Cinta Bersemi Dimusim Dingin
Author: ovhiie
Romantis;Asmara
Malam itu, hujan turun lebat.
Sudah ada peringatan tentang hujan besar di daerah ini, jadi hal itu bukanlah sesuatu yang mengejutkan. Setidaknya, tidak lebih mengejutkan daripada telepon yang membangunkan Beach front Bungalow di desa beberapa hari yang lalu.
Putra sulung AB Contractions, bernama Nizam melompat dari atap kantor pusat yang terletak di kota A. Itu adalah bunuh diri. Seorang petugas keamanan yang sedang berjaga malam menemukan tubuhnya saat berpatroli dan segera membawanya ke rumah sakit, tetapi laporan berita pada hari itu mengatakan bahwa dia sudah meninggal saat ditemukan.
Beach front Bungalow gempar saat menerima telepon berita duka Nizam melalui kantor sekretaris. Keluarga Abizar pun berencana turun setelah pemakaman, tetapi tenaga kerja di tidak mencukupi untuk menangani semua urusan.
Dengan terburu-buru, mereka merekrut orang tambahan dan membersihkan sisa-sisa musim hujan yang terus membasahi tempat itu.
Namun, sebagai pukulan tambahan, peringatan hujan badai diumumkan.
Sejak dini hari, Paman Ham dan Bu Ipah telah bekerja keras membersihkan daun yang berguguran di halaman rumah dan trotoar depan rumah.
Saat ini, tangan Bu Ipah pasti sudah bengkak, tetapi dia tetap bertarung dengan panasnya dapur.
"Apa sih hebatnya keluarga Abizar?"
Aihara merasa kesal. Hari ini seharusnya menjadi hari di mana dia meninggalkan Bungalow dan pindah ke asrama universitasnya.
Bu Ipah dan Paman Ham bahkan telah berjanji mengantarnya ke stasiun. Tetapi satu panggilan telepon dari keluarga Abizar menghancurkan semua rencana itu.
Embun tebal yang muncul setelah hujan turun membuat perjalanan menjadi sulit. Dia sempat berpikir untuk tinggal beberapa hari lagi di Bungalow sebelum berangkat ke kota A.
Namun, mungkin lebih baik jika dia pergi secepatnya, agar Bu Ipah dan Paman Ham tidak perlu mengkhawatirkannya.
Aihara berhenti sejenak dan merapikan kupluk yang menutupi telinga dan kepalanya. Ada sedikit rasa sepi yang menyelinap, tetapi itu tidak masalah. Dunia di sekelilingnya tertutup oleh embun dan napas kecilnya membentuk uap tipis di udara.
Meski begitu, dia tidak merasa kedinginan. Bukan hanya karena pakaian tebal, syal, dan sepatu berbulu yang disiapkan oleh Bu Ipah dengan penuh perhatian, tetapi juga karena alasan lain.
Jalan ini jarang dilalui siapa pun selain orang-orang di desa. Bahkan trotoar yang bukan jalur kendaraan keluarga Abizar pun sudah dibersihkan dari tumpukan daun kering.
Lebarnya pas hanya untuk satu orang. Aihara bisa membayangkan siapa yang telah menyapu dedaunan itu hingga sejauh ini, dan memikirkannya saja membuat dadanya terasa hangat dan sedikit nyeri sekaligus.
"Aku gak kesepian. Aku gak merasa sendiri. Aku baik-baik saja."
Saat Aihara kembali menggenggam pegangan kopernya, suara mobil terdengar dari kejauhan.
Serangkaian mobil hitam mulai melaju di jalan. Itu adalah keluarga Abizar. Iring-iringan mobil yang membawa bayangan kematian terlihat begitu suram.
Bahkan, seolah-olah ada isak tangis samar yang mengiringi perjalanan mereka. Entah mengapa, perasaan aneh menjalari punggung Aihara.
Dia mengangkat wajahnya dan melihat ke arah mobil-mobil yang berhenti di jalan. Matanya mencoba menembus kaca gelap yang menutupi jendela mobil.
Namun, dia menggelengkan kepala. Pasti hanya perasaan saja. Atau, mungkin seseorang di dalam mobil memang sedang memperhatikannya.
Lagipula, tidak aneh jika mereka penasaran melihat seorang gadis berdiri sendirian di tengah jalan yang sepi dan berembun.
Ketika dia berusaha mengabaikan pikirannya, getaran dari sakunya menarik perhatiannya. Itu telepon. Paman Ham.
Aihara berbalik menjauh dari jalan dan melepas kupluk sebelum menjawab panggilan itu.
"Ya, Paman ada apa?."
_ Ara, ada di mana kamu? Kamarmu kosong!
Begitu panggilan tersambung, suara tergesa-gesa dari Bu Iapah terdengar. Jelas sekali dia menyelinap dari pekerjaannya hanya untuk menelepon.
"Aku lagi di perjalanan ke stasiun kereta, kenapa?"
_ Apa? Kenapa secepat itu?
"Yah, siapa tahu nanti ada kendala."
_ Pulang sekarang juga!"
Teriakan Bu Ipah dari telepon membuat Aihara sedikit menjauhkan hp dari telinganya.
_ Kereta lagi gak beroperasi karena hujan badai! Cepat pulang! Kamu belum jauh, kan?
Belum.
Meski sudah berjalan cukup lama, Aihara masih berada di sekitar kawasan Bungalow.
Aihara menundukkan kepala dan menatap kakinya yang terbungkus sepatu berbulu.
_ Aihara
Suara panggilan dari telepon menyadarkannya. Dia terkejut. Kereta tidak beroperasi? Itu kabar yang cukup mengejutkan.
_ Cepat pulang. Mengerti? Aku tutup teleponnya!
Panggilan terputus. Aihara tetap berdiri di tempatnya, menatap layar hp sebelum kembali melihat sekeliling.
Mobil-mobil hitam yang tadi berhenti di jalan mulai bergerak lagi, melanjutkan perjalanan mereka.
Saat itu, hembusan angin mengguncang dahan pohon di atasnya. Daun yang gugur pun terjatuh beberapa mengenai pipi Aihara yang bulat.
Tetesan embun dinginnya membuat Aihara mengerutkan wajah, mengedipkan mata, dan menyipitkan salah satu kelopak matanya.
***
Saat Aihara menarik kopernya sampai ke pintu masuk Bungalow, Paman Ham sudah menunggunya dengan wajah cemas.
Sementara ear phone yang menutupi telinganya, suara Bu Ipah terdengar samar-samar. Dia melambaikan tangan dengan heboh, berbicara begitu cepat hingga Aihara tidak bisa menangkap satu kata pun dengan jelas.
Dia hanya bisa menebak bahwa Paman Han hendak membawa barangnya ke bungalow kecil lebih dulu, melihat cara lelaki itu dengan sigap merebut kopernya dan langsung berbalik.
Pada akhirnya, Aihara kembali ke kamarnya. Keputusan untuk meninggalkan Beach Front lebih awal agar tidak merepotkan Bu Ipah dan Paman Han terasa sia-sia.
Dia menghela napas tipis, matanya menelusuri kamar yang kini terasa lebih dingin. Sebelum pergi, dia sudah merapikan semuanya dengan pemikiran bahwa dia tidak akan kembali dalam waktu dekat.
Sebenarnya, selama dia masuk ke asrama sebelum perkuliahan dimulai, tidak ada masalah kapan pun dia pergi. Tapi saat ini, satu-satunya hal yang dia inginkan hanyalah keluar dari Bungalow, walau sejenak.
Aihara teringat pada ibunya, ayah tirinya, dan adik tirinya yang datang berkunjung seminggu lalu.
Ayah tirinya, bernama Dimas, menyerahkan hadiah sebagai ucapan selamat atas kelulusannya, tetapi ibunya Eza sama sekali tidak berkata apa-apa.
Wanita itu hanya sesekali menoleh ke samping, seolah ingin segera pergi dari tempat itu.
Saat makan malam, hanya ada pembicaraan tentang adik tirinya bernama Rika. Mereka menonton video penampilannya dalam kompetisi balet yang baru-baru ini diikutinya.
Bu Ipah yang menyaksikan video itu tampak sulit menahan amarah, menarik napas dalam beberapa kali. Dia bahkan memberi isyarat kepada Aihara untuk meninggalkan meja jika merasa tidak nyaman, tetapi Aihara tetap duduk tegak.
Dia dengan tenang menyantap sup dan nasi di hadapannya, lalu bangkit dari tempat duduknya tanpa mengucapkan sepatah kata.
Mungkin itu hanya kebanggaan bodoh. Tapi dia tidak ingin menunjukkan kelemahan. Dia berpikir bahwa tidak apa-apa selama dia tetap tenang. Tidak peduli jika dia terus-menerus diinjak-injak seperti debu tak berguna, selama dia tetap diam, semuanya akan baik-baik saja.
Namun, saat melihat Rika dalam video itu, berdiri dengan anggun di atas panggung sebelum melompat tinggi dan terbang bak burung yang bebas, ada perasaan hampa yang menusuk dadanya.
Tapi ini bukan pertama kalinya. Jika setiap saat dia merasa sedih, jika setiap kali dia terjatuh dan meratapi diri sendiri, dia hanya akan menjadi sosok yang lemah dan tak berdaya.
Aihara meraih meja, berdiri, lalu dengan malas melepaskan mantel yang tadi dikenakannya.
Syukurlah, dia masih memiliki beberapa pakaian yang tertinggal di lemari. Saat dia selesai berganti pakaian, teleponnya kembali berdering.
Dia berpikir itu mungkin Paman Ham, tetapi ternyata yang menelepon adalah Bu Ipah.
"Ya?"
_ Ara, Kamu sudah pulang!
"Keretanya lagi gak beroperasi."
_ Syukurlah. Aku khawatir membiarkan kamu pergi sendirian."
Nada suara Bu Ipah terdengar sungguh-sungguh, seolah dia benar-benar menyesal karena tidak bisa mengantar Aihara. Gadis itu tanpa sadar tersenyum tipis.
"Mereka bilang keluarga Abizar akan tinggal lebih lama di sini."
Begitu kata-kata itu meluncur dari bibirnya, dia langsung menyesal. Seolah-olah dia sedang berkata,
Toh kalian juga tidak bisa menjemput ku karena terlalu sibuk dengan keluarga Abizar, lalu apa gunanya kalian bersikap seolah peduli? Itu terdengar seperti rengekan seorang anak kecil yang sedang merajuk.
_ Tidak masalah. Hari ini aku harus menerima tamu, jadi gak bisa pergi. Tapi, kalau keadaan sudah sedikit tenang, aku dan Ham pasti bisa menjemputmu."
"......"
_ Dan Nenek mu juga bilang hal yang sama, kamu tahu?"
Suara lembut Bu Ipah seakan menembus dinding perasaan Aihara yang dia coba pertahankan.
Dia tidak tahu harus berkata apa, jadi dia hanya duduk di tepi tempat tidurnya. Dalam keheningan itu, Bu Ipah tidak bertanya lebih jauh.
Dia hanya mengalihkan pembicaraan, membiarkan percakapan mereka mengalir tanpa menyentuh hal-hal yang menyakitkan.
_ Malam ini mau tidur bersama?
"...Malam ini?"
_ "Ya."
"Baiklah."
_ Kalau begitu, nanti malam mampir ke kamarku. Aku akan menyiapkan selimut dan bantal. Aduh, sudah dulu ya, aku harus pergi sekarang.
Seolah tidak ingin memberikan kesempatan bagi Aihara untuk menolak, Bu Ipah langsung menutup telepon.
Aihara meletakkan hpnya di atas meja kecil di samping tempat tidur, lalu menundukkan kepalanya. Dengan mata tertutup, dia berusaha meneguhkan hatinya.
Bu Ipah bukan keluarganya. Dia tidak boleh bersikap manja atau bergantung pada wanita itu. Dia harus belajar baik-baik sendirian, di kamar yang sepi ini.
***
Malam semakin larut.
Setelah menerima pesan dari Bu Ipah bahwa dia sudah kembali ke kamarnya, Aihara mengenakan mantelnya dengan rapi dan keluar dari kamar. Jalan menuju penginapan staf yang terletak di bungalow utama begitu sunyi.
Bahkan para penjaga yang biasanya terlihat di siang hari sudah menghilang, seolah ditelan kegelapan.
Aku harus cepat.
Aihara mempercepat langkahnya. Dia sudah memastikan mengenakan syal dengan benar, tetapi udara dingin tetap menusuk pipi dan telinganya.
Meskipun dia tahu betul bahwa terburu-buru tidak akan membuatnya luput terlihat oleh orang lain, tetap saja, diam di tempat terasa jauh lebih buruk.
Tepat ketika dia melewati gerbang kecil menuju bungalow utama, suara tangisan lirih terdengar dari kejauhan.
"Bagaimana bisa… Nizam meninggalkanku begini..."
"Ibu."
"Bagaimana bisa ada orang sekejam itu..."
"Tolong bangun, Ibu."
