Reno, dengan jaket kulit hitam yang selalu sempurna membingkai bahunya, duduk di kursi kebanggaannya di sudut markas Serigala Malam. Di tangannya ada kunci pas, yang ia putar-putar dengan gelisah. Bukan karena mesin motornya yang bermasalah, melainkan karena pemandangan di depannya.
Pacarnya, Clara, sedang tertawa.
Tawa itu renyah, seperti keripik kentang baru. Masalahnya, tawa itu ditujukan pada Jojo, anggota geng paling cerewet, yang sedang menunjukkan sebuah meme di ponselnya.
Reno adalah perwujudan es. Dingin, kaku, dan punya prinsip: Apa yang Reno pegang, hanya Reno yang pegang. Dan Clara, meski sering ia perintahkan memakai jaket oversize miliknya (bahkan di bawah terik matahari), adalah miliknya sepenuhnya.
"Jo," suara Reno sedingin knalpot di musim hujan. Jojo, yang memiliki insting bertahan hidup yang luar biasa, langsung tegang seperti senar gitar putus.
"I-iya, Bos?"
"Motor Rian. Bautnya kencangkan. Sekarang."
Jojo langsung melesat. Reno menatap Clara. Clara, si cewek yang polos tapi bar bar, sama sekali tidak terpengaruh. Ia sedang mencoba membetulkan kembali rambut Reno yang selalu jatuh di dahinya.
"Kamu kenapa,Reno?" tanya Clara, matanya bulat besar, polos tanpa dosa. "Wajahmu kaku sekali. Seperti bearing macet."
Reno meraih tangan Clara, menariknya pelan ke sisinya—sangat posesif, namun sangat hati-hati. Ia tidak pernah mau Clara terluka. "Jangan terlalu dekat dengan Jojo. Dia bau oli campur keringat."
Clara tertawa lagi. "Dia lucu,Ren. Tadi dia bilang, kalau kamu cemburu, kamu seperti beruang yang kehilangan madunya."
Reno mendengus. "Aku bukan beruang. Aku serigala."
Tiba-tiba, seorang anggota baru bernama Dion masuk tergesa-gesa. "Bos, ada masalah! Motor saya ditahan di pos polisi depan! Saya butuh... backing-an!"
Reno sudah berdiri. Ini adalah pekerjaannya. Ia menoleh ke Clara. "Aku pergi sebentar. Jangan ke mana-mana. Duduk di sini. Jangan sentuh motor siapa pun. Jangan bicara dengan siapa pun kecuali Guntur."
Clara mengangguk patuh. "Siap, sayangg!"
Begitu Reno pergi, Clara merasa bosan. Ia melihat motor sport Reno yang mengkilat, si 'Si Hitam Manis’. Clara, dengan rasa ingin tahu yang polos, berjalan mendekat.
Ia hanya ingin menyentuh joknya. Tapi tanpa sengaja, ia menyenggol kotak peralatan di samping motor, membuat deretan kunci pas jatuh berderai. Clara panik.
"Sialan!" desis Clara. Ia mencoba mengambil kunci-kunci pas yang berserakan.
Saat Reno kembali 15 menit kemudian, ia melihat pemandangan yang membuatnya antara ingin marah besar dan ingin memeluk Clara.
Clara, si cewek yang selalu tampil menggemaskan, kini sedang menggerutu sambil memegang kunci pas ukuran 17 di tangannya. Ia tidak sengaja memukul tangannya sendiri karena frustrasi mengumpulkan baut-baut kecil.
"Dasar baut sialan! Kenapa kamu lari?! Mau aku pukul sampai gepeng, hah?!" seru Clara, lalu ia benar-benar memukul lantai gudang dengan kunci pas itu. Itu adalah momen bar bar Clara. Polos tapi agresif ke benda mati.
Reno, sang ketua geng yang ditakuti seantero kota, langsung melunak. Ia tidak marah karena kekacauan itu. Ia hanya melihat betapa frustrasinya ceweknya itu.
"Sayang. Jangan memukul lantai. Nanti lantai gudangku retak," kata Reno, suaranya kini sehangat sup di malam hari.
