸𝓻𝓪𝓷𝓰 𝓽𝓾𝓪𝓷𝔂𝓪.
𝓢𝓾𝓪𝓻𝓪𝓷𝔂𝓪 𝔂𝓪𝓷𝓰 𝓼𝓪𝓷𝓰𝓪𝓽 𝓵𝓮𝓶𝓫𝓾𝓽, 𝓻𝓪𝓶𝓫𝓾𝓽𝓷𝔂𝓪 𝔂𝓪𝓷𝓰 𝓲𝓷𝓭𝓪𝓱 𝓭𝓪𝓷 𝓼𝓮𝓵𝓪𝓵𝓾 𝔀𝓪𝓷𝓰𝓲 𝓼𝓮𝓽𝓲𝓪𝓹 𝓱𝓪𝓻𝓲𝓷𝔂𝓪, 𝓶𝓮𝓶𝓫𝓾𝓪𝓽𝓴𝓾 𝓪𝓶𝓪𝓽 𝓫𝓮𝓰𝓲𝓽𝓾 𝓽𝓮𝓻𝓹𝓮𝓼𝓸𝓷𝓪. 𝓟𝓮𝓻𝓱𝓪𝓽𝓲𝓪𝓷 𝔂𝓪𝓷𝓰 𝓭𝓲𝓪 𝓽𝓾𝓷𝓳𝓾𝓴𝓪𝓷 𝓹𝓪𝓭𝓪𝓴𝓾 𝓼𝓪𝓷𝓰𝓪𝓽 𝓽𝓾𝓵𝓾𝓼 𝓭𝓪𝓷 𝓼𝓪𝓷𝓰𝓪𝓽 𝓫𝓮𝓻𝓪𝓻𝓽𝓲 𝓾𝓷𝓽𝓾𝓴𝓴𝓾.
𝓓𝓲 𝓭𝓪𝓵𝓪𝓶 𝓭𝓲𝓻𝓲𝓷𝔂𝓪 𝓪𝓭𝓪 𝓭𝓪𝔂𝓪 𝓽𝓪𝓻𝓲𝓴 𝓽𝓮𝓻𝓼𝓮𝓷𝓭𝓲𝓻𝓲 𝔂𝓪𝓷𝓰 𝓶𝓮𝓶𝓫𝓾𝓪𝓽𝓴𝓾 𝓫𝓮𝓰𝓲𝓽𝓾 𝓪𝓶𝓪𝓽 𝓶𝓮𝓷𝔂𝓾𝓴𝓪𝓲𝓷𝔂𝓪. 𝓣𝓮𝓻𝓴𝓪𝓭𝓪𝓷𝓰 𝓱𝓪𝓽𝓲𝓴𝓾 𝓶𝓮𝓶𝓫𝓮𝓻𝓲𝓽𝓪𝓱𝓾𝓴𝓾 𝓫𝓪𝓱𝔀𝓪 𝓭𝓲𝓪 𝓳𝓾𝓰𝓪 𝓶𝓮𝓷𝔂𝓾𝓴𝓪𝓲𝓴𝓾, 𝓽𝓮𝓽𝓪𝓹𝓲 𝓹𝓲𝓴𝓲𝓻𝓪𝓷𝓴𝓾 𝓶𝓮𝓶𝓫𝓪𝓷𝓽𝓪𝓱𝓷𝔂𝓪. 𝓓𝓲𝓪 𝓫𝓮𝓰𝓲𝓽𝓾 𝓬𝓪𝓷𝓽𝓲𝓴 𝓭𝓪𝓷 𝓼𝓮𝓶𝓹𝓾𝓻𝓷𝓪 𝓭𝓲 𝓫𝓪𝓷𝓭𝓲𝓷𝓰𝓴𝓪𝓷 𝓪𝓴𝓾 𝔂𝓪𝓷𝓰 𝓱𝓪𝓷𝔂𝓪 𝓼𝓮𝓸𝓻𝓪𝓷𝓰 𝓹𝓻𝓲𝓪 𝓽𝓾𝓪 𝔂𝓪𝓷𝓰 𝓴𝓮𝓼𝓮𝓹𝓲𝓪𝓷.
𝐖𝐫𝐢𝐭𝐭𝐞𝐧 : 𝐓𝐧. 𝐉𝐨𝐧𝐚𝐭𝐡𝐚𝐧 𝐀𝐥𝐟𝐚𝐫𝐞𝐝𝐨 𝐏𝐫𝐚𝐧𝐜𝐢𝐬𝐢𝐨
𝐆𝐞𝐥𝐚𝐫 : 𝐌𝐚𝐬𝐭𝐞𝐫 𝐨𝐟 𝐅𝐢𝐧𝐞 𝐀𝐫𝐭𝐬
𝐃𝐢𝐭𝐞𝐫𝐛𝐢𝐭𝐤𝐚𝐧 : 𝟏𝟓 𝐉𝐮𝐥𝐲 𝟏𝟗𝟗𝟏 — 𝐍𝐨𝐫𝐰𝐞𝐠𝐢𝐚