"Bagaimana aku dan kau harus hidup sekarang…!"
Awalnya, Aihara mengira itu suara burung kecil yang menangis. Namun, itu suara seorang wanita. Dia mengenalinya, mungkin istri mendiang Nizam, menantu sulung keluarga Abizar.
Aihara menghentikan langkahnya dengan wajah kaku. Wanita itu kini menangis semakin keras, seakan napasnya tersengal-sengal. Jari-jarinya yang memerah karena dingin bergetar halus, tak kuasa melawan udara yang menusuk.
Aihara mengepalkan tangannya erat di bawah lengan mantel. Jika dia mengambil jalan memutar lewat dapur, dia bisa mencapai penginapan staf tanpa harus bertemu dengan mereka.
Jalannya sedikit lebih jauh, tapi lebih baik daripada harus berpapasan dengan orang-orang keluarga Abizar.
Mereka adalah orang-orang yang membiayai bungalow. Mereka adalah orang-orang yang membuat neneknya, seorang peramal, rela menundukkan kepala dan tersenyum dengan rendah hati.
Dan karena dia adalah cucu dari nenek itu, mereka menganggapnya tidak lebih dari seorang pelayan yang bisa diperlakukan sesuka hati.
Aihara memutar badannya, siap untuk pergi. Namun, sebelum dia bisa melangkah, sebuah bayangan di kegelapan membuatnya terhenti.
Seorang laki-laki berdiri di sana. Tubuhnya tinggi, sangat tinggi. Pandangannya tertuju langsung pada Aihara. Bukan tatapan sekilas yang bisa diabaikan sebagai kebetulan, ini adalah pandangan yang dalam dan menusuk.
Laki-laki itu tampaknya tidak merasa kedinginan sama sekali. Dia hanya mengenakan sweater abu-abu tipis. Dengan tenang, dia mengeluarkan sebatang rokok dan menyalakannya.
Bunyi gesekan pemantik terdengar jelas, dan sesaat, cahaya kecil menyapu wajahnya saat api menyentuh ujung rokok di bibirnya.
Aihara tertegun, matanya mengikuti kepulan asap yang melayang di udara sebelum akhirnya tersadar.
Dia tahu siapa laki-laki ini. Dia belum pernah bertemu dengannya secara langsung, tetapi Bu Ipah pernah beberapa kali membicarakannya.
Cucu kedua Ketua AB Group. Wanita-wanita di rumah utama sering membanggakan betapa luar biasanya laki-laki ini.
Haruskah dia menyapa dengan sopan? Entah kenapa, dia enggan melakukannya.
Kehadiran laki-laki itu sudah cukup menyesakkan tanpa harus menundukkan kepala di hadapannya.
"Alexandre?"
Suara dari belakang memecah keheningan. Aihara langsung menundukkan kepala, mencoba mengecilkan dirinya di hadapan laki-laki itu.
Laki-laki yang dipanggil Alexandre sempat mengalihkan pandangannya ke arah Aihara sebelum akhirnya berpaling.
"Kau baik-baik saja?"
"Menurutmu, aku terlihat baik-baik saja?"
Suara tajam itu datang dari arah belakang Aihara. Ketegangan di udara begitu nyata, bahkan dia bisa merasakannya tanpa harus melihat langsung.
Namun, Alexandre sama sekali tidak terpengaruh. Dia hanya mengetuk ujung rokoknya dengan santai, menghempaskan abu ke tanah. Suaranya terdengar tenang, seolah benar-benar peduli pada orang yang bicara dengannya.
"Sepertinya kau sangat lelah. Sebaiknya kau masuk dan beristirahat. Kak, antar Ibu masuk ke dalam. Jika kau terlalu lelah, aku bisa membantu."
"Sialan. Pelayan-pelayan di tempat ini memang tidak tahu sopan santun! Bahkan tidak menyapa orang tua!"
"Masuklah, Ibu."
Saat suara itu berubah menjadi cercaan dan hampir mengarah ke Aihara, Alexandre dengan lembut, tetapi tegas, mengantar mereka pergi.
Nada suaranya lembut, tidak cocok dengan ekspresi wajahnya yang dingin. Mungkin justru karena sikapnya yang tenang itulah orang lain semakin merasa tersulut.
Setelah suara langkah kaki menjauh, barulah Aihara berani menoleh sedikit.
Dari awal, jelas hubungan mereka tidak akur. Jadi, laki-laki itu tidak membela Aihara. Dia hanya ingin mengakhiri pembicaraan yang mengganggunya.
Namun, entah kenapa, rasa tak nyaman tetap menggantung di dadanya. Dia menatap laki-laki itu yang kini mematikan rokoknya dengan cara menekannya ke tanah.
Mungkin dia akan pergi sekarang. Akan lebih baik jika dia pergi. Bagaimanapun, ini hanyalah pertemuan dalam gelap. Jika mereka bertemu lagi di siang hari, kemungkinan besar laki-laki itu tidak akan mengenali wajahnya.
Selama dia tidak terlihat, semuanya akan baik-baik saja. Tapi saat dia menunggu laki-laki itu beranjak, Alexandre justru berbicara lebih dulu.
"Kau terlihat sangat muda."
"......"
"Kau bekerja di sini?"
Nada suaranya lancang, tetapi bibirnya membentuk senyum tipis yang tampak lembut.
Suara itu rendah, halus, tetapi juga cukup arogan untuk menunjukkan bahwa dia bisa bersikap sopan sambil tetap meremehkan seseorang.
Aihara tetap diam, menatap laki-laki itu dengan ekspresi datar. Alexandre tampaknya menikmati keheningan itu.
Dia sedikit memiringkan kepalanya, lalu matanya dengan santai menelusuri Aihara dari atas ke bawah, kemudian dari bawah ke atas.
Tatapan itu membuat dada Aihara sesak. Seolah sesuatu sedang dirampas darinya. Dadanya berdegup kencang,bukan karena takut, tetapi karena perasaan yang sulit dijelaskan.
"Namamu?"
Kini, laki-laki itu menanyakan namanya. Aihara berkedip cepat sebelum akhirnya menjawab dengan suara datar.
"...Mumun."
Bohong.
Tetapi setidaknya, dia memberikan jawaban. Alexandre mengerutkan kening sebentar, seakan merasa ada sesuatu yang aneh.
Namun, sebelum laki-laki itu bisa bertanya lebih lanjut, Aihara buru-buru menundukkan kepala sedikit sebagai tanda hormat, lalu berbalik pergi.
Saat dia beranjak, dia sempat mendengar suara tawa pendek di belakangnya.
Tapi dia tidak menoleh. Dia terus berjalan, terserah. Dia tidak akan bertemu dengannya lagi.
***
Karena banyak orang baru yang datang, penginapan staf terasa lebih ramai dari biasanya.
Saat Aihara berjalan melewati lorong, dia berhenti di depan kamar Bu Ipah yang terletak di ujung. Dengan ujung jarinya, dia mengetuk pintu pelan.
"Ara?"
Baru saja dia hendak menjawab, suara langkah kaki terdengar dari dalam. Sesaat kemudian, gerendel pintu terbuka, dan Bu Ipah muncul dengan wajah cerah, mengenakan pakaian baru.
Pakaian itu adalah yang mereka beli saat dia Paman Ham, dan Bu Ipah pergi ke pasar beberapa waktu lalu.
Begitu Aihara masuk dan menutup pintu, Bu Ipah segera berputar satu kali, membiarkan ujung gaun berwarna krem muda yang masih memiliki label harga itu berkibar di udara.
"Bagaimana? Bagus tidak?"
"Cantik."
Sambil menjawab, mata Aihara secara refleks melirik kantong belanjaan yang bersandar di dinding.
Miumiu Women's Wear
Kebohongan yang baru saja dia ucapkan kembali terlintas di kepalanya, membuatnya merasa sedikit canggung.
Maaf untuk pemilik toko yang namanya dia pinjam secara spontan. Tapi saat itu, hanya nama itu yang muncul di benaknya.
Bayangan laki-laki yang mengerutkan kening, menatapnya dengan penuh selidik, kembali berkelebat dalam pikirannya.
Dia teringat ekspresi laki-laki itu, seolah dia tahu bahwa Aihara sedang berbohong, tapi memilih untuk tidak membongkarnya secara langsung.
Bahkan tawa kecilnya di akhir seakan mengisyaratkan bahwa dia menikmati kebohongan kecil itu. Sambil sesekali menanggapi Bu Ipah yang sedang mencoba pakaian lain, nama laki-laki itu terngiang di kepalanya.
Alexandre.
Bahkan sampai dia berbaring di tempat tidur, pikirannya masih terasa tidak nyaman. Dia masih bisa merasakan tatapan laki-laki itu seolah terus menembus tengkuknya.
Dan seakan memahami perasaan itu, Bu Ipah tiba-tiba meraih tangan Aihara di bawah selimut, menggenggamnya dengan hangat.
Tersentak dari lamunannya, Aihara menoleh.
"Tidurlah, Ara."
"Selamat malam."
"Besok juga, datanglah tidur di sini lagi. Rasanya lebih nyaman tidur bersama. Waktu kecil, aku sering menidurkan mu di sini, bukan? Bahkan sering juga kamu tertidur di punggungku. Rasanya baru kemarin kamu masih kecil, sekarang sudah mau kuliah saja."
Bu Ipah mengucapkannya dengan mata terpejam.
"Aku agak sedih mendengar kamu akan pergi ke kota A."
Suara lirihnya terdengar seperti keluhan kecil, tapi di baliknya, ada kasih sayang yang begitu mendalam.
Aneh.
Selama ini, Aihara terus berpikir ingin segera meninggalkan tempat ini. Tapi, setelah mendengar kata-kata itu, tiba-tiba dia merasa tidak ingin pergi.
Dia sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak bersikap seperti anak kecil, tetapi entah kenapa, dia ingin sekali mengeluh.
Dia ingin mengatakan bahwa tinggal sendirian nanti pasti akan terasa menakutkan. Dia ingin memeluk pinggang Bu Ipah, menguburkan wajahnya di dadanya, seperti saat dia masih kecil.
Tapi tentu saja, itu bukan sesuatu yang bisa dia lakukan. Sebagai gantinya, dia hanya menggenggam tangan Bu Ipah lebih erat. Tak lama kemudian, suara napas teratur terdengar. Aihara menoleh perlahan.
Bu Ipah sudah tertidur lelap. Dengan hati-hati, Aihara mendekatkan tubuhnya, merasakan kehangatan yang menguar dari wanita itu. Hanya setelah itu, dia akhirnya bisa memejamkan mata.
***
Setelah berganti pakaian santai, Alexandre mengambil segelas wiski dan duduk di sofa.
Ayahnya sudah lebih dulu pergi menemani Ketua Abizar, sementara ibunya, mungkin karena terlalu lelah, telah masuk ke kamar lebih awal.
Berkat itu, hanya ada satu lampu redup yang menjadi satu-satunya sumber cahaya di ruangan ini. Dalam temaram itu, Alexandre menuangkan wiski ke dalam gelas berisi es. Saat meneguknya, rasa hangat yang membakar perlahan mengalir menuruni tenggorokannya.
Siang itu, dia sedang bersiap untuk berkendara menikmati sinar matahari ketika sebuah telepon masuk. Dan dalam hitungan jam, dia sudah berada di pesawat menuju tanah air.
Suara ayahnya di telepon saat menyampaikan berita kematian sang paman terdengar sedikit bergetar. Apakah itu karena duka? Atau justru kelegaan?
Alexandre sempat bertanya-tanya. Sesuai keinginan Ketua Abizar, pemakaman digelar dengan tenang. Setelah itu, mereka langsung menuju beach front bungalow.
Nama tempat itu begitu sering dia dengar hingga terasa membosankan, tetapi ini adalah pertama kalinya dia datang ke sini secara langsung.
Sialnya, hari kedatangannya bertepatan dengan badai hujan. Bahkan mereka harus menggelontorkan uang untuk menyewa pekerja tambahan demi membersihkan jalanan.
Meski begitu, hasilnya jauh dari memuaskan, jalan yang tersedia hanya cukup untuk satu mobil lewat.
Alexandre memutar gelasnya perlahan, mengingat gadis kecil yang berdiri di atas jalan basah nan berembun itu.
Awalnya, dia mengira gadis itu benar-benar anak kecil karena mengenakan ear phone berbulu yang biasa dipakai anak-anak.
Namun setelah mengamatinya lebih lama, dia sadar bahwa gadis itu bukan anak-anak, hanya bertubuh kecil saja.
Tatapan Alexander menjadi dalam dan tenang. Dia mengira gadis itu masih sangat muda, itulah sebabnya dia bertanya.
Jika harus mencari alasan atas impulsifnya, mungkin dia hanya ingin mengetahui judul dari "panorama" yang tanpa sadar telah mencuri perhatiannya dari balik jendela mobil.
Namun…
"Namamu?"
"...Mumun."
Suaranya terdengar kecil, tetapi jelas. Mumun.