Clara menoleh, matanya berkaca-kaca, bukan karena marah, tapi karena kesal pada baut. "Reno! Baut-baut ini nakal! Mereka tidak mau masuk ke tempatnya! Aku ingin membanting mereka!"
Reno mendekat, berlutut di depannya. Posesifnya tiba-tiba berubah menjadi perhatian lembut. Ia mengambil kunci pas dari tangan Clara.
"Sini. Biar aku yang urus baut-baut nakal ini. Tanganmu jangan kotor." Ia membersihkan sisa oli di tangan Clara dengan sapu tangan bersih (ya, Ketua Geng punya sapu tangan bersih).
"Kamu tadi baik-baik saja di sini?" tanya Reno, suaranya menunjukkan kekhawatiran yang ia sembunyikan.
Clara mengangguk, lalu memeluk Reno erat-erat, tidak peduli dengan jaket kulitnya yang dingin. "Tentu saja. Tapi aku rindu. Tadi aku mau menyentuh'Si Hitam Manis' agar cepat pulang, tapi dia malah menjatuhkan baut."
Reno hanya bisa tersenyum kecil—senyum yang hanya Clara yang bisa memancingnya keluar. Ia mengecup puncak kepala Clara.
"Tidak apa-apa. Kamu duduk saja, aku perbaiki. Aku tidak suka kamu berinteraksi dengan benda lain selain aku, apalagi benda sekeras kunci pas. Aku cemburu pada baut, paham?" bisik Reno.
Clara cekikikan. "Dasar beruang madu!"
Reno pura-pura mendengus, tapi hatinya sudah meleleh seperti es krim di bawah terik matahari. Posesifnya adalah bentuk cintanya, dan ke-bar bar-an Clara selalu menjadi alasan yang lucu untuk mencintainya lebih dalam.
Beberapa hari setelah insiden "Baut Sialan," kecemburuan Reno mulai mencapai level kosmik. Sekarang, Reno bukan hanya cemburu pada baut, tetapi juga pada benda hidup dan tak hidup lainnya.
Pagi itu di markas Serigala Malam yang kini berfungsi ganda sebagai "SM Motors," Reno sedang mengajarinya cara menggunakan grinder untuk menghaluskan permukaan mesin.
"Lihat, Clara. Pegang seperti ini. Kontrol tenagamu. Jangan sampai terbang," jelas Reno dengan suara tenang namun tegas.
Clara mengangguk, lalu menoleh ke samping. Di sana, di dekat tumpukan ban bekas, ada seekor kucing kampung berwarna oranye yang sedang menatapnya dengan mata mengantuk. Kucing itu bernama 'Miko', peliharaan tidak resmi geng motor tersebut.
Clara langsung meletakkan grinder yang berbahaya itu dan menghampiri Miko. "Aduh, Miko! Kamu kenapa? Lapar, ya? Sini, aku garuk-garuk dagunya..."
Miko, si kucing cuek, mendadak berbalik, melompat, dan menggesekkan kepalanya ke kaki Reno yang kokoh. Seolah-olah mencari perlindungan dari Clara.
Reno membeku. Ia melihat ke bawah, di mana Miko sedang menggesekkan tubuhnya, dan kemudian menatap Clara.
"Kenapa dia tiba-tiba akrab sekali dengan kakimu, Ren?" tanya Clara polos.
Reno berdeham keras, mencoba menjaga ekspresinya tetap dingin. Dalam hati, ia sudah berteriak, Dia mencari perhatianku! Dia ingin menjadi satu-satunya yang dekat denganku!
"Dia... dia hanya menghormati serigala alfa," jawab Reno kaku.
"Padahal aku yang mau kasih dia sosis!" cemberut Clara.
Reno mengangkat Miko dan menaruhnya di atas tumpukan ban paling jauh. "Jangan sentuh Miko. Dia—" Reno berjuang mencari alasan yang logis. "Dia alergi dengan hand sanitizer yang kamu pakai."
Clara mengernyit. "Tapi aku tidak pakai hand sanitizer, Ren."
"Pokoknya jauhkan tanganmu dari Miko," putus Reno posesif. Bahkan seekor kucing pun tidak boleh dekat-dekat dengan cewekku!
Puncak kecemburuan Reno terjadi saat siang hari. Seorang klien datang membawa mobil mewah Eropa yang bannya bocor. Namanya Satria, seorang pria rapi yang memakai jam tangan mahal.