Alexandre menegakkan tubuhnya dan meneguk wiski dalam satu tarikan napas. Sebuah tawa pendek lolos dari bibirnya.
Apakah karena merasa tidak masuk akal? Atau karena jawaban itu terlalu menggelikan?
Tanpa perlu memahami selera orang tuanya pun, dia bisa langsung tahu bahwa gadis itu sama sekali tidak pandai berbohong.
Mungkin baginya, percakapan itu sama sekali tidak menyenangkan. Itu wajar. Yang tidak wajar adalah Alexandre sendiri, yang tetap memilih berbicara padanya meskipun sudah tahu segalanya.
Bahkan dari kejauhan, dari dalam mobil, di tengah gelapnya malam, matanya selalu terpaku pada gadis itu. Dia melihat bagaimana butiran embun jatuh di pipi putihnya.
Bagaimana dia mengerjapkan mata sebelah saat rasa dingin tiba-tiba menyentuh wajahnya.
Dia juga melihat bagaimana ekspresi gadis itu berubah saat menyadari keberadaannya di kegelapan. Seketika tubuhnya menegang, matanya berkilat dengan ketidaknyamanan yang begitu gamblang.
Dan entah kenapa, Alexandre merasa itu menyenangkan. Dia meneguk sisa wiski dalam sekali teguk, lalu bangkit berdiri.
Rasa panas dari alkohol mengalir turun, meninggalkan sensasi menggelitik yang berakhir jauh di dalam tubuhnya.
***
Menyesuaikan diri dengan waktu bangun Bu Ipah, Aihara juga keluar ke dapur.
Meskipun tidak di izinkan untuk melayani tamu, dia masih bisa membantu menyiapkan bahan-bahan makanan.
Setelah semua makanan dihidangkan, dia duduk di sudut, mengupas buah untuk disajikan sebagai hidangan penutup.
"Hei, kau!"
Sebuah suara keras terdengar dari atas kepalanya, membuat Aihara mengangkat wajah.
Itu ibu dari Hariz, teman seangkatan Aihara semasa SMP dan SMA.
Wanita itu pernah mengatakan bahwa dia bekerja di sini untuk mendapatkan uang tambahan guna membantu usaha baru suaminya.
Kini, dengan tatapan tajam, dia menunjuk nampan berisi kulit apel yang sudah dikupas Aihara.
"Aduh, dari dulu Bu Ipah dan Paman Ham selalu memanjakan mu berlebihan. Hei, lihat sini. Begini caranya mengupas apel. Kupas tipis saja, jangan sampai terlalu tebal. Sampai sekarang pun kau masih belum bisa mengupas apel dengan benar, lalu bagaimana nanti?"
Itu hanya alasan untuk mencari masalah. Tanpa berkata apa-apa, Aihara sengaja mengiris apel lebih dalam, seolah ingin menunjukkan sikap menantangnya.
Wanita itu mendengus sebal, wajahnya mengernyit seakan merasa jijik.
"Anak ini… Sungguh aneh sekali kelakuannya."
Saat tidak mendapat reaksi lebih lanjut dari Aihara, wanita itu hanya mendesah kesal, mengambil nampan berisi apel yang sudah dikupas, lalu pergi begitu saja.
Dengan begitu, urusan pagi ini selesai. Aihara meletakkan pisau dan menggigit potongan apel besar yang dia potong sendiri.
Setelah beristirahat sejenak, dia akan kembali untuk membantu persiapan makan siang.
Saat dia melepas celemek dan mengenakan mantel, terdengar kegaduhan dari arah pintu dapur.
"Ya ampun, ada angin apa sampai kau datang ke sini?"
Para pekerja yang tadinya bersantai langsung meluruskan punggung mereka dan menundukkan kepala dengan penuh hormat.
Aihara mengikuti arah tatapan mereka dan membalikkan badan. Salah satu lengannya masih belum sempat masuk ke lengan mantel, tetapi matanya sudah menangkap sosok laki-laki itu. Laki-laki yang ditemuinya tadi malam.
Alexandre
"Ibu terpeleset dan kakinya terkilir. Bisa aku mendapatkan kantong es?"
"Aduh, sungguh? Apa tidak perlu pergi ke rumah sakit?"
"Tidak separah itu."
Nada suaranya tetap datar, tetapi pada akhirnya, dia mengalihkan pandangannya ke arah Aihara
Gadis itu segera menundukkan pandangan dan merapikan mantel yang belum sempurna dia kenakan.
"Baik, tunggu sebentar. Es ada, tapi kantongnya… Hei, kau tahu di mana kantong es itu?"
"Aku tidak tahu."
Selain Aihara, sebagian besar pekerja di dapur adalah orang baru yang belum terbiasa dengan keadaan bungalow.
Kantong es memang bisa diganti dengan plastik yang dibungkus kain, tetapi semua orang tahu bahwa orang-orang dari keluarga Abizar punya selera yang tinggi. Tidak mungkin mereka menerima hal seperti itu.
"Ara."
Salah satu pekerja memanggilnya. Hanya panggilan biasa, tetapi entah kenapa, Aihara justru lebih dulu melirik ke arah laki-laki itu.
Dia melihat bagaimana alisnya sedikit terangkat dengan gerakan halus. Untuk alasan yang tidak jelas, dada Aihara terasa berdegup sedikit lebih cepat.
"Kau tahu di mana kantong es itu?"
Ekspresi Aihara mengeras.
Namun, perasaannya tidak ada artinya dibanding perintah laki-laki itu.
"Ada di ruang makan. Aku akan mengambilkannya."
Setelah mengedarkan pandangan ke arah semua orang yang kini menatapnya, Aihara menghela napas dan berkata seolah menerima kenyataan.
Bu Ipah memang sengaja menyimpan beberapa kantong es di ruang makan, tempat yang lebih dekat dengan kamar Aihara, sehingga mudah dijangkau jika dia membutuhkannya jikalau sedang demam.
"Di ruang makan? Kenapa bisa di sana?"
"Ya."
Tanpa menambahkan penjelasan lebih lanjut, Aihara berjalan melewati orang-orang di dapur, keluar dengan langkah pelan.
Dan entah kenapa, perasaan tidak enak muncul dalam dirinya. Mungkin karena saat dia melewati laki-laki itu, matanya sempat bertemu dengan tatapannya, dan di dalamnya, ada sesuatu yang sulit dijelaskan, sebuah perasaan yang entah mengapa terasa seperti keluhan yang tersirat.
Tapi tidak ada gunanya memiliki perasaan seperti itu terhadap laki-laki itu. Dia mencoba mengabaikan kehadiran seseorang yang kini berjalan di sampingnya, seolah ingin mengikutinya.
Maka, dengan punggung tegak, dia tetap menatap lurus ke depan.
***
Di bawah sinar matahari musim hujan yang menyilaukan, Alexandre berjalan sejajar dengan langkah Aihara.
Alih-alih mengambil alih arahan, dia membiarkan gadis itu memimpin jalan, sementara dirinya menikmati waktu dengan mengamati wajah sampingnya yang bersih dan tenang.
Aihara
Nama itu dia ucapkan dalam hati, mengalir di lidahnya seperti rasa manis yang samar. Setiap kali gadis itu melangkah ringan, rambut panjangnya berayun lembut, menyebarkan aroma samar apel.
Aroma buah yang segar itu terasa kontras dengan udara dingin musim hujan. Seakan-akan ada sesuatu yang tumbuh dan hidup di tengah musim yang seharusnya mati.
Mungkin ini hanya rasa penasaran terhadap seorang gadis? Atau mungkin perasaan usil, seperti anak laki-laki yang ingin mengganggu sesuatu yang menarik perhatiannya?
Saat tatapannya semakin dalam, Aihara tampaknya menyadari dan menoleh ke arahnya.
Begitu mata mereka bertemu, gadis itu terlihat sedikit panik. Saking terkejutnya, langkahnya tersendat, hampir membuatnya terjatuh.
Dengan santai, Alexandre meraih lengannya dan menahannya.
"Mumun, hati-hati."
Bisikan pelan di telinganya membuat ekspresi Aihara seketika mengeras. Alexandre hanya tertawa kecil, memberi isyarat agar gadis itu segera melanjutkan jalannya.
Raut wajahnya tampak ingin segera berlari dari tempat ini, tetapi langkah kakinya tetap tenang dan hati-hati.
Ini bukan perasaan yang buruk. Hanya dengan berjalan berdampingan seperti ini, entah kenapa, rasanya cukup menyenangkan.
Mungkin, dia bahkan tidak keberatan jika mereka berjalan lebih lambat.
Aneh.
Di sisi lain, Aihara sangat ingin mengusir laki-laki ini secepat mungkin. Begitu tiba di ruang makan, tanpa ragu, dia langsung menuju tempat penyimpanan dan mengambil kantong es yang dicari.
Melihat bagaimana dia menangani tugas ini tanpa kebingungan, Alexandre menyimpulkan bahwa gadis itu sudah cukup lama bekerja di sini.
Para pelayan di dapur tadi pun secara refleks meminta bantuannya, seolah terbiasa mengandalkannya.
Saat Alexandre mendekat untuk menerima kantong es itu, dia memperhatikan ekspresi Aihara yang jelas-jelas menunjukkan kejengkelan.
"Kantong esnya."
Nada suara Aihara menunjukkan bahwa dia ingin laki-laki itu segera mengambilnya dan pergi.
Tapi Alexandre bahkan tidak melirik kantong es yang katanya dia butuhkan.
"Bekerja di sini, dan punya dua nama."
Nada suaranya terdengar seperti seseorang yang baru saja menyelesaikan teka-teki kecil.
"Berapa umurmu?"
Aihara tidak mengerti kenapa laki-laki ini terus bertanya tentang dirinya.
Dia hanya ingin kembali ke kamar dan beristirahat sebentar. Tapi dari caranya berdiri, jelas bahwa laki-laki itu tidak akan pergi sebelum mendapatkan jawaban.
Nama dan umur—apa yang penting dari hal itu? Tidak ada alasan untuk tidak menjawab, tetapi tetap saja, dia merasa ragu.
Pada akhirnya, dia menyerah. Laki-laki ini bukan seseorang yang bisa dia lawan.
"Dua puluh satu."
Namun, alih-alih puas dengan jawabannya, laki-laki itu hanya mengernyit, seakan mendengar sesuatu yang tidak dia duga.
"Dua puluh satu?"
"Ya, dua puluh satu tahun."
Tidak ada percakapan lebih lanjut. Setelah itu, barulah Alexandre mengambil kantong es dari tangannya.
Untuk pertama kalinya, laki-laki itu memberi anggukan kecil, gerakan sederhana yang terasa hampir sopan.
Tanpa kata tambahan, dia berbalik dan pergi. Saat menatap punggungnya yang menjauh, Aihara merasakan sesuatu yang aneh.
Seperti perasaan kosong yang tiba-tiba muncul, meninggalkan dirinya sendirian di tempat ini.
***
Beberapa hari berlalu dengan Aihara membantu pekerjaan di bungalow. Dia sering bolak-balik ke bungalow utama, dan dalam prosesnya, sempat beberapa kali berpapasan dengan laki-laki itu. Tapi tidak ada interaksi apa pun.
Semua kecemasannya tentang kemungkinan laki-laki itu akan mengajaknya bicara ternyata sia-sia.
Alexandre hanya melewatinya begitu saja, seolah dia benar-benar tidak ada.
Aneh.
Yang lebih aneh lagi, meskipun laki-laki itu tidak berbicara padanya, pikirannya terus-menerus kembali kepadanya.
Jika mereka sudah sering berbincang, mungkin masih masuk akal. Tapi mereka hanya bertemu dua kali dan bahkan, dalam kedua pertemuan itu, hanya laki-laki itu yang bertanya.
Ini sungguh aneh.
Aihara menghela napas, menekan dadanya dengan telapak tangan. Seperti ada sesuatu yang mengganjal di dalamnya, membuatnya merasa gelisah.
Tangannya terasa dingin, tetapi pikirannya justru terasa panas dan berantakan. Mungkin udara dingin bisa membantunya menjernihkan pikiran.
Dengan pemikiran itu, dia membuka pintu. Dan di sana, di depan bungalow kecil tempatnya tinggal, berdiri sosok yang familiar.
Dalam cahaya remang, dia melihat laki-laki itu bersandar santai, mengisap rokok dengan ekspresi bosan.
Sejenak, Aihara mengira ini hanya imajinasinya. Tapi kemudian, mata mereka bertemu.
Laki-laki itu tampaknya juga tidak menyangka akan melihatnya di sini. Matanya berkedip pelan, refleksi dari keterkejutan singkat yang segera menghilang.
Saat itu juga, Aihara buru-buru menutup pintu. Suara bam! yang cukup keras bergema di bungalow kecilnya.
Aroma rokok masih terasa di hidungnya.
Kenapa dia merokok di depan tempat tinggal orang?
Biasanya, dia tidak akan peduli. Dia akan mengabaikannya begitu saja. Tapi entah kenapa, kali ini berbeda.
Sebelum dia menyadarinya, tubuhnya sudah bergerak dengan dorongan impulsif. Saat dia kembali membuka pintu, laki-laki itu sudah berbalik menghadap ke arahnya.
Mata mereka bertemu lagi, tetapi kali ini, Aihara menatapnya dengan ekspresi tajam. Lalu, dia mengangkat tangan dan menunjuk ke samping.
"Tempat sampahnya ada di sana."
Alexandre mengikuti arah telunjuknya. Di ujung bungalow, tepat di dekat pilar kayu, terdapat tempat sampah berbentuk keranjang besi.
Apa dia menyuruhku menundukkan kepala dan membuang rokokku di sana?
Sebuah tawa kecil nyaris lolos dari bibirnya. Namun, tanpa membantah, dia berjalan santai mendekat ke arah gadis itu. Mengambil napas panjang dari rokoknya, dia menghembuskan asapnya perlahan.
Di bawah sorot matanya yang tajam, Aihara mengernyit.
"Jangan buang puntung rokok di mana saja, apalagi di depan kamar orang lain."
Aihaira berjalan, mengambil tempat sampah besi itu, lalu menjatuhkannya di atas lantai batu dengan suara nyaring.
Saat itu juga, hp yang tersimpan di saku kardigannya terjatuh ke tanah. Dia buru-buru berusaha menunduk untuk mengambilnya.
Tapi sebelum dia sempat, Alexandre sudah lebih dulu membungkuk dan mengambil hpnya.
"Berikan pada ku."
Bukannya langsung mengembalikan, laki-laki itu justru menatap layar hpnya sebentar.
"Kau tinggal di sini, bukan bekerja?"
Nada suaranya terdengar seperti seseorang yang baru saja menemukan informasi baru.
Jadi dia tahu.
Angelina Aihara.
Seorang gadis yang baru saja lulus SMA. Cucu pertama Nenek Uyun.
Wajah Aihara memerah, baik karena jengkel maupun karena rasa tidak nyaman yang menggigit.
Mata biru yang terang menatap laki-laki itu dengan penuh kewaspadaan. Namun, bukannya merasa terganggu, Alexandre justru semakin tertarik.
Dia delapan belas tahun.
Bukan dua puluh satu atau dua puluh dua. Hanya delapan belas.
Dia menyesap aroma apel samar yang selalu ada di sekitar gadis itu, menyadari bahwa dia telah salah selama ini.
Bukan aroma itu yang mengusiknya. Itu memang berasal dari gadis ini.
Seolah ada sesuatu yang tumbuh di tengah musim dingin yang beku. Seperti pasir yang berderak di mulutnya, Alexandre menatap hp di tangannya sebelum akhirnya mengetik sesuatu di layar.
"Apa yang kau lakukan?"
Sebelum Aihara bisa menarik kembali hpnya, dia sudah menekan panggilan ke nomornya sendiri.
Lalu, tanpa berkata apa-apa, dia mengembalikan hpnya.
"Hubungi aku."
"Kenapa aku harus?"
"Mungkin kau akan membutuhkan sesuatu. Atau menginginkan sesuatu."
Sepertinya gadis itu menangkap maksud tersirat di balik kata-katanya.
Ekspresinya berubah, sorot matanya penuh dengan ketidaksetujuan.
"Aku gak mau melakukan itu."
"Sial, kau ternyata baik-baik saja."
Tidak bisa dibujuk, bahkan tidak bisa dimanfaatkan. Dia tersenyum kecil, seolah benar-benar tidak peduli.
"Baiklah. Tapi aku yang akan menghubungimu."
"..."
"Jika aku mengingatmu lagi."
Atau... jika aku masih ingin mencicipi rasa musim panas di tengah musim dingin.
***
"Syukurlah. Benar-benar syukur sekali."
Aihara menoleh ke arah Paman Ham, yang sedang bersenandung riang sambil mengemudikan truk.
Duduk di sebelah kanannya, Bu Ipah segera menimpali, "Iya, memang benar."
Setelah menyesuaikan jadwal mereka, akhirnya mereka menetapkan tanggal keberangkatan ke kota.
Aihara sendiri berpikir, "Apa perlu sampai seribet ini cuma buat pergi ke stasiun?"
Namun, Paman Han malah dengan bangga menepuk dadanya, mengatakan bahwa dia akan mengantarkan Aihara sampai ke kota dengan mobil.
Dia sempat ragu. Bagaimana mungkin mereka bisa pergi begitu saja ketika keluarga Abizar masih berada di bungalow?
Namun sebelum sempat mempertanyakan lebih lanjut, Paman Ham sudah membawanya masuk ke dalam truk.
Sekarang, dengan Aihara duduk di tengah, Bu Ipah di sisi kanannya terus tersenyum cerah.
Aihara juga senang, tetapi kekhawatiran tetap menggelayut dalam benaknya.
"Apa ini benar-benar tidak apa-apa?"
Dia bertanya berulang kali, tetapi mereka hanya menjawab bahwa keluarga Abizar akan berada di aula doa sepanjang hari, jadi tidak ada yang perlu dikhawatirkan.
Abizar.
Pikiran Aihara melayang pada sosok Alexandre. Sejak kejadian malam itu, dia telah bertemu laki-laki itu dua kali lagi.
Namun, alih-alih mengabaikannya seperti sebelumnya, laki-laki itu hanya menatapnya diam-diam.
Tatapannya begitu gamblang, seolah sedang mengamati sesuatu yang menarik perhatiannya. Meskipun dia sudah mencoba menghindari kontak mata, dia bisa merasakan bagaimana laki-laki itu dengan sengaja menelusuri dirinya, memperhatikannya dengan cara yang terlalu terang-terangan untuk diabaikan.
"Paman, kapan kira-kira mereka akan kembali ke kota?"
"Abizar? Kalau tidak salah, tiga hari lagi. Benar begitu kan, Bu Ipah?"
"Iya, benar."
"Kenapa kau tiba-tiba bertanya, Ara?"
"Tidak apa-apa."
Karena dia tidak suka. Karena dia merasa sulit, canggung, dan tidak nyaman berada di dekatnya.
Tapi anehnya, pikirannya terus kembali pada laki-laki itu.
Ada banyak alasan di balik pertanyaan itu, tetapi pada akhirnya, dia hanya menjawab dengan satu kata, "Tidak apa-apa." Toh, pada akhirnya, dia akan meninggalkan bungalow lebih dulu.
Namun, meskipun dia sudah pergi, nomor laki-laki itu tetap tersimpan di hpnya.
Kenapa dia memberikannya padaku? Apakah itu benar-benar karena alasan buruk seperti yang aku pikirkan?
Sesekali, dia membuka daftar panggilannya, membaca nomor itu dengan diam-diam. Lalu, tiba-tiba merasa terkejut sendiri, dia buru-buru menjauhkan hpnya.
"Di saat begini, seharusnya kita menyempatkan diri buat berkeliling di kota."
"Nenek Uyun cuma mengizinkan kita buat mengantar Aihara dan langsung kembali. Ham, fokus menyetir."
"Iya, iya."
Aihara berusaha tersenyum mengikuti mereka. Namun, suara laki-laki itu masih terngiang dalam benaknya.
Aku yang akan menghubungimu lagi.
Nada suaranya terdengar ringan, seperti seseorang yang sedang memberikan sesuatu secara cuma-cuma.
Kalau aku mengingatmu.
Siapa dia, sampai dia bisa ngomong seperti itu?
Aihara menggigit bibirnya pelan, lalu memperbaiki duduknya dengan tegap. Suara lonceng di bungalow semakin jauh, menghilang di kejauhan.
***
Musim semi telah tiba.
Meskipun setiap malam Paman Ham dan Bu Ipah bergantian meneleponnya untuk mengingatkan agar tidak mengikuti orang aneh, Aihara menjalani kehidupannya dengan baik.
Laki-laki itu tidak pernah menghubunginya lagi.
Nomor yang dulu sempat mengganggu pikirannya kini telah tenggelam di antara daftar panggilan baru.
Jadi, karena dia tidak menghubungi, berarti dia tidak pernah mengingatnya lagi.
Itu hal yang wajar dan melegakan. Sejak awal, mungkin dirinya saja yang bereaksi berlebihan terhadap perubahan suasana hati laki-laki itu yang sekejap sudah berlalu.
Aihara menggelengkan kepala, mengusir pikirannya. Saat ini, dia sedang berjalan menuju kelas berikutnya. Matanya tertuju pada bunga sakura yang mekar lebih awal dibanding tahun-tahun sebelumnya.
Saat itu, hpnya bergetar. Nomor yang tidak dikenal. Namun, ada sesuatu yang terasa familiar tentang angka-angka itu.
"Halo?"
_ Di kampus?
"Ya, tapi... Siapa ini?
Baru saja dia ingin bertanya, langkahnya terhenti begitu saja.
Dia tidak bisa melanjutkan kata-katanya.
_ Aku baru saja tiba di kota
"......"
_ Mari bertemu.
Saat itu juga, dia teringat. Empat digit terakhir nomor itu. Dia tahu persis siapa yang sedang bicara dengannya.
"Tidak."
_ Kenapa?
"Aku tidak mau."
_ Temui aku.
Orang menyebalkan ini tidak mungkin ada dua di dunia ini.
Alexandre
Laki-laki itu kembali menemuinya
***
Alexandre membuka pintu kursi penumpang untuk Aihara.
"Kau sudah tumbuh dewasa rupanya."
Saat Aihara hendak naik ke dalam mobil, tatapan Yaga secara alami jatuh pada bibirnya yang berwarna karena liptint. Meskipun nada bicaranya jelas-jelas memperlakukannya seperti anak kecil, wajah Aihara tiba-tiba terasa panas.
"Sudah makan?"
Begitu masuk ke dalam mobil, Alexandre bertanya dengan santai, seolah mereka baru saja bertemu kemarin. Dari tubuhnya tercium aroma segar cologne yang menenangkan.
"Ara, kau sudah makan?"
Wajah Aihara seketika menegang.
Ara_ya.
Nama panggilan yang sudah dia dengar sepanjang hidupnya, kini terdengar dari bibir laki-laki itu. Entah kenapa, rasanya seperti dijatuhi hukuman mati.
"Sudah."
"Secepat itu?"
"......"
"Kau bisa minum kopi, kan?"
Di cup holder mobil, ada dua gelas es kopi. Alexandre mengetuk tutup salah satunya dengan ujung jarinya, seolah memberi isyarat bahwa itu untuknya.
Aihara menggeleng. Bukan berarti dia tidak minum kopi, tapi menerima sesuatu dari laki-laki itu rasanya tidak enak.
Dia hanya ingin semuanya berakhir tanpa harus menerima atau memberi apa-apa
"Kenapa kau datang?"
Dia ingin langsung ke intinya. Pandangan Alexandre semakin dalam.
Benar juga. Aku tidak ada rencana untuk datang. Tapi, aku kepikiran kamu.
Mungkin hanya sekadar rasa penasaran.
Toh, gadis ini memang terlalu cantik untuk diabaikan begitu saja. Itu naluri alami seorang laki-laki dewasa. Meski seumur hidupnya tak pernah terpikat hanya karena penampilan seseorang, anehnya, gadis ini seperti memenuhi selera yang bahkan dia sendiri tidak sadari.
Sekembalinya ke Ausie, sebulan berlalu tanpa insiden apa-apa. Sesekali, bayangan gadis yang selalu waspada setiap kali bertatapan dengannya muncul di benaknya, tapi dia bisa mengabaikannya.
Lagipula, bukankah konyol kehilangan akal hanya karena tertarik pada seseorang yang baru ditemui sesaat? Lalu, bulan berikutnya tiba.
Hari itu, dia sedang mengendarai mobil menyeberangi jembatan sungai. Setelah berhari-hari hujan terus turun, langit akhirnya cerah, menandai awal yang sempurna untuk hari itu. Di antara irama jemarinya yang mengetuk setir secara berulang, tiba-tiba pikirannya terselip padanya, seolah sebuah retakan muncul dalam keteraturannya.
Kota A, pastilah musim semi juga telah tiba. Mungkin saat ini dia sedang menikmati cuaca cerah.
Alexandre ingat kabar yang dia dengar sekilas, dua pegawai bungalow meninggalkan tempat itu untuk mengantar cucu sulung seorang peramal ke universitas.
Jika mempertimbangkan perbedaan waktu, mungkin sekarang gadis itu sedang minum-minum dengan wajah berseri-seri.
Bisa saja dia mulai berkencan. Meskipun selalu menjaga jarak darinya, bukankah dia mungkin bersikap berbeda terhadap laki-laki seusianya di kampus?
Pikiran itu tiba-tiba membuatnya kesal. Bahkan langit biru yang membentang luas terasa mengganggu.
Dengan ekspresi mengernyit, dalam benaknya terbayang Aihara yang bersembunyi di bawah bunga sakura, tersipu malu saat menjalani cinta pertamanya.