Saat Satria menjelaskan masalah mobilnya, Clara keluar dari kantor kecil Reno (ia sedang bermain game balapan motor di ponsel Reno, sebuah kenakalan yang diizinkan karena Reno tidak bisa menolak).
"Sayangg! Aku menang!" seru Clara riang, lalu melihat Satria.
"Maaf, Mas. Saya Clara, pacar Ketua Geng di sini. Motor Anda bocor, ya? Aduh, kasihan sekali," kata Clara dengan nada prihatin yang tulus.
Satria tersenyum sopan. "Iya, Mbak. Ban saya kena paku."
"Bawa ke sini. Saya bantu!" kata Clara, lalu—dengan tingkah bar bar-nya—ia mengambil kunci roda besar dan mencoba melepaskan baut ban mobil sport Satria. Tentu saja, ia melakukannya dengan tenaga yang berlebihan.
KRTAK!
Bukannya baut terlepas, tapi kunci roda itu tergelincir, mengenai velg mobil mewah itu.
Satria terkejut, tapi menahan diri. "Aduh, Mbak Clara, hati-hati!"
Reno yang melihat kejadian itu dari jauh—Clara berinteraksi dengan pria lain, lalu merusak mobilnya—langsung merasa darahnya mendidih. Dia mendekat dengan aura gelap yang membuat anggota geng lain mundur teratur.
Reno berdiri di antara Clara dan Satria. Matanya tajam.
"Clara. Masuk ke kantor. Sekarang. Jangan bicara pada siapa pun sampai aku selesai," perintah Reno dengan nada suara terdingin yang pernah didengar Clara.
Clara, yang biasanya polos dan patuh, tiba-tiba menunjukkan kenakalan kecilnya. Ia menatap Satria, lalu dengan cepat, ia mengambil tangannya yang berminyak dan menempelkannya di pipi Reno.
"Cup, biar kamu tidak terlalu tegang, sayang," kata Clara, pipinya merona. "Aku tadi cuma mau kasih tahu Mas-mas ini, kalau motor Serigala Malam jauh lebih kuat dari mobilnya."
Clara langsung masuk ke dalam kantor kecil, meninggalkan tanda sidik jari berminyak di pipi Reno.
Reno, si ketua geng yang marah, kini hanya bisa berdiri membeku. Wajahnya yang dingin dan penuh ancaman kini dihiasi cap jari berminyak, persis seperti cap tangan bayi.
Satria bingung. "Itu pacar Anda, Mas Reno?"
Reno mengusap pipinya, ekspresi marah digantikan oleh senyum kecil yang nyaris tak terlihat. Ia membersihkan cap itu, lalu menatap Satria dengan tatapan posesif yang kembali menguasai.
"Ya. Dia milikku," jawab Reno. "Sekarang, tentang ban mobil Anda. Sebaiknya Anda tunggu di kafe seberang. Saya tidak suka Anda melihat dia memegang alat-alat saya lagi. Dan tolong, jangan senyum pada pacarku."
Satria buru-buru mengangguk dan pergi.
Reno kemudian berbalik, melangkah ke kantor kecilnya. Di sana, ia menemukan Clara sedang bersembunyi di balik meja.
"Kamu nakal sekali. Kenapa kamu mencap tanganku dengan oli?" tanya Reno, kini nadanya berubah menjadi perhatian.
Clara keluar, memeluk Reno erat-erat, kini berlagak sangat manis. "Aku takut kamu marah. Jadi aku kasih ciuman terbaikku, Renn. Hanya kamu yang boleh dicap tanganku."
Reno membalas pelukan itu, mencium puncak kepala Clara. "Aku tidak marah. Aku cuma... cemburu. Aku cemburu karena kamu melihat orang lain selain aku. Kamu harus mengerti, Clara. Semua yang ada di sini adalah milikku. Termasuk kamu, termasuk baut, dan termasuk Miko. Apalagi pria asing itu."
Clara mendongak, tertawa kecil. "Dasar beruang madu yang pencemburu!"
Reno membiarkannya. Selama Clara berada di pelukannya, ia rela disebut beruang, bahkan cemburu pada setiap benda yang Clara sentuh.