Dan saat itu juga, dia membelokkan mobilnya.
Langsung membeli tiket pesawat dan terbang selama 17 jam.
Hanya karena dorongan hati. Alexandre sendiri pun merasa konyol dan tertawa kecil.
Sementara itu, Aihara menatapnya dengan ekspresi seolah sedang melihat orang aneh.
"Kenapa aku datang?"
Untuk apa ada alasan?
Namun, satu hal sudah jelas.
"Aku datang karena mu."
Demi melihatmu. Hanya untuk menatap matamu lagi.
Kegilaan ini... hanya Kau yang bisa membuatnya masuk akal.
***
"Kalau tidak suka kopi, mau ku belikan jus? Atau mungkin camilan? Kau suka permen?"
Nada suaranya seperti sedang membujuk anak kecil.
Aihara menatapnya dengan ekspresi aneh, membuatnya akhirnya tertawa kecil dan beralih ke topik obrolan biasa.
Di dalam mobil yang sunyi, dia bertanya, dan Aihara menjawab. Suara rendahnya mengalir tenang, begitu tenang hingga suara Aihara yang kecil pun terasa berisik, seperti benang kusut yang menyembul dari kain yang hampir sempurna.
Kapan dia akan pergi?
Ketika perasaan gelisah mulai semakin mengganggu, hpnya tiba-tiba berdering. Sepertinya dari rumah.
Di ujung telepon, seseorang bertanya dengan nada heran, Kenapa tiba-tiba Kau pulang ke kota A?
Saat itu, tatapannya kembali jatuh pada Aihara. Seketika, napas gadis itu terasa goyah.
Dalam perjalanan kembali ke asrama, mereka turun dari mobil dan berjalan bersama.
"Aku akan datang lagi."
Dia bertanya, tapi Aihara tidak menjawab. Seolah menganggap diamnya sebagai persetujuan, laki-laki itu hanya tersenyum lebar.
Saat itu, angin berembus kencang, menebarkan hujan kelopak sakura di sekeliling mereka.
Ketika Aihara kembali ke kamarnya, sehelai kelopak bunga jatuh di atas kepalanya.
***
Awalnya, hanya dua minggu. Kemudian, tiga minggu. Setelah itu, dia mulai datang setiap minggu untuk menemui Aihara.
Semua kekhawatiran awal ternyata tak pernah menjadi kenyataan. Setiap kali bertemu, mereka hanya makan bersama, minum kopi, menonton film, atau pergi ke pameran seni.
Setiap kali Alexandre datang, dia selalu membawa hadiah. Kadang bunga, kadang kosmetik.
Namun, ketika Aihara tidak menunjukkan ketertarikan khusus pada semua itu, dia mulai mencari buku-buku seni yang hanya bisa ditemukan di luar negeri dan memberikannya padanya.
Sampai saat itu, tidak ada masalah. Bahkan, semuanya terasa baik-baik saja, setidaknya sampai malam ketika Anggie, teman sekamar Aihara, berbaring di tempat tidurnya dan dengan santai berkata,
"Jadi, pacarmu yang itu ya..."
"Dia bukan pacarku."
"Hah? Lalu dia siapa?"
Aihara tidak bisa menjawab.
Laki-laki itu datang ke kampus hanya untuk menemuinya. Dua musim telah berganti sejak pertama kali mereka bertemu. Mereka sudah tak terhitung kali bertemu, tetapi tak sekalipun ada konfirmasi bahwa dia mengajaknya berkencan. Jadi, laki-laki itu hanyalah seseorang yang dikenal.
Saat teringat ekspresi bingung Anggie, angin musim gugur yang dingin terasa lebih menusuk dari biasanya.
Malam itu, Aihara terjaga cukup lama, terjebak dalam pikirannya sendiri. Hingga akhirnya, menjelang dini hari, dia mengirim pesan padanya.
[Saat kita bertemu lagi, aku ingin bicara.]
***
Mobil yang sudah akrab. Laki-laki yang sudah mulai seperti biasa. Satu-satunya hal yang terasa asing adalah kenyataan bahwa kali ini, dialah yang harus memulai percakapan.
Duduk di kursi penumpang, Aihara menatap Alexander dengan ekspresi ragu. Berbeda dengan pikirannya yang kacau, laki-laki itu justru terlihat dalam suasana hati yang sangat baik hari ini.
Dengan senyum santai, dia menatap Aihara, dan entah kenapa, hal itu membuatnya merasa semakin kesal.
"Sekarang, sudah ada sesuatu yang ingin Kau mau?"
"....."
"Sampai-sampai Kau yang lebih dulu menghubungi ku."
Ekspresi Aihara langsung menegang. Seakan laki-laki itu baru saja memberi definisi pada hubungan mereka, seolah dia menghubungi hanya karena ada sesuatu yang diinginkan.
Mereka bahkan tidak berpacaran, tapi hubungan di mana hanya satu pihak yang terus menerima sesuatu dari pihak lain…
Bukankah itu terdengar aneh?
Anggie juga bilang itu aneh.
"Mana ada laki-laki yang datang setiap minggu tapi tidak pernah mengajak pacaran? Semua laki-laki yang aku kencani langsung mengungkapkan perasaan dalam waktu sebulan."
Dia bahkan bertanya apakah Alexandre pernah meminta sesuatu yang lebih. Aihara tidak perlu mendengar kalimat itu sampai selesai untuk memahami maksudnya.
"Dia tidak suka dengan hal semacam itu."
"Tapi kalau dia melakukannya, Kau akan membiarkannya?"
"Kenapa?"
Nada suara Aihara terdengar lebih tajam dari yang dia maksudkan.
Alexandre menatapnya dengan ekspresi yang sulit diartikan.
"Apa aku ini orang bodoh?" tanyanya Aihara "Katakan saja kalau Kau ingin sesuatu dariku."
Alexandre tertawa kecil, seolah menganggap situasi ini konyol. Namun, ketika melihat ekspresi Aihara yang tetap tidak berubah, dia pun menghapus senyumnya.
Di antara mereka, terbentang jarak yang terasa semakin jauh. Akhirnya, Alexandre menghela napas pendek dan keluar dari mobil.
Dia melangkah cepat mengitari mobil, lalu membuka pintu di sisi Aihara. Dengan isyarat matanya, dia memberi perintah singkat.
"Turun."
Mungkin ini akhir dari segalanya. Dengan jari yang sedikit gemetar, Aihara meraba sandaran kursi sebelum akhirnya keluar.
Alexandre mengulurkan tangan seakan ingin membantunya turun, tapi dia mengabaikannya dan hanya berpegangan pada pintu mobil.
Ya, lebih baik mengakhirinya sekarang. Seandainya dia menanyakan hal ini lebih awal, mungkin segalanya akan lebih mudah. Saat dia masih berhati-hati, saat laki-laki itu belum menjadi bagian dari hidupnya, saat kehilangan dirinya hanya akan menjadi bayangan sesaat yang bisa dengan mudah dilupakan.
Tapi, kenapa dadanya terasa begitu sakit?
Meski begitu, dia tidak ingin perasaan itu terlihat. Aihara menatap Alexander sekali lagi sebelum melangkah pergi.
"Mau ke mana? Masuk ke belakang."
Alexandre yang menghentikannya. Dia mencoba menarik tangannya, tapi laki-laki itu menggenggamnya erat. Dengan lembut, dia membimbingnya ke pintu belakang mobil, membukanya, lalu berdiri di sana, seolah memastikan bahwa dia masuk sebelum melakukan hal lain.
"Kenapa..."
"Masuk. Kita masih harus bicara."
Akhirnya, dengan enggan, Aihara masuk ke dalam mobil. Seolah takut dia akan kabur, Alexandre segera masuk dan menutup pintu di belakangnya. Suara ‘klik’ yang terdengar membuat dunia luar terasa jauh lebih sunyi.
"Kemari."
Di dalam ruang sempit itu, dia menarik pinggang Aihara mendekat, menghapus jarak di antara mereka.
Terkejut, Aihara menoleh dengan mata melebar.
"Apa yang Kau lakukan..?"
"Kenapa Kau marah? Apa aku melakukan sesuatu yang buatmu kecewa?"
Alexandre mendekat, suaranya pelan namun jelas. Lengannya mengerat, mengunci tubuh Aihara dalam pelukannya.
Sebelumnya, dia hanya pernah menggenggam tangannya, dan itu pun hanya di tempat ramai. Sekarang, wajahnya begitu dekat hingga dia bisa merasakan napasnya.
Panas menyebar ke pipi dan telinga Aihara, sementara laki-laki itu tetap menatapnya dengan ekspresi lembut.
"Kau marah karena aku tidak langsung datang setelah menerima pesanmu?"
"Bukan itu. Lepaskan aku."
"Kalau bukan itu, lalu apa?"
Alexandre menangkup pipinya dengan satu tangan, jemarinya mengelus perlahan seolah ingin menenangkannya.
"Ara" Nada suaranya turun, nyaris seperti bisikan. "Aihara."
Aihara menoleh, berusaha menghindari tatapannya.
Namun, laki-laki itu tidak membiarkannya begitu saja.
"Angelina Aihara."
Mendengar nama panjang itu di sebutkan, mata Aihara melebar dan dia langsung menatap Alexander dengan ekspresi terkejut.
Laki-laki itu hanya tertawa pelan. Seolah sudah menunggu saat ini, dia mengunci tatapannya pada mata Aihara dan berbicara dengan nada lembut, seakan sedang membujuk anak kecil.
"Kenapa, Ara?"
"....."
"Kalau Kau tidak bicara, aku tidak akan tahu."
"Dengar."
"hm?"
"Sebenarnya, kita ini apa?"
Kalimat itu akhirnya keluar dari bibirnya. Sudah terlalu lama dia menahannya. Jika mereka bukan apa-apa, maka sudah saatnya dia menarik diri. Tapi, jika memang tidak ada apa-apa di antara mereka, lalu untuk apa dia melakukan semua ini? Jika memang hanya niat buruk, seharusnya dia sudah lama melakukan sesuatu. Tapi sejauh ini, yang dilakukan laki-laki itu hanyalah menggenggam tangannya, mengusap rambutnya, atau sekadar menyentuh pipinya dengan lembut.
Tapi, apa gunanya sekarang?
Pada akhirnya, dia tetaplah seseorang yang bertanya pada laki-laki ini,tentang seperti apa hubungannya. Perasaan yang membuncah dalam dadanya akhirnya meledak dalam bentuk alasan yang terdengar seperti pembelaan diri.
"...Temanku yang bertanya."
"Menanyakan hubungan kita?"
"Dia hanya penasaran, tidak ada maksud lain."
"Begitu ya."
"Jadi sekarang Kau sudah tahu jawabannya."
Alexandre menahan tangan Aihara saat dia hendak beranjak pergi lagi. Aihara langsung menepisnya dengan kuat. Entah karena marah pada dirinya sendiri atau pada laki-laki di hadapannya, perasaan tidak jelas itu berputar liar di dalam dadanya.
"Ara!"
"Jangan panggil aku begitu. Aku tidak mau mendengarnya."
"Coba pikir pakai logika. Mana ada orang gila yang rela naik pesawat 17 jam hanya untuk bertemu perempuan yang dia tidak sukai?"
Setiap minggu.
Jika dihitung perjalanan pulang-pergi, itu berarti 32 jam. Alexandre bukan orang yang punya banyak waktu luang. Dia hanya memilih untuk hidup dengan cara yang melelahkan.
Dari musim semi, musim hujan, hingga musim gugur, dia tetap datang hanya untuk melihatnya.
"Aku sudah bilang. Aku datang karena mu"
Aihara, yang tadi terus-menerus mendorongnya, kini terhenti. Matanya sedikit memerah, dan napasnya memburu.
Mata Alexandre menatapnya dengan keyakinan penuh, seolah bertanya,"Kau juga tahu ini, kan?"
Pikiran Aihara kembali pada laki-laki yang datang menemuinya musim semi lalu.
Angin yang berembus saat itu bukan hanya sekadar mengguncang pohon sakura. Perasaannya, yang mulai goyah sejak hari itu, kini telah tumbuh begitu besar hingga hanya dengan bertatapan dengannya saja, jantungnya terasa ingin meledak.
"Mau pacaran?"
Alexandre bertanya, melihat langsung ke dalam matanya yang bergetar.
"...Tidak." Jawaban itu keluar tanpa ragu.
Mata Alexandre tetap tenang, meski bibirnya melengkung membentuk senyum tipis.
Tapi, Aihara ingin memastikan, ingin mengakhiri semuanya sebelum semuanya semakin dalam.
"Aku tidak mau. Ini seperti memaksa orang bersujud untuk minta sesuatu, lalu tiba-tiba berubah pikiran. Jadi, aku tidak mau. Aku pergi."
Alexandre tetap berdiri di tempatnya, menatapnya dengan senyum tipis yang tidak mencapai matanya.
"Aku pikir kita sudah pacaran."
"Apa?"
"Apa harus ada konfirmasi seperti ‘mulai hari ini kita resmi pacaran’ agar bisa disebut pacaran?"
Aihara berkedip, memproses kata-katanya. "Tunggu, jadi selama ini Kau pikir kita..." Dia menatapnya seolah ingin memastikan bahwa ini bukan lelucon.
Tapi, mata Alexandre penuh keyakinan. "Ayo pacaran."
"....."
"Mulai hari ini, kita resmi pacaran." Itu terdengar sangat kekanak-kanakan hingga membuatnya semakin kesal. Jika dia hanya berkata begitu untuk menyesuaikan diri dengannya, maka itu terasa lebih buruk lagi.
"Kenapa tadi Kau tidak langsung bilang kita pacaran saja?!"
Marah, Aihara mengangkat tangannya dan menghantam dada Alexandre dengan tinjunya.
Laki-laki itu hanya tertawa kecil, lalu dengan lembut menangkap tangannya. Sebelum dia sempat menarik diri, tubuhnya sudah tertarik ke dalam pelukannya.
"Maaf. Aku benar-benar benci ini..."
"Jangan menangis. Lihat aku."
"Siapa yang menangis? Aku tidak menangis, aku kesal sekali!"
Meski berkata begitu, air mata sudah berkumpul di sudut matanya.
Alexandre meraih wajahnya dan menariknya lebih dekat, membiarkan kepalanya bersandar di dadanya.
Dengan lembut, dia mencium puncak kepalanya. Lalu, dengan suara pelan yang hanya bisa didengar olehnya, dia berbisik,
"Aku akan terus menyatakan perasaanku sampai Kau mau menerimaku."
***
Saat air mata berhenti, bibir mereka sudah saling terbuka, berbagi napas.
Itu adalah ciuman pertama mereka. Bibir yang saling melekat dengan lembap, lalu perlahan terlepas.
Dalam kehangatan yang masih tersisa, Aihara sudah sepenuhnya kehilangan keseimbangan emosinya. Entah sejak kapan, tubuhnya sudah berada di pangkuan Alexandre.
Cup.
Setelah ciuman panjang itu berakhir, bahkan sentuhan kecil di bibir pun terasa panas.
Aihara menghela napas pelan, membiarkan dirinya bersandar pada Alexandre.
Laki-laki itu merangkulnya erat, mengecup pelan helai-helai rambut yang jatuh di wajahnya.
Rasanya geli, tapi juga hangat, seolah api kecil sedang menyala di dalam dadanya.
"Haruskah Kau pulang malam ini?" Suara Alexandre terdengar rendah, lembut, hampir seperti bisikan.
Alexandre bertanya sambil membelai panggul Aihara yang membulat.
Aihara tidak tahu apa yang laki-laki itu tanyakan. Pundaknya tiba-tiba terasa melemah. Dan di antara kedua paha laki-laki itu, barangnya sudah mengeras.
"Haruskah aku mengantarmu pulang?"
Mata Aihara berkedip-kedip sesaat saat Alexandre memberinya satu kesempatan lagi untuk melarikan diri melalui ruang sempit di antara mereka, bibirnya mengerucut saat dia menundukkan kepalanya dalam-dalam.
"Tidak apa-apa. Katakan padaku."
Alexandre menatapnya dalam, seolah ingin memastikan bahwa Aihara benar-benar punya pilihan untuk menolak.
Wajahnya begitu dekat hingga napasnya terasa hangat di kulitnya. Sentuhan ringan di pipi, jemari yang mengusap dengan lembut, serta tatapan yang tak lepas darinya, semuanya terasa begitu halus namun menggetarkan.
Itu aneh.
Laki-laki ini selalu bersikap lembut dan penuh pengertian, tetapi jantung Aihara tetap berdebar begitu keras. Ada perasaan aneh yang berputar di dalam dirinya, seperti gelombang kecil yang terus beriak tanpa kendali.
Dengan tangan yang sedikit gemetar, Aihara mengepalkan jemarinya erat. Setelah mengumpulkan keberanian, dia akhirnya membuka suara, suaranya terdengar lebih pelan dari biasanya.
"Aku harus kembali ke kamar... untuk mengambil pakaian tidur dan beberapa barang lain."
Terbersit makna yang tersembunyi dalam kata-kata itu menggantung di udara. Kata-kata yang tidak terucapkan terasa lebih jelas dalam keheningan di antara mereka. Wajahnya merona tanpa bisa dikendalikan.
"Benarkah?"
Alexandre menempelkan bibirnya di pipi Aihara dengan lembut, hampir seperti bisikan.
"Kamu yakin?" Dia mengecupnya lagi, kali ini dengan sedikit senyuman di ujung bibirnya.
Aihara menundukkan kepala, mencoba menghindari tatapannya, lalu mendorong dadanya pelan.
"Jangan begitu..."
Namun, lengan Alexandre tetap erat di sekelilingnya, tidak membiarkan jarak terlalu jauh di antara mereka.
"Mungkin sedikit sulit di awal." Nada suaranya terdengar menggoda, tetapi bukan tanpa kelembutan.
Aihara memandangnya dengan ragu, mencoba memahami apakah pria ini sedang bercanda atau benar-benar serius.
"Kalau begitu, aku tidak mau."
"Aku tidak akan membiarkan itu terjadi."
"Aku bilang tidak."
"Aku bercanda."
"Hahaha" Alexandre tertawa kecil, suaranya ringan seolah sedang menghiburnya.
Dengan lembut, dia meraih pipi Aihara dan menempelkan keningnya ke dahi gadis itu. Sentuhan itu, lebih dari sekadar hangat, terasa mendalam.
"Jadi, jangan marah, ya?"
Aihara mengerjap pelan, tak tahu bagaimana harus bereaksi.
"Aku tidak marah."
Namun, suaranya terdengar lemah, nyaris berbisik. Alexandre menatapnya dalam, lalu tersenyum tipis.
"Kalau begitu, tetap di sini sebentar lagi."
Kata-katanya mengandung ketulusan yang sulit diabaikan. Sejenak, Aihara ragu, tetapi saat dia mengangkat wajah, matanya bertemu dengan sorot mata Alexandre yang penuh kesabaran.
Dalam kesunyian itu, Aihara menyadari satu hal, perasaannya sudah terlanjur jatuh. Dan kali ini, dia memilih untuk tidak lari.
***
Dalam perjalanan menuju apartemennya, tidak ada satu kata pun yang terucap.
Di dalam keheningan, hanya suara napas mereka yang terdengar samar. Saat berada di dalam lift, sesaat muncul pemikiran di benak Aihara.
Apakah dia tinggal sendirian di kota ini?
Namun, begitu lampu apartemen menyala, pikirannya langsung kosong.
Setelah selesai mandi dengan air hangat, Aihara melangkah keluar dengan sedikit ragu.
Pandangannya segera tertuju pada Alexandre yang sudah duduk di tepi tempat tidur.
Begitu melihatnya, laki-laki itu membuka kedua lengannya, mengisyaratkan agar dia mendekat.
Aihara menggenggam erat celana tidur yang dia pinjam darinya, ukurannya terlalu besar dan hampir melorot.
Dengan langkah ragu, dia akhirnya maju perlahan dan duduk hati-hati di pangkuannya.
"Cocok sekali untukmu."
"Ini terlalu besar..."
Alexandre tertawa kecil dan mencium tengkuk lehernya dengan lembut. Dia melingkarkan lengannya di pinggang Aihara dan membenamkan kepalanya di bahunya.
Dia menggigil sejenak, merasakan hasratnya dengan jelas melalui baju tidurnya yang tipis.
"Apa Kau takut?"
"Tidak juga ..."
"Tidak apa-apa."
Sebuah tangan besar melingkari tangan yang berada di pahanya. Dia meremasnya dengan penuh kasih sayang, menenangkannya yang gemetar.
Aihara menoleh dan menatap Alexandre sebentar.
"Matikan lampunya."
"Baiklah."
Alexandre mengulurkan tangan dan mematikan lampu nakas yang terang benderang.
Aihara menatapnya dengan tidak percaya saat dia digendong dan dibaringkan di tempat tidur.
"Matikan."
"Aku sudah mematikannya."
Di bawah kegelapan yang buram. Alexandre mencium bibirnya dengan lembut, ketegangan di matanya terpancar. Ciuman itu menyebar dengan lembut, dari bibir ke pipi, ke pangkal hidung, ke sudut matanya.
Pada saat tangannya membuka lapisan demi lapisan untuk memperlihatkan kemolekan tubuhnya, seluruh tubuh Aihara memerah, jari-jari kakinya melengkung saat dia merasakan tatapan Alexandre yang menelusuri lekuk tubuhnya
"Aku malu_"
Aihara menutup matanya dengan kedua tangannya. Alexandre tertawa dan menarik lengannya.
Dia menggosokkan bibirnya di sudut matanya yang memanas dan membelai tubuhnya. Dia mengusap bibirnya di atas matanya yang memerah, membelai tubuhnya. Dia menggulung puncak yang tegak di antara lidahnya dan menggigitnya dengan lembut.
"Hmph."
Sebuah tangan besar mencengkeram dada yang kencang dan besar. Dia membungkuk, membenamkan kepalanya di dada lembut perut bagian bawahnya, dan dia memutar pinggulnya, mengeluarkan rintihan tipis.
"Ke-kenapa."
Pada saat itu, Alexandre mengatupkan giginya di perutnya dan menggigit, dan sebuah rangsangan aneh menggelitik di bawah pusarnya.
Aihara merintih, bibirnya terbuka karena malu.
Jari-jari tangannya yang tebal menyelinap masuk ke dalam kewanitaannya dan dengan lembut membelai-belainya.
Kamar tidur yang sunyi itu berdeguk dengan suara air yang bergemericik dari Aihara.
"Ah, hengh ....."
"Kamu basah."
"Mmm..."
Sebuah rintihan keluar sebagai jawaban.
Sebuah garis tipis kenikmatan menelusuri sentuhannya saat laki-laki itu memeriksa bagian miliknya yang berdenyut.
Denyut dangkal kegembiraan yang meluap, dan dengan setiap gelitikan di bawah pusarnya, dia semakin tak karuan dan mengeluarkan air.
"Ah, hahh, rasanya aneh. Hengh."
"Di mana keanehannya."
"Aneh ...."
"Dimana, hm?"
"Di bawah. Hengh."
Aihara menggelengkan kepalanya, wajahnya memerah karena air mata.
Laki-laki yang menatapnya, di sisi lain, tampak tenang, matanya hitam dan cekung. Rasa malu seketika mengalir dalam dirinya.
"Apa ada yang aneh di sini?"
Alexandre membungkuk dan mendekatkan wajahnya.
"Apa itu sakit?"
Jari-jari tangannya bergerak dengan cemas di sekitar kewanitaannya.
Aihara menelan ludah saat merasakan sensasi asing di antara kedua kakinya.
"Sakit? coba ku periksa."
"Hmph."
Dengan suara melenguh, jari-jari tebal itu menggali jauh ke dalam dinding dalamnya.
Satu jari yang menggosok di sepanjang bagian dalam dirinya, merangsang titik sensitifnya.
Mmh, hngh.
Aihara mendesah, memutar pinggulnya. Jari yang kini telah berlipat ganda dalam ukuran, menyebar seperti gunting di dalam dindingnya, menguji batasnya.
"Ahhhh."
Sensasi tubuhnya yang terbelah sangat luar biasa, dan dengan setiap dorongan, air keluar. Suara gemericik terdengar jelas di telinga Aihara.
Alexandre mencoba memasukkan dirinya, kali pertama dengan lembut, saat berikutnya mendorongnya dengan keras, jauh ke dalam dirinya.
Dia mengatup, menelan jari-jarinya. Lapisan yang menebal mengencang di sekitar jemarinya menggeliat seolah menginginkan lebih.
"Uhh!"
Aihara terisak dan mencapai kepuasan. Itu adalah kepuasan pertamanya.
Tubuhnya menjadi lemas. Dia menatap Alexandre dengan mata linglung. Aihara mengatur nafasnya, dia sudah kelelahan, Alexandre mengeluarkan sesuatu dari sangkar dan mengangkatnya.
Tatapan Aihara terlihat goyah saat dia mengikutinya.
Itu sangat mengerikan. Urat-urat urat yang menghiasi permukaannya sangat menakutkan, dan itu terlihat panjang dan tebal, seperti cacing hitam, dan sama sekali tidak terlihat seperti laki-laki.
"I-itu mu jelek sekali....."
Alexandre tertawa terbahak-bahak mendengar kata-kata yang di gumamkan Aihara pada dirinya sendiri.
Dia dengan santai berjalan mendekat dan melebarkan kakinya lebar-lebar, membuat Aihara panik dan menyipitkan matanya.
"Tidak, ini, Ahh, tidak. Hahng."
"Tidak apa-apa."
Alexandre meletakkan ujungnya yang sudah ereksi dan mendorongnya perlahan.
Itu cukup untuk membuatnya terkesiap, tekanannya seperti memotongnya menjadi dua, dan dia terengah-engah, tak bisa bernapas dengan baik.
Wajahnya menjadi pucat karena terkejut.
"Ahh, engh ..., haah."
"Huh......"
"Ugh, Ti-tidak. Ku rasa aku tidak bisa melakukan ini, rasanya seperti mau robek. AH, tidak ....... Hmph."
Dia baru saja berhasil memasukkan ujungnya.
Alexandre meringis dan menarik nafas panjang. Dia mendekat ke wajah Aihara dan menciumnya, dan teriakan kesal keluar dari mulutnya.
"Tidak, ini sakit, rasanya sakit. hahh."
"Maafkan aku, ya?"
"Ugh."
"Hm......?"
"Be-besar, dan juga, hngh."
"Shh. Tidak apa-apa."
Dia membelai tubuhnya dengan sentuhan yang cekatan, memasukkannya perlahan-lahan, inci demi inci.
Ciumannya penuh kasih sayang, ditaburi dengan setiap pengencangan dinding bagian dalam tubuhnya.
"Haah,... Ara."
Dia pun meluncur dengan lembut kedalam dinding yang basah, dan sebelum dia menyadarinya, dia telah terkubur jauh di dalam dirinya.
Aihara bergidik dan menatap Alexandre. Sebuah isak tangis seperti anak kecil meledak darinya.
Dia bisa merasakan kakinya melebar dengan setiap dorongan. Perutnya bergejolak. Seluruh tubuhnya berteriak dengan kenikmatan yang tidak biasa.
Dia berteriak, dinding bagian dalamnya mengetat di sekitar kemaluannya.
"engh, mmh, ahh."
Nafas Alexandre terengah-engah saat dia melihat tubuh kecil itu terisak-isak di atas miliknya.
Alexandre menempelkan bibir mereka, dan Aihara menggelengkan kepalanya sambil merintih.
"Ah, ahh."
Dinding yang tadinya mengencang di sekitar miliknya, yang ketat meremasnya, tiba-tiba terasa halus dan lembut.
Menelan ludah dengan keras, Alexandre mendorong dirinya masuk ke dalam, lebih keras dan dalam.
Takut mencapai kepuasan, dia berbaring telentang di bawahnya.
Saat ujungnya bergesekan dengan lubang itu, dia menoleh dan menatapnya.
"Ah', mmmm. Huu, pelan-pelan."
"Oke, pelan-pelan, haa .."
Dengan sebuah permohonan, gerakannya melambat.
Aihara menggelinjang dan gemetar.
Matanya berputar ke belakang, dengan mulutnya menganga.
"Tidak, ini. Mmh, haah, ukh."
Tubuhnya bergetar tak terkendali, perutnya kesemutan dengan setiap hujaman Alexandre yang besar.
Aihara membenamkan kepalanya ke dalam tempat tidur dan terisak.
"i-ini aneh. Ahh. Hmph."
"Enak?"
"Hmph, ya. Mmmh. Rasanya sungguh.. hah, itu terlalu dalam ..."
Setiap kali Alexandre mendorong kembali, dinding bagian dalam tubuhnya mengencang saat datang.
Perlahan-lahan, Alexandre menariknya lalu menenggelamkannya jauh di dalam dirinya, menggosokkan ujungnya di atas titik rangsangannya yang luas, dan Aihara bergidik saat mencapai kepuasan.
Alexandre merosot di bawahnya dan menenggelamkan kepalanya di antara pahanya, menyedot semua air yang mengalir. Dalam keadaan sesenggukan, Alexandre menggosok wajahnya disana.
Setelah itu, Aihara pun tertidur lelap hingga larut malam, wajahnya meregang dengan kenikmatan.
Sensasi yang menyelimutinya semuanya asing, tapi dia tidak membencinya, dan ketegasan pundak laki-laki itu saat dia memeluknya setelah kabur tak berujung sama sekali tidak menakutkan.
Malam itu, dan juga keesokan harinya, Aihara tetap berada di rumah Alexandre.
Di bawah cahaya lampu meja yang temaram, di bawah sinar matahari pagi yang menyilaukan, dan dalam lembayung senja yang perlahan meredup, mereka saling mencari, saling menemukan.
Saat menatap satu sama lain, seakan dunia di luar menghilang. Mereka saling menggenggam erat, seolah takut jika jarak sekecil apa pun tercipta di antara mereka.
Entah perasaan siapa yang meluap lebih dulu, miliknya, milik Alexandre, atau mungkin keduanya.
Yang jelas, di dalam kehangatan itu, Aihara tidak bisa menahan air mata yang menggenang di sudut matanya.
Yang mereka inginkan hanya satu, kehadiran satu sama lain. Bahkan jika panas yang mereka bagi bisa membakar segalanya, Aihara tidak keberatan.
Malam itu, untuk pertama kalinya, dia membisikkan kata cinta di telinga Alexandre.
***
Empat tahun telah berlalu.
Waktu berlalu begitu cepat, hingga kini sudah memasuki musim dingin waktu di mana pameran karya kelulusan berlangsung.
Setelah musim dingin ini berlalu dan semester berakhir, Aihara akan resmi menyelesaikan kuliahnya.
"Aneh sekali. Saat sedang sibuk mempersiapkan ini, rasanya ingin cepat-cepat selesai. Tapi sekarang, rasanya malah berat untuk berpisah."
"Iya, benar juga."
Aihara menoleh ke arah Anggie dan tersenyum, seolah berbagi perasaan yang sama.
Rasanya baru kemarin pameran ini dimulai, tapi kenyataannya sudah sepuluh hari berlalu.
Hari ini adalah hari terakhir. Sebelum galeri dibuka, Aihara menyelesaikan pemeriksaan terakhirnya, lalu tanpa sadar pandangannya jatuh ke arah rangkaian bunga di samping karya seninya.
Di antara semua rangkaian bunga yang tertata, ada satu yang paling dekat dengan karyanya, karangan bunga kesembilan yang dikirim oleh Alexandre kemarin.
Semalam, bunga-bunga itu sudah mulai mekar sempurna. Aihara membungkuk sedikit, lalu dengan ujung jarinya menyentuh kelopak bunga tertinggi dalam karangan itu.
Alexandre selalu menuruti permintaannya.
Tidak ada nama lengkapnya yang tertulis di kartu pesan, tidak ada papan bunga besar yang mencolok yang bisa menarik perhatian orang lain.
A.
Hanya satu inisial tertulis di sana. Dan itu sudah cukup. Dia tak punya pilihan lain. Setelah kembali ke Kota dan mengambil peran dalam bisnis keluarga, Alexandre kini dikenal luas oleh publik. Bahkan sebelum terkenal pun, ke mana pun mereka pergi bersama, orang-orang selalu memperhatikannya.
Sekarang, wajar jika dia menjadi pusat perhatian. Pergi ke taman hiburan atau bersantai di tepi sungai Han seperti dulu kini terasa mustahil.
Bagi Alexandre perhatian orang-orang itu bukan masalah besar, tapi bagi Aihara, semua itu terasa merepotkan.
Alexandre memahami perasaannya. Dia sudah mengalami langsung bagaimana rasanya menjadi bahan perbincangan. Saat kabar tentangnya dan Alexandre pertama kali menyebar di kampus, situasinya begitu sulit hingga dia sempat berpikir untuk cuti kuliah.
Sekarang, setelah lebih berhati-hati, cerita-cerita itu memang sudah mereda, tapi tetap saja, pada awalnya semuanya terasa begitu berat.
Begitu pula dengan pameran ini. Setelah mempertimbangkan banyak hal, akhirnya dia meminta Alexandre untuk datang di jam-jam yang lebih sepi.
Meski pengunjung pameran tidak sebanyak itu, dia tahu betul bahwa satu pasang mata dan satu mulut saja sudah cukup untuk menyebarkan gosip ke mana-mana.
Karena Alexandre sangat sibuk, dia tak berharap laki-laki itu bisa menyesuaikan jadwalnya dengan permintaannya. Tapi ternyata, jawabannya langsung
"Baik, aku akan datang." Jawaban yang melegakan.
Pagi itu, teman-teman seangkatannya datang lebih dulu. Mereka mengucapkan selamat kepada Aihara dan Anggie yang akan menjadi dua orang pertama yang lulus dari angkatan mereka.
Saat mereka duduk bersama, mengobrol sambil makan siang, kenyataan bahwa mereka benar-benar akan lulus akhirnya mulai terasa.
Lalu, mendekati waktu yang dijanjikan, Aihara menerima pesan dari Alexandre bahwa dia sudah tiba. Namun, yang menunggunya bukan hanya Alexandre.
Aihara sudah memilih waktu yang sepi, tapi karena ini hari terakhir pameran, jumlah pengunjung lebih banyak dari yang ia perkirakan. Bahkan, lebih ramai dibanding hari pertama.
Dan di antara keramaian itu, berdirilah Alexandre.
Tepat di dekat area photo wall di pintu masuk pameran.Beberapa orang sudah mulai mengenalinya, melirik ke arahnya dengan tatapan penuh rasa ingin tahu.
Apakah mungkin membuat mereka berpikir dia hanya datang untuk memberi selamat sebagai seorang kenalan? Itu hanya harapan yang tak masuk akal.
Aihara menelan ludah, lalu dengan hati-hati mendekatinya sambil tetap memperhatikan sekitar.
Sebelum dia sempat memanggilnya, Alexandre sudah lebih dulu menoleh, seolah bisa membaca dengan jelas apa yang sedang dia pikirkan.
"Namaku tidak disebutkan, kok."
Dia berbisik pelan di telinga Aihara.
Aihara menatapnya dengan ekspresi tercengang, sementara Alexandre hanya tertawa kecil dan menyerahkan buket bunga padanya.
Aroma bunga yang segar segera memenuhi udara di sekitarnya.
"Selamat."
Aihara menatapnya dalam-dalam. Mungkin karena terlalu terkejut, pikirannya sempat kosong. Lalu tiba-tiba, pemikiran lain muncul.
Sebentar lagi aku akan lulus, jadi mungkin sekarang semua ini tidak lagi penting. Atau mungkin… Sebenarnya, dia hanya senang karena laki-laki ini datang.
Dan dia ingin laki-laki itu tahu. Aihara meraih buket bunga itu dengan kedua tangan, mendekapnya erat.
Saat ia mengangkat wajah dan tersenyum ke arahnya, Alexandre membalasnya dengan tatapan penuh kehangatan.
***
Setelah menghadiri pameran kelulusan, tujuan mereka berikutnya adalah sebuah hotel.
Saat menunggu lift, Aihara melirik ke arah Alexandre. Laki-laki itu segera menundukkan kepalanya, menatapnya dengan penuh perhatian.
"Hmm?"
Wajahnya mendekat, seolah bertanya apakah ada sesuatu yang ingin dikatakan.
Aihara refleks menarik diri ke belakang, tapi lengan Alexandre yang melingkar di pinggangnya justru semakin mengerat, menariknya lebih dekat. Untungnya, tidak ada orang di sekitar mereka.
Aihara mengerutkan kening dan menatapnya tajam.
"Jangan begini..."
"Kenapa?"
Dia akhirnya berhasil keluar dari pelukan Alexandre, sementara laki-laki itu hanya tersenyum tipis, tampak begitu menikmati situasi ini.
"Kau terganggu karena orang lain?"
Alexandre menggenggam tangannya dengan lembut, menatapnya penuh arti.
Aihara mendongak dengan ekspresi sedikit kesal.
"Kau terlihat terlalu santai tadi."
"Kenapa tidak? Aku tidak punya alasan untuk bersembunyi. Lagipula, tubuhku terlalu tinggi untuk disembunyikan."
Sejenak, dia merasa bersalah, apakah nada bicaranya terlalu dingin pada laki-laki yang sudah meluangkan waktu untuk datang menemuinya?
Lagi pula, keramaian tadi bukan salahnya. Mencoba menebusnya, Aihara menggoyangkan tangan Alexandre yang masih menggenggam tangannya.
"Aku senang Kau datang hari ini."
Alexandre tersenyum kecil, lalu mengusap belakang kepalanya dengan lembut.
"Aku tahu."
"Aku sudah memesan kamar. Setelah makan, kita langsung naik."
Saat melangkah ke dalam lift, Aihara merasa wajahnya mulai terasa hangat. Mungkin karena genggaman tangan mereka yang masih erat.
Merasa gugup, dia tanpa sadar menggenggam tangan Alexandre lebih kuat. Dari samping, terdengar suara tawa ringan laki-laki itu.
Dan tepat sebelum pintu lift tertutup, Alexandre menundukkan kepala dan mengecup pipinya yang memerah.
***
Meja mereka berada di tempat dengan pemandangan kota A yang terbentang luas.
Rasanya aneh.
Seharusnya dia masih duduk di studio seni, mengerjakan proyeknya. Namun kini, dia duduk di hotel lounge dengan penerangan temaram.
Saat itulah, kenyataan bahwa pameran kelulusannya telah berakhir dengan lancar mulai benar-benar terasa.
"Kau mau minum?"
"Boleh."
"Hari yang spesial, jadi cukup satu botol saja."
Alexandre mengangkat tangan untuk memesan sebotol anggur. Saat itu, sebuah percakapan mereka beberapa hari lalu tiba-tiba terlintas di benaknya.
"Bukankah Kau bilang ada pernikahan besok?"
Alexandre menatapnya seolah baru mendengar hal itu untuk pertama kalinya, lalu mengangguk pelan.
"Setelah mengantarmu pulang, aku akan pergi ke sana."
Tepat saat itu, pelayan datang membawa anggur dan makanan pembuka. Di tengah-tengah obrolan mereka, sesekali pandangan mereka bertemu, membuat pikiran Aihara melayang ke tempat lain.
Hari ini memang hari yang baik, seperti yang Alexandre katakan. Ini adalah momen yang seharusnya dipenuhi dengan kebahagiaan. Tapi, ada sesuatu yang mengusik pikirannya.
Belakangan ini, Alexandre semakin sering menghadiri pernikahan. Ketika ditanya, dia terkadang menyebut rekan bisnisnya, tetapi lebih sering jawabannya adalah teman-teman lamanya.
Dan di hari yang sama, hampir selalu muncul berita di media tentang anak dari keluarga konglomerat yang menikah.
Setiap kali itu terjadi, dia kembali diingatkan betapa berbedanya dunia mereka.
Berpura-pura bahwa hal itu tidak mengganggunya sama sekali adalah kebohongan.
Kadang dia sendiri heran bagaimana bisa menjalin hubungan dengan laki-laki seperti Alexandre.
Jika mereka baru bertemu sekarang, akankah dia berani memulai semuanya? Dia tidak yakin bisa menjawabnya. Dan suatu hari nanti, akankah laki-laki ini juga menikah?
Sebagai pacar, ini mungkin bukan sesuatu yang seharusnya dia pikirkan. Tapi tetap saja, jika membayangkan calon istri Alexandra, dia merasa itu tidak akan pernah menjadi dirinya.
Terlebih sejak Alexandre semakin sibuk, waktu mereka bersama semakin berkurang, panggilan, pesan, pertemuan, semuanya tidak lagi seperti dulu.
Tentu, dia sendiri juga sibuk dengan persiapan pameran, tapi tetap saja…
Satu orang menjadi bahan pemberitaan di media, sementara yang lain duduk di studio kampus, bertanya-tanya tentang masa depannya.
Seorang pewaris generasi ketiga dari keluarga konglomerat dan seorang mahasiswa biasa.
Bahkan dia sendiri memiliki keterbatasan fisik. Ketidakseimbangan ini begitu nyata. Dulu, mereka pernah berbagi cerita tentang masa kecil mereka yang sepi, berjanji bahwa suatu hari nanti, jika memiliki anak, mereka akan mencurahkan cinta yang berlimpah.
Waktu itu, kata-kata itu terasa begitu tulus. Tapi sekarang, dia menyadari betapa polosnya mereka saat itu.
Dan saat dia mencoba membayangkan bagaimana semuanya akan berakhir, semuanya terasa kabur.
"Jangan langsung minum."
Suaranya membuyarkan lamunannya. Alexandre memindahkan gelas anggurnya ke samping, mengisyaratkan agar dia makan lebih dulu.
Tanpa sadar, ternyata tangannya memang sudah terulur ke arah gelas itu. Orang bilang, semakin lama menjalin hubungan, laki-laki biasanya menjadi lebih cuek.
Tapi tidak dengan Alexandre. Justru seiring berjalannya waktu, dia semakin perhatian dan lembut. Mereka memang pernah berselisih paham, tetapi tidak pernah bertengkar hebat. Jika ada yang merasa tersinggung karena hal kecil, Alexandre selalu menjadi orang pertama yang meminta maaf dan menenangkannya.
Bagaimana mungkin dia bisa membenci laki-laki seperti itu? Bagaimana mungkin dia berpikir untuk mengakhiri semuanya?
Namun, sesekali, bayangan tentang masa depan tetap mengusiknya.
Dia bahkan sempat membayangkan suatu hari nanti, keluarga Alexandre akan datang menemuinya, menyodorkan amplop berisi uang dan memintanya untuk pergi dari kehidupan laki-laki itu.
Seperti kisah drama lama.
Aihara tersenyum kecil pada pikirannya sendiri. Itu pemikiran naif. Kenyataannya, akhir dari hubungan mereka mungkin akan jauh lebih realistis.
Di luar hubungan pribadi mereka, dia tahu bagaimana dunia bisnis bekerja. Jika laki-laki biasa saja bisa begitu berhitung soal pernikahan, mungkinkah Alexandre tidak melakukan hal yang sama?
Mungkin suatu hari nanti, dia akan mendengar kabar bahwa Alexandre akan menikah dengan seseorang dari keluarga yang setara.
Empat tahun sudah cukup lama untuk sebuah hubungan. Jika saat itu tiba, dia mungkin bisa menerimanya.
Pikiran itu menimbulkan sedikit rasa perih di dalam dadanya. Tapi dia menelannya dalam diam.
"Mau menunggu di hotel?"
Suara Alexandre membawanya kembali ke dunia nyata.
"Hm?"
"Besok."
Aihara, yang sedang mengunyah salad dengan tenang, mendongak dengan mata membesar. Alexandre menyodorkan gelas air ke arahnya.
"Aku hanya ingin memastikan, kalau aku menghabiskan waktu bersamamu sebelum pergi ke pernikahan itu, apakah itu akan membuatmu tidak nyaman?"
Sepertinya Alexandre menyadari kalau pikirannya sedang melayang ke arah yang tidak baik.
Meski dia tidak tahu persis apa yang sedang dipikirkan Aihara, dia jelas bisa merasakannya.
Tanpa menjawab, Aihara perlahan menurunkan garpunya, lalu menarik kembali gelas anggur yang tadi dijauhkan Alexandre.
"Sudah lama aku tidak punya waktu untuk bersantai sendirian. Ini kesempatan bagus."
"Begitu, ya?"
"Kenapa? Maksudmu apa?" "
"Entahlah."
Melihat ekspresi sebal di wajah Aihara, Alexandre hanya mengangkat bahu dan tersenyum santai.
***
Mereka keluar dari lounge sambil bergandengan tangan, menaiki lift menuju kamar hotel.
Sepanjang perjalanan, Aihara bersandar pada Alexandre, memandangnya dengan tatapan yang sulit diartikan.
Menatapnya balik, Alexandre tersenyum miring dan berkomentar, "Kau tidak boleh mabuk."
"Aku sudah mabuk."
"Kita masih punya banyak hal yang harus dilakukan di atas nanti."
"Aku benar-benar mabuk."
"Kau tidak mabuk. Buktinya, Kau masih bisa bicara dengan jelas."
Alexandre mengusap pipinya dengan ujung jari, membuat Aihara tersentak kecil. Saat dia sedikit menjauh, laki-laki itu hanya terkekeh kecil dan menariknya lebih dekat lagi.
Dan anehnya, dia menyukainya. Dulu, saat pertama kali bertemu, dia bahkan tidak ingin bertemu dengannya, bahkan jika hanya kebetulan. Tapi waktu telah mengubah banyak hal mengubahnya, mengubah Alexandre, dan mungkin akan terus mengubah mereka di masa depan.
Aihara ingin berada lebih lama dalam momen ini. Seperti foto mereka yang tertempel di dinding rumah Alexandre, hari-hari saat mereka mengenakan bando hewan yang kekanak-kanakan di taman hiburan, atau ketika mereka tertawa lepas sambil memegang gulali di tepi danau.
Mungkin suatu hari, masa-masa ini akan menjadi sesuatu yang tidak bisa mereka kembalikan lagi.
"Kenapa?"
"Tidak ada."
"Ara, kenapa?"
Alexandre memandangnya penuh selidik, seakan bisa membaca pikirannya. Aihara menatapnya pelan-pelan, lalu dengan suara nyaris berbisik, dia berkata,
"Aku ingin..."
Pikiran buruk terus berputar di benaknya. Mungkin, jika mereka saling tenggelam dalam satu sama lain, tidak ada ruang untuk berpikir lagi. Dia menundukkan kepala, melepaskan tangan yang melingkar di lengannya, lalu perlahan meraih tangan Alexandre.
"Ini gawat."
Alexandre mengeratkan genggamannya. Sepanjang perjalanan dari lift menuju kamar hotel, tidak ada yang berbicara. Mereka hanya merasakan satu sama lain melalui genggaman yang saling menghangatkan.
Begitu pintu kamar terbuka, Aihara berjalan masuk lebih dulu, langkahnya sedikit terhuyung.
Tapi sebelum dia bisa melangkah lebih jauh, sebuah cahaya temaram menarik perhatiannya.
Saat ia hendak menoleh ke arah Alexandre dengan perasaan tak menentu, lampu kamar menyala, memperlihatkan pemandangan yang berbeda dari biasanya.
Dia sudah sering datang ke kamar ini, tetapi hari ini terasa asing.
Di dalam ruangan, rangkaian bunga tertata indah, membentang dari dekat pintu hingga ke ujung meja. Dan di atas meja itu. Sebuah cincin bersinar lembut di bawah cahaya lampu.
Meskipun dia melihatnya dengan jelas, pikirannya belum bisa langsung menangkap kenyataan. Dia berkedip beberapa kali, seolah memastikan bahwa ini bukan ilusi.
"Maukah Kau?"
Alexandre memeluknya dari belakang, suara rendahnya terdengar dekat di telinganya. Nada suaranya terdengar santai, bahkan sedikit bercanda, tetapi entah kenapa, justru itulah yang membuat air mata menggenang di mata Aihara.
Perlahan, dia berbalik di dalam pelukan laki-laki itu.
Alexandre menangkup wajahnya dengan lembut, mengusap air mata yang jatuh di pipinya, lalu mengecup kelopak matanya dengan penuh ketulusan.
"Aku tidak bisa menunggu lebih lama lagi."
"......"
"Menikahlah denganku."
Tanpa memberinya kesempatan untuk melarikan diri, Alexandre menggenggam tangannya erat, menuntunnya melewati jalur bunga hingga ke meja tempat cincin itu berada.
Aihara bahkan tidak bisa melihatnya dengan jelas karena air mata terus mengalir di matanya. Namun, dalam dekapannya, dia akhirnya mengatakan
"Ya."
Malam itu, mereka saling merengkuh dalam kehangatan yang lebih dalam dari sebelumnya. Dengan suara yang penuh keyakinan, Alexandre berjanji akan mencintainya dalam waktu yang sangat panjang selamanya.
Dan dalam pelukan itu, Aihara juga tidak ingin melepaskannya.
***
Ternyata, ini adalah lamaran yang telah lama dipersiapkan. Bahkan, pernah ada panggilan telepon terkait cincin saat mereka sedang bersama, tetapi Aihara sama sekali tidak menyadarinya.
Takut rencananya terbongkar, Alexandre sampai membuat alasan bahwa dia harus menghadiri pernikahan esok hari, sesuatu yang sama sekali tidak biasa bagi laki-laki yang selalu blak-blakan itu.
Saat mendengar pengakuan itu, Aihara tertawa kecil.
Itulah yang membuatnya semakin menyukainya.
Segalanya terasa begitu indah. Mereka saling mencintai, saling memilih.
Namun, ada satu hal yang selalu dia pikirkan, mendapatkan restu keluarga pasti akan menjadi tantangan terbesar.
Tapi siapa sangka, segalanya berubah dalam sekejap. Begitu mereka mengumumkan bahwa Aihara sedang mengandung, orang tua Alexandre hanya bisa terdiam, seolah kehilangan kata-kata.
Hari itu, untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Alexandre mengecewakan ekspektasi kedua orang tuanya.
Dan itu dilakukan dengan cara yang sangat tegas, tanpa sedikit pun keraguan. Ibunya, Sabrina, langsung berdiri, melemparkan apa pun yang bisa dijangkau tangannya ke arah Alexandre, bahkan sempat melayangkan pukulan kepadanya.
Namun, saat melihat putranya berdiri tegap di depan Aihara, melindunginya tanpa ragu, akhirnya wanita itu hanya bisa menangis.
Di tengah kemarahan dan kepedihan, air mata menjadi satu-satunya cara bagi mereka untuk menerima kenyataan. Mungkin semua itu adalah badai yang tak terhindarkan, tetapi pada akhirnya, semua hanya menjadi angin yang berlalu.
Dan di tahun berikutnya, Aihara dan Alexandre akhirnya menikah.
Seorang gadis dua puluh dua tahun dan seorang laki-laki puluh sembilan tahun yang telah berjalan berdampingan, melewati perjalanan panjang hingga usia mereka bertambah empat tahun lagi.
Cinta mereka yang telah bertahan melewati waktu kini mencapai tujuan akhirnya. Di atas altar pernikahan, hanya ada mereka berdua. Hanya mereka yang saling mencintai.
-Tamat-